Thursday, August 9, 2012

다시… 사랑합니다 / Love Again (Chapter 6 - Last chapter)


Sang Joon mengecilkan AC mobilnya dengan tangan kanan, sementara Adis duduk di sebelahnya dan memandang keluar lewat jendela.
“Gwaenchana[1]?” tanya Sang Joon membuat Adis menoleh, “Kalau kau masih tidak enak badan kita bisa kembali lagi. Belum jauh dari rumah.”
Adis menggeleng dan tersenyum, “Aku sudah menunggu tiga tahun untuk ini.”
Sang Joon mengangguk setuju. “Tiga tahun,” ulangnya, “Dan untungnya hari ini tidak ada dua kurcaci yang mengikuti kita.”
Adis tertawa mendengar kata-kata Sang Joon tadi. Ia sangat senang Sang Joon telah kembali seperti dulu. Sang Joon yang baik hati, Sang Joon yang lucu, Sang Joon yang senang tersenyum dan tertawa. Sang Joon-nya.
Adis merasa senang sekali. Setelah tiga tahun yang berat dengan adanya masalah dan kesalahpahaman dengan Sang Joon, kini semuanya sudah selesai. Dan hari ini, mereka akan pergi ke tempat yang seharusnya mereka kunjungi tiga tahun lalu, N Seoul Tower.
Selama perjalanan, mereka selalu mengobrol dan tertawa bersama dalam mobil, membicarakan kenangan-kenangan mereka sejak kecil dan hal-hal lainnya. Sesekali Sang Joon juga bertanya apakah Adis baik-baik saja.
Setelah sekitar empat jam perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di N Seoul Tower. Adis memayungi kedua matanya dengan telapak tangan ketika melihat menara komunikasi dan reservasi dengan beberapa restoran di dalamnya itu. Sang Joon menggandeng Adis ketika mereka berjalan di Taman N Seoul Tower saat mereka menuju menara tersebut.
“Kita pasti akan jadi berita utama di koran-koran besok,” kata Adis menoleh pada Sang Joon.
“Wae?” tanya Sang Joon.
“Karena orang-orang mengira Big Bang’s TOP sedang jalan-jalan dengan kekasihnya dan mereka bergandengan tangan di taman N Seoul Tower.”
Sang Joon tertawa, “Ah, kurae[2]?” lalu lelaki itu tersenyum nakal dan malah melingkarkan tangannya di bahu Adis. “Kalau begitu ayo kita buat berita yang lebih besar.”
Adis tertawa mendengar ucapan Sang Joon yang tersenyum sambil menatap gadis di sebelahnya itu.
Adis menatap takjub pada ribuan gembok berbagai warna dan ukuran yang terpasang dan menumpuk di pagar yang mengelilingi teras N Seoul Tower. Ia memang sering melihat pemandangan ini di drama, internet maupun acara-acara tentang Korea, namun melihat pemandangan ini secara langsung sensasinya benar-benar berbeda.
Adis berjalan mendekati pagar yang dipasangi gembok-gembok tadi dan mendapati tulisan-tulisan Hangeul maupun bahasa lain yang ada di gembok tersebut. Orang Korea memang percaya bahwa pasangan yang datang, menulis pesan mereka di gembok dan memasangnya dipagar menara ini, lalu mengunci dan membuang kunci tersebut maka cintanya akan ikut terkunci seperti gembok tersebut.
Tiba-tiba saja Adis melihat dua buah gembok berwarna merah muda yang muncul dari sisi kanannya. Ia menoleh dan mendapati Sang Joon yang mengulurkan dua gembok tersebut sambil tersenyum.
Adis tersenyum dan mengambil salah satu gembok tersebut dan Sang Joon memberikan sebuah spidol hitam pada Adis yang kemudian disambut oleh gadis itu. Gadis itu kemudian menulisi gembok tersebut dengan spidolnya, begitu juga dengan Sang Joon.
Setelah selesai, Adis memberikan gemboknya pada Sang Joon yang kemudian mencari celah untuk memasang gembok. Setelah selesai memasang gembok tersebut, Adis memotret gembok tersebut dengan instaxnya sebanyak dua kali. Lalu Sang Joon melemparkan kunci gembok tersebut jauh-jauh ke depan.
“Untuk kamu.” Adis memberikan selembar foto gembok tersebut pada Sang Joon.
“Hanya gembok?” tanya Sang Joon, “Kamu tidak ingin berfoto bersamaku?”
Adis tersenyum dan mendekat ke sebelah Sang Joon. Laki-laki itu mengambil instax dari tangan Adis dan merangkul gadis itu, lalu mengarahkan instax pada mereka.
“Dua kali,” ujar Adis, “Untuk kamu dan aku.”
Sang Joon mengangguk dan memotret sebanyak dua kali. Adis tersenyum sambil mengibas-ngibaskan foto yang keluar dari instax tersebut. Ia memberikan satu foto pada Sang Joon, “Ini foto pertama kita setelah tiga tahun dan juga yang pertama dalam liburan keduaku.”
Sang Joon mengangguk, “Kamu tahu apa yang salah?”
“Apa?” tanya Adis ingin tahu.
“Tiga tahun lalu kita tidak memasang gembok cinta di sini. Karena itu, walaupun hati kita saling terpaut, tapi kita tidak bisa bersama.”
“Jadi kamu menyalahkan aku?” Adis menggembungkan pipinya.
Sang Joon menggeleng, “Apa aku bilang begitu?”
Adis memajukan bibir bawahnya.
“Tapi mulai sekarang, cinta kita akan terkunci seperti gembok ini, bukan?” Sang Joon tersenyum dan menarik tangan Adis.
“Kita mau ke mana?”
“Cable car[3],” jawab Sang Joon. “Aku ingin membuat banyak memori denganmu. Besok kamu harus pulang, kan?”
Adis hanya tersenyum menuruti dan mengikuti laki-laki tersebut. Namun, dalam hati, ia merasa sedih karena besok ia harus berpisah dengan Sang Joon. Sang Joon yang selama tiga tahun ini ingin sekali ia temui. Sang Joon yang baru saja kembali menjadi Sang Joon-nya, dan harus ia tinggalkan lagi besok.

₪ ₪ ₪

Adis memainkan Joona, gitarnya yang berwarna cokelat susu sambil bersandar pada sisi tempat tidurnya. Ia memang sengaja menamakan gitar yang dimilikinya sejak kelas 2 SMP itu seperti nama panggilan Sang Joon. Gadis itu memandang ke luar, ke langit yang malam ini penuh dengan bintang dari pintu kaca kamarnya yang terbuka menuju balkon.
Sudah lima bulan sejak ia berpisah dengan Sang Joon di Bandara Internasional Incheon. Tidak seperti tiga tahun sebelumnya, sejak perpisahan kali ini mereka sering sekali berkomunikasi. Entah lewat telepon, email, sms ataupun chatting. Namun Adis merasa ada yang kurang. Ia ingin bertemu dengan laki-laki itu. Atau minimal memandangnya, meski dari kejauhan. Tapi kemudian gadis itu tertawa. Ia tidak mungkin bisa hanya memandang Sang Joon dari kejauan, pikirnya. Ia pasti akan berlari menghampiri dan memeluk laki-laki itu.
Adis kembali memetik-metik Joona saat pintu kamarnya diketuk. Mamanya kemudian muncul dari balik pintu dan membuat Adis terkesiap.
“Mama…” katanya, “Ada apa, ma?”
Mama Adis tersenyum dan duduk di tepi tempat tidur, di dekat Adis yang duduk di karpet merah dekat tempat tidur di kamarnya. “Kenapa? Mama nggak boleh ketemu sama putri mama?”
Adis tertawa, “Ya bukan begitu, ma.”
Mama Adis tersenyum, lalu mengusap kepala putrinya tersebut, “Kamu kedatangan tamu, tuh, sayang.”
“Tamu?” kening Adis berkerut. Sudah jam sembilan malam, batinnya. Siapa yang mencarinya malam-malam begini?
Saat mamanya mengangkat kedua bahunya, tiba-tiba Bi Inah muncul dari balik pintu kamar Adis yang terbuka. “Cowok, mbak. Tinggi, putih, guanteng pokoknya.” Bi Inah mengacungkan ibu jari kanannya.
Alis Adis terangkat sebelah. Namun sejurus kemudian ia memutuskan untuk menaruh Joona di atas tempat tidurnya dan bangkit menuju ruang tamu untuk melihat siapa yang dimaksud mamanya dan Bi Inah.
Adis menuruni tangga dengan cepat dan tidak menemukan siapa-siapa di ruang tamu. Keningnya berkerut. Ia kemudian berjalan menuju halaman belakang. Di sana ia menemukan papanya sedang mengobrol dengan seorang laki-laki yang sedang duduk menghadap ke arah air mancur yang ada di halaman, dan membelakangi dirinya.
“Ah. itu dia.” papa Adis menunjuk Adis ketika melihat kehadiran putrinya itu.
Laki-laki dengan kemeja flannel biru yang lengannya digulung itu pun menoleh ke arah Adis, lalu tersenyum dan bangkit berdiri.
Adis terbelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia terpaku dengan mulut yang setengah terbuka.
“Om tinggal dulu, ya.” papa Adis bangun dan disambut anggukan dan senyuman kepala oleh laki-laki tersebut.
Adis tidak percaya ini. Rambut itu, mata itu, tinggi badan itu, senyum itu. Orang yang begitu dirindukannya kini ada di hadapannya dan sedang tersenyum padanya. Sang Joon-nya datang menghampirinya di sini, di Jakarta. Adis tidak dapat berkata-kata dan hampir saja menangis, sementara laki-laki itu masih tersenyum melihat Adis.
“Annyeong, nae sarang[4]…” ujarnya.


END_



[1]Kau baik-baik saja?
[2]Ah, benarkah.
[3]Sejenis kereta gantung dengan kapasitas maksimal sebanyak 48 orang untuk menuju dan meninggalkan N Seoul Tower.
[4]Halo, cintaku.

No comments:

Post a Comment