Monday, March 14, 2011

No ordinary love

Tahu tidak, kalau kita telah berpikiran salah pada orang yang belum kita kenal, akhirnya kita bisa menjadi benci pada orang itu? Tahu tidak, kalau ternyata benci dan cinta itu batasnya lebih tipis dari yang selama ini digembar-gemborkan dalam novel-novel roman atau bahkan cerita remaja-remaja labil? Tahu tidak, kalau ternyata kebahagiaan bisa datang dengan cara yang tidak terduga? Dan tahu tidak, kalau ternyata cinta itu bukanlah cinta biasa karena memang tidak ada cinta yang biasa saja.

Semua berawal ketika aku baru saja kembali dari course ku di London selama setahun. Saat itu, walaupun satu setengah tahun berlalu dan aku telah kembali, suasana hatiku masih kurang baik. Aku masih sering uring-uringan, serba salah dan serba tak enak. Kemudian, aku datang kembali ke tempat itu. Sepi, sama seperti satu setengah tahun lalu saat orang itu pergi. Aku melongok ke dalam. Tak ada orang. Tapi sepertinya tempat itu telah ada yang menghuninya. Tapi kenapa mama tidaak bilang padaku?

Aku terus melayangkan pandanganku ke dalam tempat itu. Saat kupegang kenop pintunya, terdengar bunyi ‘klek’ yang menandakan tempat itu tidak terkunci. Mungkin sekarang telah ada yang tinggal di situ. Ketika aku merasa ada sesuatu yang mendekat, aku menoleh dan tiba-tiba saja ia muncul mengagetkanku. Aku benar-benar kaget dan berteriak, lalu masuk ke dalam tempat itu dan menguncinya. Siapa dia? Aku sama sekali tidak tahu siapa laki-laki itu.

Dia pun sepertinya kaget dengan kehadiranku karena saat aku berteriak, dia pun melakukan hal yang sama, sehingga ia terjatuh dan payang yang dipakainya hampir terlempar. Ya, hari itu memang turun hujan, walaupun tidak besar. Kemudian, ketika aku masuk ke dalam tempat itu dan mengunci pintunya, dia mengetuk-ngetuk agar aku membukakan pintu untuknya. Yang kupikirkan saat itu hanyalah siapa dan mau apa dia sebenarnya. Jangan-jangan dia adalah orang jahat.

Dia terus mengetuk-ngetuk agar aku membuka pintunya dan meyakinkanku bahwa dia bukan orang aneh atau orang jahat. Aku tak bergeming. Namun, setelah kuyakin dia memang tidak bermaksud jahat, aku pun membukakan pintu. Dia langsung menghambur ke dalam dan menghampiriku yang sedang duduk di sisi kasur dekat jendela geser. Aku menanyakan siapa dia dan mau apa dia di sini. Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya, mengajakku berjabat tangan sambil menyebutkan namanya. Yudhit. Dia juga berkata bahwa dia berasal dari Jakarta. Ia menebak bahwa aku adalah putri dari pemilik tempat yang ia tinggali ini, bahkan meminta bantuanku karena dia masih baru di sini. Aku hanya menoleh tanpa membalas jabat tangannya. Lalu aku berdiri dan berkata bahwa dia tidak boleh tinggal di sini. Dia terlihat kaget, bertanya kenapa dia tidak boleh tinggal padahal dia telah membayar uang sewa untuk satu tahun, dan dia baru tinggal di sini selama enam bulan. Aku tidak peduli. Aku berkata akan mengembalikan uangnya, dan kemudian aku beranjak dari tempat itu.

Esoknya aku mengembalikan uang sewa yang telah dibayarkannya pada mama. Sebenarnya mama melarangku melakukannya, karena selain tidak sopan, menurut mama dan papa Yudhit adalah orang yang baik. Aku tidak peduli. Aku mengambil tabunganku di bank untuk mengembalikan uang sewa padanya. Dia terlihat enggan menerima uang itu dan berusaha membujukku untuk tidak menyuruhnya pergi. Aku memandangnya selama beberapa detik, lalu menaruh uang itu di meja. Aku mengacungkan dua jariku sambil berkata ‘dua hari’. Ya, aku memberinya waktu selama dua hari untuk menemukan tempat tinggal baru. Mungkin aku terlihat sangat jahat dan tidak sopan, karena tempat itu hanyalah sebuah rumah sederhana dengan konsep minimalis yang ada di sebelah rumah yang kutempati bersama orang tuaku. Tapi bagiku tempat itu sangat berarti. Ada banyak kenangan di sana, dan aku tidak mau ada yang mengambil alih tempat itu.

“I’m so tired of being here, surprised by all my childish fears. And if you have to leave, I wish that you would just leave. Cause your presence still lingers here, and it won’t leave me alone. These wounds wont seem to heal. These pain is just to real. There’s just too much that time cannot erased…”

Ketika aku kembali dari kampus, aku melihat Yudhit tengah mengobrol bersama mama di teras depan rumahku. Saat melihatku masuk, mama berdiri dan berkata bahwa Yudhit mencariku dan kemudian beliau masuk ke dalam. Aku menghampiri Yudhit, berdiri di depannya. Dia menepuk-nepuk kursi, menyuruhku duduk di sebelahnya. Keningku berkerut. Memang ini rumahnya? Kenapa dia yang menyuruhku duduk? Namun kali ini aku menurutinya dengan duduk di sampingnya. Dia tersenyum memandangku, lalu mengulurkan tangannya dan menarik tanganku. Aku terbelalak kaget. Apa maksudnya seperti itu? Tapi kemudian ia meletakkan sebuah amplop berwarna cokelat dan berkata bahwa ia tidak akan pergi dari tempat itu. Ia tidak peduli apakah aku akan terus datang dan mengganggunya dengan menyuruhnya pergi atau apa. Bahkan dia berkata bahwa dia akan senang sekali jika aku datang. Dia kembali tersenyum, dan beranjak pergi kembali ke rumah di sebelah rumahku. Aku ternganga tak percaya. Dasar orang aneh.

Beberapa waktu telah berlalu, dan aku masih saja gagal menyuruhnya untuk pergi. Sampai di suatu sore dia datang dengan membawa setangkai mawar merah dan berdiri di teras depan rumahku. Saat aku keluar untuk mengtahui apa maunya, dia menggigit tangkai mawar itu dan bertepuk tangan sambil mengedipkan matanya. Lalu dia memberikan mawar itu padaku sambil berkata bahwa tadi adalah tarian ala Zorro. Aku berusaha menahan tawaku dengan mengerutkan keningku dan menyipitkan mataku. Zorro dari mananya? Dia memandangku karena aku tidak juga mengambil mawarnya. Kemudian, seperti menyadari sesuatu, dia mengambil sapu tangan dari saku celananya dan menggulungkannya di tangkai mawar yang ia pegang. Dan, kejadian itu terulang lagi. Dia menarik tanganku dan menaruh mawar bersapu tangan itu dalam genggamanku. Lalu, ia tersenyum dan kembali ke tempatnya. Aku masuk ke dalam rumah dengan menggenggam mawar Zorronya sambil tertawa. Tapi mawar itu mengingatkanku pada sesuatu. Pada seseorang yang telah pergi.

“I tried so hard to tell my self that you’re gone. But though you’re still with me, I’ve been alone all along…”

Setelah hari itu, setiap hari aku mendapatkan setangkai bunga mawar di teras rumahku. Entah itu mawar merah atau putih. Mama bilang begitu keluar rumah mawar itu telah ada di sana. Aku curiga Yudhit yang mengirimkannya, karena aku sering melihatnya tersenyum dari dalam mobilnya saat melihatku memegang mawar. Orang aneh. Sampai suatu hari, dia mengajakku untuk pergi ke pantai. Aku menolaknya, tapi dia memaksaku dengan menarikku ke dalam mobilnya. Aku bilang ini adalah penculikan, namun dengan penuh percaya diri dia bilang tidak apa-apa kalau penculiknya setampan dia. Dasar orang aneh yang narsis.

Sesampainya di pantai, dia mengambil dua buah payung dari bagasi mobilnya dan memberikannya satu padaku. Dia bilang akan mengajakku surfing, tapi aku sama sekali tidak melihat ombak yang bagus untuk surfing. Lagipula aku tidak bisa berenang dan tidak membawa peralatan untuk surfing. Dia menarikku ke sebuah toko di pinggir pantai yang menjual pernak-pernik berbau laut. Kemudian dia tersenyum dan menunjuk dua papan surfing di pojok toko, lalu mengajakku untuk menaikinya. Katanya, kita tetap dapat surfing walaupun tidak bisa berenang. Dia membuka payungnya ketika naik ke atas papan itu, lalu bertingkah seolah-olah ia berada di tengah ombak yang bagus dan berteriak sambil bergoyang-goyang mengikuti ombak yang ada di imajinasinya itu. Aku tertarik dan mengikutinya. Tapi ternyata tidak semudah yang kubayangkan, sehingga Yudhit harus memegangi tanganku dan kami berdua surfing di atas papan di dalam toko sambil berpayungan dan berteriak seolah-olah kami ada di tengah laut. Idiot memang. Tapi cukup menyenangkan.

Setelah itu kami berjalan di atas pasir putih. Sesekali dia merunduk, mengambil kerang dan menempelkannya di telinganya, lalu beralih ke telingaku. Ada suara laut di dalamnya. Tapi, katanya, suara laut itu belum tentu benar. Terkadang itu hanya sugesti orang saja karena kerang itu memang ada di pinggir pantai seperti ini. Kemudian dia melemparkan kerang itu ke air dan berteriak. Aku memperhatikannya. Dia terus berteriak. Lalu dia menantangku untuk berteriak melawannya, dan melawan semua beban di pikiran. Aku tidak mau, tapi kemudian dia menggodaku bahwa aku takut kalah. Akhirnya aku terjerumus juga dalam arena itu. Adu teriak di pinggir pantai. Benar saja, aku merasa lega setelah berteriak-teriak seperti itu. Dia berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja dan menarik tanganku menuju mobil untuk pulang. Ya, semuanya akan baik-baik saja. Aku harus bangkit. Kadang kebahagiaan memang sulit untuk dilupakan. Sulit tapi pasti bisa.

Sejak saat itu sikapku menjadi lebih ramah pada Yudhit. Aku membalas senyumnya jika dia tersenyum padaku, menyapanya jika dia menyapaku. Bahkan kadang kami pergi berkeliling bersama di akhir minggu. Dan entah kenapa belakangan ini aku merasa bahwa senyumnya manis sekali. Ah, padahal sebelumnya aku sebal sekali pada senyumnya itu. Entahlah. Tapi yang jelas sekarang aku lebih menikmati hidup dari sebelumnya. Mama bilang, aku tengah jatuh cinta. Aku hanya tertawa menanggapinya. Apa iya? Dan malam itu aku, saat aku berada di balkon untuk menghirup udara segar sehabis hujan, aku mendapatkan Yudhit berada di halaman rumahku dengan membawa gitar. Ketika melihatku, ia tersenyum dan mulai bernyanyi sambil memainkan gitar, yang menurutku lebih ke arah teriak daripada bernyanyi.

“pernahkah terlintas sesaat di benakmu kau ingin aku?
pernahkah gelisah merasuki hatimu kau ingin hadirku?
memang aneh tapi nyata bila kau dan aku jadi satu
bukan berarti tak mungkin bisa
karena dirimu yang aku mau
ku akan mengajakmu untuk lebih jauh
ku tergila-gila kepadamu, ku telah jatuh hati lebih jauh
itu yang ku mau untuk lebih dalam
ku tergila-gila kepadamu, ku telah jatuh hati lebih jauh
itu yang ku mau
percayalah tak ada yang tak mungkin bila hati ini telah bicara
biarkan semua mengalir apa adanya
karena dirimu yang aku mau
kubiarkan diriku untuk lebih jauh
tak perlu lagi kita membuang waktu
berikanlah satu kesempatan mengisi hari demi hari
katakan kau mau untuk lebih dalam”

Aku tertawa melihat tingkah makhluk satu ini. Entah kenapa selalu saja ada ide-ide gila yang mengalir di otaknya. Tapi di satu sisi aku merasakan pipiku panas. Yah, mungkin warnanya seperti kepiting rebus sekarang. Untuk mengalihkannya, aku berteriak padanya bahwa ia seperti orang gila karena membuat konser malam-malam di halaman rumah orang. Tapi kemudian dia menggodaku dengan berkata, ‘tapi suka kan?’ dasar! Aku tertawa, dan dia terlihat malu-malu sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Hari ini Yudhit mengajakku ke Stasiun Tugu untuk menjemput sahabatnya sejak kecil. Katanya, dia sudah lama tidak bertemu dengan sahabatnya ini. Sekarang sahabatnya datang untuk menjenguknya, sekaligus mencari cintanya yang hilang. Aku tertawa kecil, terdengar seperti sinetron. Tapi aku sangat senang melihat antusiasme Yudhit. Dia pasti sangat merindukan sahabatnya itu.

Yudhit menggandengku menuju peron tempat kereta yang ditumpangi sahabatnya itu berhenti. Kami menoleh ke segala arah mencari sahabatnya ketika para penumpang dari kereta itu turun. Dan, aku kembali melihatnya. Melihat orang itu. Orang yang dua tahun lalu pergi begitu saja dengan alasan akan melanjutkan sekolahnya, dan meninggalkanku tanpa kepastian apapun. Dan ternyata dia adalah sahabat Yudhit. Ya, Bagas adalah sahabat Yudhit. Aku benar-benar kaget saat mengetahuinya. Namun aku usahakan untuk tersenyum saat menjabat tangannya. Sepertinya Bagas juga kaget karena dia terlihat agak kikuk.

“Selang waktu berjalan kau kembali datang. Tanyakan keadaanku. Kubilang, ‘kau tak berhak tanyakan hidupku…’”

Aku sama sekali tidak menyangka kalau Bagas adalah sahabat Yudhit sejak kecil. Aku hanya diam saja di jok belakang mobil ketika Yudhit dan Bagas mengobrol, walaupun aku sadar bahwa Bagas kurang nyaman dengan situasi ini. Sama sepertiku. Tapi aku sama sekali tidak mau menyakiti Yudhit, maka aku diam saja di belakang. Lalu, aku jadi berpikir mengenai tujuan Bagas datang ke sini untuk mencari cintanya yang hilang. Apa dia bermaksud mencariku? Kalau iya, apanya yang hilang? Dia yang meninggalkanku tanpa kepastian. Itu tidak bisa disebut hilang kan?
Yudhit mengajak Bagas ke pantai. Lalu, entah hobi atau bagaimana, dia mengajak Bagas surfing di toko itu lagi seperti dia mengajakku waktu itu. Aku tertawa melihat kekonyolan mereka berdua karena tingkah mereka saat ini jauh lebih bodoh dari aku dan Yudhit pada waktu itu. Kemudian, setelah surfing di toko itu, kami berjalan menyusuri pasir putih. Yudhit dan Bagas banyak mengobrol, sedangkan aku lebih memilih diam dalam genggaman tangan Yudhit. Ketika aku mulai lelah, Yudhit kemudian berjongkok di depanku dan menawarkan untuk menggendongku di punggungnya. Aku menolaknya, tapi dia memaksa dan akhirnya kuturuti kemauannya. Aku melingkarkan tangan di lehernya, menyandarkan kepalaku di bahunya dan perlahan-lahan menutup mataku. Tapi aku belum tertidur, hanya mataku saja yang tertutup.

Kudengar Bagas bertanya pada Yudhit bagaimana hubungannya denganku. Aku bisa mendengarnya dengan jelas karena memang aku belum tertidur walau mataku sudah tertutup. Yudhit berkata bahwa tidak pernah terpikirkan olehnya akan bertemu denganku. Aku yang menurutnya berkarakter dan tidak lembut. Tapi walaupun begitu, aku membawa cinta untuknya. Sebenarnya aku tidak suka Yudhit bilang kalau aku tidak lembut. Kemudian Yudhit melanjutkan bahwa ia akan terus ada di sampingku dan Bagas mengucapkan selamat padanya. Aku mempererat pelukanku padanya karena tanpa disangka-sangka dia membawa kebahagian baru padaku walaupun dengan awal yang tidak biasa. Dan aku telah memilih Yudhit, walaupun Bagas kembali lagi. Kebahagiaan memang bisa saja datang dengan cara yang tak terduga, yang dibawa oleh orang yang tak terduga juga. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir bahwa kebahagiaan itu akan datang lagi padaku setelah semua ini. Tapi nyatanya dia datang lewat Yudhit, yang sebenarnnya lebih cocok menjadi seorang pelawak daripada seorang arsitek. Mungkin jika dia sudah tidak laku lagi sebagai arsitek, aku akan mengusulkan dia untuk beralih profesi menjadi pelawak saja.

This could have been just another day, but instead we're standing here
No need for words it's all been said in the way you hold me near
I was alone on this journey, you came along to comfort me
Everything I want in life is right here

'Cause this is not your ordinary, no ordinary love
I was not prepared enough to fall so deep in love
This is not your ordinary, no ordinary love
You were the first to touch my heart
And everything's right again with your extraordinary love

I get so weak when you look at me
I get lost inside your eyes
Sometimes the magic is hard to believe, but you're here before my very eyes
You brought joy to my world, set me so free
I want you to understand, you're every breath that I breathe

From the very first time that we kissed
I knew that I just couldn't let you go at all
From this day on, remember this:
That you're the only one that I adore
Can we make this last forever
This can't be a dream
'Cause it feels so good to me

Tuesday, March 8, 2011

not really a facemaker

halo, bertemu lagi dengan saya di sini heheheh

okeh, langsung aja deh ya
jadi gini ceritanya.....
gimanya ya mulainya? hem hem hem

jadi gini, ada seseorang *cailah*, gue manggilnya facemaker
awalnya sih gak gue panggil gitu, gue menyebut dia dengan merk obat hehehehe
jadi ceritanya temen gue pernah suka sama dia (duh gue pengen ketawa kalo inget ini)
dan dia jadi galau gara-gara ni cowok
gue sama anak-anak kerjaannya ngecengin temen gue itu kan

nah, waktu itu kan ada acara di kampus pas akhir semester satu
si mr. facemaker yang belom disebut facemaker itu dateng
trus dia kayak ngeliat gue gimanaaaa gitu dari dalem ruangan
eh buset, emang gue setan apa dia sampe segitunya?
ato dia ngira gue mas-mas kayak yang orang kira selama ini? (--")a

yah, pokoknya gue menilai dia itu tukang tepe lah sejak saat itu
apalagi waktu temen gue nyuruh gue buat nge-add facebooknya
dan isinya.... ahahahahahah tuh kan, tepe!!!

waktu terus berjalan, dia jadi berubah *tenang, ini bukan iklan sabun muka dan sebagainya yang tiba-tiba si model jadi keren*
jadi beda aja, gak keliatan polosnya lagi *dia dulu polos loh, walau kata gue tepe juga hehehehe*
yaudah, gue sih bodo amat asal dia gak macem-macem ma gue kan

dan... jengjengjeng~~~
he became a facemaker
istilah ini gue yang bikin sebenernya, karena menurut gue dia jadi suka making a face gitu
jadi tepe, dan ekspresinya suka berubah-ubah (yang menurut gue itu dibuat-buat)

gue gak pernah ngomong sama dia
gue cuma liat dia dari jauh *ih tinlit banget deh cuih*
tapi pas abis lebaran kemaren dia nyamperin gue, ngajak salaman sambil bilang, "minal aidin ya pit..."
gue kelabakan, dikirain gak bakal nyamperin tu anak, yaudah gue jawab, "sama-sama..."

yah pokoknya gitu deh
pikiran gue tentang dia gak berubah: dia itu facemaker
tukang bikin-bikin ekspresi hehehehehe
sampe semester empat ini

semester ini gue entah kenapa ketemu mulu sama ni anak
ternyata di balik ke-facemaker-an nya, dia baik kok
gak facemaker facemaker amat hahahahaha
tapi kalo soal tepe mah, tetep!
gak kalah deh dia sama don juan duren tiga hahahahaha
dan, yah, gitu deh...
intinya dia baik

intinya, ternyata apa yang lo kira, lo pikir atas sesuatu atau seseorang yang lo belom kenal itu, belum tentu bener
buktinya? ya si facemaker itu hehehehe
yah, walaupun anggapan gue ada yang bener juga yaaa hehehehe

duh, dasar facemaker hahahahahahaha











(bisa bikin galau juga ternyata)