Thursday, August 9, 2012

다시… 사랑합니다 / Love Again (Chapter 5)


Tepat satu minggu Adis di Daejeon, ia pergi mengunjungi Gunung Manin di Hasodong, Dong-gu. Seperti biasa, Sang Joon yang menemaninya. Pil Seong juga ikut, begitu juga dengan Min Ah yang memaksa ikut.
Walaupun ini pertama kalinya Adis mengunjungi Gunung Manin, suasana hatinya hari ini sedang tidak baik, karena Min Ah makin menjadi-jadi. Kemarin, saat mereka pergi ke Aqua World di Daesa-dong, Jung-gu, ia terus-terusan menempel pada Sang Joon dan bahkan memeluk laki-laki itu dari belakang dan tidak mau melepaskannya. Jujur, Adis tidak suka melihatnya. Ditambah, gadis itu kembali mengucapkan kalimat yang tiga tahun lalu diucapkannya pada Adis.
Dan pagi ini, saat mereka sampai di Gunung Manin, Min Ah kembali mendekati Adis yang sedang menghirup udara segar dan membentangkan kedua tangannya.
“Kau ingat kata-kataku kemarin, kan?” ujar Min Ah yang membuat Adis menoleh, “Sang Joon oppa milikku. Jangan kau coba untuk mencari celah di antara kami.”
Adis tertawa seperti kemarin. Namun, kali ini ia sedikit mengejek Min Ah, “Oh ya? Tapi aku tidak lihat ada tulisan di keningnya yang mengatakan dia milikmu.”
Min Ah tersenyum menyebalkan, “Tapi kau bisa lihat kalau kami berpelukan sejak kemarin, bukan?” lalu Min Ah pergi begitu saja sebelum Adis kembali membuka mulutnya.
Adis benar-benar kesal. Jelas-jelas gadis itu yang terus-terusan memeluk Sang Joon dari belakang. Ia lantas mengusap-usap dadanya dan menarik napas panjang.
“Wae keurae?” Pil Seong menghampiri Adis, “Apa yang ia bilang padamu?”
Adis hanya menggeleng dan terdiam selama beberapa saat. “Pil Seong-ah, ayo kita naik sepeda. Kudengar di sini kita bisa berkeliling dengan bersepeda?” Adis langsung menarik tangan Pil Seong menuju tempat penyewaan sepeda, mendahului Sang Joon yang telah berjalan lebih dahulu.
Mata Sang Joon melebar melihat hal itu. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Adis dan Pil Seong menjadi dekat seperti itu. Dan mata Sang Joon bertambah besar ketika melihat Pil Seong dan Adis menyewa satu sepeda saja. Itu artinya Pil Seong yang akan memboncengi Adis. Mulut Sang Joon terbuka.
Kim Pil Seong, apa yang kau… batin Sang Joon.
Tapi terlambat, Pil Seong dan Adis sudah bersepeda dengan kedua tangan Adis memegang erat pinggang Pil Seong. Dan tiba-tiba saja Min Ah menarik tangan Sang Joon sambil berteriak minta naik sepeda seperti Pil Seong.
Gunung Manin memang sangat indah dan Pemerintah Daejeon menyulapnya menjadi salah satu tujuan rekreasi keluarga, lengkap dengan sarana pembelajaran berupa Green Learning Center, piknik maupun kamping. Terdapat lembah Bongsuremigol, dan dari sinilah aliran Dejeoncheon, salahs atu sungai besar di Daejeon, berasal.
Pil Seong dan Adis melewati sebuah area hijau dengan patung-patung batu, dan berhenti di depannya. Terdapat enam patung batu kecil yang tersambung mengelilingi sebuah batu yang cukup lebar di tengahnya. Di depan batu-batu tersebut terdapat patung batu berbentuk seperti kura-kura dan di atasnya terdapat patung batu besar dan tinggi.
“Ini… kuburan?” tanya Adis.
Pil Seong mengangkat bahunya, “Molla[1]…”
Adis tertawa dan mendorong bahu Pil Seong dari belakang, “Kau kan orang Daejeon.”
“Apa karena aku orang Daejeon, aku pasti tau? Aku juga belum pernah ke sini.” jawab Pil Seong sambil tertawa.
Sang Joon lalu melewati mereka sambil berdeham. Min Ah yang duduk di boncengan sepeda Sang Joon melambai-lambai pada Pil Seong dan Adis dengan tampang menyebalkan, yang menurutnya pasti imut.
Pil Seong kemudian mengayuh kembali sepedanya dan melewati sebuah danau dengan air mancur di tengahnya. Adis terkesima melihat danau dan air mancur itu. Gadis itu kemudian menunjuk pembatas batu dan bangunan seperti cottage di dekat danau itu.
“Neomu areumdaun[2].” ujar Pil Seong. “Tidak perlu ke mana-mana, cukup di Daejeon!” ujarnya senang.
Ucapan Pil Seong tersebut kemudian membuat Adis teringat sesuatu, “Ah iya, kau gagal pergi ke London bersama Sang Joon, bukan?”
“London?” Pil Seong sedikit menoleh pada Adis sambil mengayuh sepedanya.
Adis mengangguk, “Iya, London. Bukankah kau dan teman-temanmu yang lain, termasuk Sang Joon berencana untuk liburan ke London? Namun sayangnya gagal.”
Pil Seong tertawa, “Anni. Sama sekali tidak ada rencana untuk liburan ke London.”
Kening Adis berkerut. Ia masih ingat Sang Joon marah-marah padanya di Eunhaeng-dong waktu itu dan berkata bahwa Adis telah membuat rencana liburan ke Londonnya gagal. Apa berarti… Sang Joon telah berbohong?
“Ah, jembatan tali!” seru Pil Seong membuyarkan pikiran Adis. Ia kemudian mengayuh kayu menuju  jembatan tali yang di bawahnya dipasang jarring pengaman tersebut, memarkirnya dan mengajak Adis untuk menyebrang melalui jembatan tersebut.
Selama menyeberangi jembatan, pikiran Adis tidak luput dari perkataan Pil Seong tadi. Jadi Sang Joon berbohong padanya? Tapi kenapa? Walaupun ia tidak suka menemani Adis, kenapa tidak bilang langsung dan harus berbohong? Karena lamunannya tersebut, Adis tergelincir dan hampir terjatuh. Untung saja Pil Seong menangkapnya, dan memegang bahunya. Laki-laki itu tersenyum manis.
“Sebaiknya kita kembali lagi,” ucapnya setelah menanyakan apa Adis baik-baik saja, “Kalau kita sampai seberang, bagaimana dengan sepeda yang kita sewa?”
Adis mengangguk, dan mereka kembali lagi ke ujung tempat Pil Seong memarkir sepeda. Laki-laki itu menggandeng tangan Adis agar gadis itu tidak lagi tergelincir.
“Wasseo[3],” ucap Pil Seong dan ketika ia menegakkan kepalanya, ia mendapati Sang Joon berdiri di hadapannya dengan wajah kakunya. Matanya melebar yang menunjukkan bahwa ia sedang marah. “Oh ow…” ucap Pil Seong.
“Seong-ah, apa yang kau lakukan?” tanya Sang Joon dengan suara bergetar.
Pil Seong menggaruk-garuk kepalanya, “Joon-ah…”
Sang Joon menatap Pil Seong lurus, “Kita perlu bicara.”
Adis menatap Sang Joon dan Pil Seong bergantian, lalu ia maju dan menarik tangan Sang Joon menjauh, “Kita yang perlu bicara.”
Sang Joon kaget atas sikap Adis, “Mwoya[4]?” tanyanya bingung, “Kenapa kamu…”
“Aku yang harusnya bertanya ke kamu.” Adis menyentakkan tangan Sang Joon, “Kenapa kamu bohong?”
“Bohong apa?”
“London. Nggak ada acara liburan ke London, kan? Kenapa kamu bohong? Kalau kamu memang nggak mau menemani aku, kamu tinggal bilang! Nggak perlu bohong!”
Sang Joon membuka mulutnya, “Aku…”
“Apa?” tanya Adis. “Aku tahu, kamu nggak suka sama aku. Aku juga nggak ngerti kamu kenapa. Kenapa kamu jadi beda sekarang. Aku…”
“Bukan begitu.” potong Sang Joon.
“Kamu juga sengaja, mesra-mesraan dengan Min Ah?”
“Mwo?” Sang Joon tampak bingung, “Siapa yang…?”
“Kamu!”
“Aku? Bukannya kamu? Kamu sengaja kan pegang-pegangan tangan dengan Pil Seong? Kamu mau buat aku marah?”
“Siapa yang…?”
“Kamu!” balas Sang Joon. “Kalau kamu mau buat aku marah, selamat kalau begitu. Aku marah.”
“Kamu yang bikin aku marah!” kata Adis sengit.
“Kamu juga bikin aku marah!” balas Sang Joon tidak kalah sengit.
“Ya sudah! Mulai sekarang kita jalan sendiri-sendiri!”
“Baik!”
Adis menggembungkan pipinya. Tangannya terkepal, dan ia segera membalikkan badannya dan berjalan menjauh. “Jangan ikutin atau cari aku!” Adis membalikkan badannya.
“Tidak akan!” Sang Joon ikut berbalik dan berjalan menuju sepedanya diparkir dekat Pil Seong dan Min Ah.
“Ya, neo[5].” ujar Pil Seong saat Sang Joon mendekat, “Kenapa dia berjalan ke sana?”
“Biarkan saja.”
Pil Seong tampak bingung, namun kemudian ia memutuskan untuk menyusul Adis. Tapi Sang Joon menahannya. “Neo micheosseo[6]? Dia bisa tersesat!” ujar Pil Seong.
Sang Joon menatap Pil Seong datar dan tajam, “Biarkan dia.”
“Joon-ah…”
“Biarkan dia!” Sang Joon terlihat marah. Pil Seong terkesima. Sang Joon sendiri kemudian langsung naik ke sepedanya dan mengayuhnya pergi, tidak memedulikan Min Ah yang merengek ingin ikut. Ia semakin menjauh dengan sepedanya.
Pil Seong bingung dengan apa yang terjadi dengan Sang Joon dan Adis. Tapi mereka memang terlihat bertengkar tadi. Tapi lamunan Pil Seong tidaklah lama karena saat ini Min Ah sedang menatapnya dengan wajah ingin menangis, yang Pil Seong yakin dibuat-buat.
“Mwo? Kau pulang saja sendiri.” Pil Seong segera naik ke sepeda dan mengayuhnya.
“Ya! Kim Pil Seong!” jerit Min Ah sambil menghentakkan kakinya ke tanah. “Neo micheosseo? Kenapa kau meninggalkan gadis secantik aku sendirian?”

₪ ₪ ₪

Adis berjalan tak tentu arah menyusuri hijau pepohonan. Ia masih sangat marah dengan Sang Joon, dengan apa yang dikatakan dan dilakukan olehnya. “Mwo? Aku sengaja bermesraan dengan Pil Seong?” ucapnya, “Bukannya dia yang sengaja dan diam saja ketika gadis itu dekat-dekat dengannya, menggandengnya, merangkulnya? Lalu dia menyalahkan aku? Lalu untuk apa dia bohong tentang London? Kenapa dia tidak langsung bilang kalau tidak suka aku datang, tidak suka mengantarku. Kenapa bohong?
“Dan dia bilang dia marah. Karena aku sengaja berpegangan tangan dengan Pil Seong? Apa dia tidak lihat kalau Pil Seong hanya membantuku agar tidak jatuh? Dia bahkan sudah marah sejak awal. Tidak, bahkan sejak tiga tahun lalu. Dan itu hanya karena kami tidak jadi pergi ke N Seoul Tower karena aku bertemu dengan Arya di sini, dan akhirnya pergi ke Dunsan Grand Park. Tapi dia juga ikut, kan? Dan aku juga sudah minta maaf, kan? Dan sampai tiga tahun di masih…. Aaaaarrrrhhh!”
Adis menyentakkan kakinya dan tergelincir jatuh. Kesakitan, ia mengusap-usap kedua kakinya. Ia terdiam sebentar dan teringat tentang Arya. Ia pernah bertengkar juga dengan Sang Joon karena Arya. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ia mengedarkan pandangannya dan sadar bahwa ia tersesat dan tidak tahu ada di mana. Langit juga terlihat gelap. Sepertinya akan hujan. Gadis itu kemudian segera bangun dan mencari jalan keluar. Paling tidak ia bisa keluar dari pepohonan dan sampai di tempat ia sampai tadi.

₪ ₪ ₪

Pil Seong mengejar Sang Joon yang sedang berjalan ke lapangan parkir. Laki-laki itu menggapai lengan Sang Joon dan membalikkan badan sahabatnya itu.
“Joon-ah,” panggilnya, “Neo micheosseo?”
Sang Joon mengerutkan keningnya lalu menyentakkan tangan Pil Seong dan menatap sahabatnya itu tajam, “Kubilang biarkan saja dia sendiri. Lagipula dia bilang ingin berjalan masing-masing bukan?”
“Tapi bagaimana jika dia tersesat? Dia belum pernah ke sini sebelumnya dan…”
“Seong-ah,” potong Sang Joon, “Apa kau begitu peduli padanya?”
Kening Pil Seong berkerut, “Mwo?” Pil Seong bingung dengan apa yang dikatakan Sang Joon. Tapi kemudian ia tertawa mengejek dan bertolak pinggang, “Ne, aku peduli padanya. Aku kasihan padanya karena kau seperti ini. Kau tau, aku bahkan sengaja mendekatinya agar kau bereaksi. Agar kau tidak lagi memaksakan diri bersikap dingin lagi padanya. Tapi apa?”
Sang Joon terbelalak. “Mwo?”
“Joon-ah, tidak bisakah kau melihat bahwa dia marah karena diam saja ketika Min Ah bergelayutan padamu? Apa kau buta? Dan sekarang kau membiarkannya pergi sendiri? Neo micheosseo? Bagaimana kalau dia…”
Pil Seong belum menyelesaikan kalimatnya ketika Sang Joon segera berlari menuju mobilnya dan membuka pintu untuk mengambil senter. Kemudian ia berbalik dan berlari menuju Gunung Manin.
Pil Seong tercengang selama beberapa saat, tapi kemudian ia tersenyum dan mengepalkan tangan dan mengangkatnya, “Hwaiting[7]!”

₪ ₪ ₪

Adis memutar pandangannya, dan membalik badannya, mencoba untuk mencari jalan keluar. Ini di mana? batinnya. Apa dari tadi aku hanya berputar-putar? Bagaimana ini? Kenapa aku tidak bisa menemukan jalan?
Adis mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana jeans nya. Tidak ada sinyal dan baterainya sekarat. Adis sudah ingin menangis rasanya. Tapi ia berusaha menenangkan dirinya dan mengingat-ingat jalan yang ia lewati. Ia berputar dan menjulurkan telunjuknya, serta melongok ke celah pepohonan. Namun sayangnya ia tidak mengingatnya sama sekali.
Kenapa? Bukankah seharusnya tidak sulit untuk menemukan jalan? batinnya. Kenapa aku tidak bisa menemukannya?
Langit yang mendung kini sudah meneteskan rintik-rintik airnya yang makin lama makin besar, yang diselingi dengan suara petir. Adis menengadah dan semakin ingin menangis. Ia kembali melihat ponselnya untuk mencari sinyal, namun ponselnya justru mati. Kemudian ia melihat gantungan Taeyang di sana. Akhirnya dua sungai kecil pun mengalir dari kedua matanya.
Joon-ah…, batinnya. Aku takut…

₪ ₪ ₪

Sang Joon berlari menyusuri jalanan dan pepohonan di Gunung Manin sambil mengutuki dirinya. Hujan makin lama makin deras, sementara sampai saat ini ia belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan Adis. Sang Joon menyorotkan senternya pada pepohonan yang ada di sekitarnya, mencoba mencari Adis. Ia sangat khawatir dan merasa sangat bodoh karena membiarkan Adis pergi sendirian seperti itu. Bagaimana jika ia kenapa-napa? batinnya.
Sudah satu jam Sang Joon mencari Adis dan belum juga menemukan gadis itu. Ia berkali-kali berteriak memanggil nama gadis itu, namun tidak ada jawaban. Akhirnya iya merasa lelah dan menopangkan kedua tangan ke lututnya dan terengah-engah.
Bagaimana ini? Kenapa aku belum menemukannya? batin Sang Joon. Bagaimana jika aku tidak bisa melihatnya lagi? Ya Tuhan… apa yang telah kulakukan?
Sang Joon kembali menegakkan tubuhnya dan kembali mencari Adis. Tak berapa lama ia melihat kaus yang digunakan Adis. Ia berlari menghampiri kaus tersebut. Matanya terbelalak melihat Adis bersandar dan menggigil pada sebuah pohon.
“Adis,” panggil Sang Joon sambil merengkuh Adis, “Kamu tidak apa-apa?” Namun Adis terlihat sangat lemah. “Dis,” ulang Sang Joon sambil menggoyangkan tubuh Adis, namun tidak ada jawaban.

₪ ₪ ₪

Adis berjalan di sebuah halaman hijau dengan taman bunga di sisi kanan dan sebuah pohohon rindang. Di bawah pohon itu terdapat seorang anak perempuan yang sedang menggendong sebuah boneka beruang, dan seorang anak laki-laki sedang menggambar dengan krayonnya. Entah mengapa, mereka tampak familiar bagi Adis.
“Kamu lagi gambar apa?” tanya si anak perempuan.
“Ini gambar rumah kita nanti,” jawab si anak laki-laki, “Aku gambar taman bunga yang bagus untuk kamu.”
Ucapan si anak laki-laki membuat anak perempuan yang duduk di sampingnya tersenyum senang. Adis pun tersenyum mendengarnya. Ia melongok ke gambar si anak laki-laki dan terpana. Anak laki-laki itu menggambar sebuah rumah dengan dua orang di depannya, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Tapi yang membuat Adis terkejut adalah, di bawah gambar itu terdapat tulisan “Rumah Sang Joon dan Adis”. Adis kembali melihat kedua anak yang tengah tertawa itu. Berarti mereka itu… batin Adis.
Lalu tiba-tiba halaman hijau tersebut berubah menjadi sebuah ruangan dengan banyak orang di sana. Sepertinya ini bandara. Dan di hadapan Adis berdiri dua keluarga, dan seorang anak perempuan yang berusia sekitar sepuluh tahun tengah menangis.
“Jangan pergi…” isak anak itu.
“Kita pasti bertemu lagi. Nanti kita buat rumah seperti di gambar, ya.” ujar anak laki-laki sebaya yang ada di hadapan anak perempuan itu.
Adis membelalakkan matanya. Ia ingat kejadian ini. Ini adalah saat Sang Joon harus pindah ke Korea saat mereka masih berusia sepuluh tahun. Dan Adis ingat delapan tahun kemudian ia datang pertama kalinya ke Korea untuk menemui Sang Joon.
Adis berbalik dan tiba-tiba saja di depannya berkelebat perjalanan pertamanya ke Korea. Saat ia sampai di Bandara Internasional Incheon dan disambut dengan senyuman oleh Sang Joon, saat mereka pergi berjalan-jalan ke Eunhaeng-dong, Expo Park di Yuseong-gu, , Min Ah yang berkata bahwa Sang Joon adalah miliknya, pertemuan tiba-tiba dengan Arya yang berakhir di Dunsan Grand Park dan ketika Sang Joon mengantarnya pulang di Bandara Internasional Incheon tanpa senyum sama sekali.
Adis kembali teringat bahwa Sang Joon marah karena menurutnya Adis lebih memilih Arya dibandingkan dengan dirinya. Adis ingat saat itu ia lebih memilih pergi bersama Arya, yang walaupun juga bersama Sang Joon, namun melupakan janji mereka untuk ke N Seoul Tower. Adis juga melihat bahwa Arya sempat membisikkan sesuatu yang membuat air muka Sang Joon berubah, yang tidak ia lihat sebelumnya.
Dan tiba-tiba saja ingatannya beralih pada perjalanan keduanya demi untuk bisa bertemu lagi dengan Sang Joon, namun sayangnya laki-laki itu tampak masih marah. Lalu pertemuannya dengan Min Ah yang berkeras bahwa Sang Joon adalah miliknya, dan fakta bahwa Sang Joon tampaknya tidak keberatan dengan adanya Min Ah di sisinya. Dan terakhir, saat mereka bertengkar di Gunung Manin juga karena Sang Joon telah berbohong padanya.
Lalu tiba-tiba kepalanya terasa sakit, dan ketika ia membuka matanya Adis menyadari ia berbaring di ruangan yang serba putih. Ia merasakan genggaman pada tangan kanannya. Ia melirik dan mendapati seorang laki-laki berambut hitam sedang membenamkan wajahnya dan kedua tangannya menggengam tangan kanan Adis dengan kedua tangannya.
“Sang… Joon…?” ucap Adis lemah.
Laki-laki itu langsung menengadahkan kepalanya. Ternyata memang benar Sang Joon. Walaupun Adis baru sadar, tapi ia bisa melihat bahwa dari kedua mata laki-laki itu mengalir dua sungai kecil.
“Adis?” ujarnya seraya bangkit, namun masih menggenggam tangan Adis, “Kamu sudah sadar? Kamu tidak apa-apa?”
Adis tersenyum dan melepas tangannya dari genggaman lelaki itu, lalu mengusap air mata di pipinya, “Uljima[8].”

₪ ₪ ₪

Tante Lidya membelai kepala Adis yang sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan sayang. Kemudian beliau pergi keluar ruangan untuk membelikan makanan untuk putranya. Adis sendiri sudah merasa lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ia sebenarnya merasa malu pada kenyataan bahwa ia hanya kehujanan tetapi ia harus masuk rumah sakit seperti ini.
“Wae? Wajar kau masuk rumah sakit.” jawab Sang Joon, “Kau hanya sarapan sedikit. Cuaca di sini juga sangat terik, tapi kemudian hujan. Ditambah kau tersesat dan ketakutan. Dan itu…” Sang Joon menggaruk pelipisnya, “Karena aku.”
“Joon-ah…”
“Mianhae[9].” kata Sang Joon lagi.
Adis menggelengkan kepalanya, “Kamu tahu? Tadi aku sempat melihat banyak hal.”
Sang Joon menatap Adis, “Mwo?”
“Aku melihat masa kecil kita. Aku melihatmu menggambar rumah masa depan kita, dengan taman bunga yang cantik. Aku melihat saat kau harus pindah ke sini. Kita berjanji untuk saling bertemu lagi kan?”
Sang Joon terpana. Ia tidak menyangka Adis ingat semua itu, terutama tentang gambar rumah mereka yang dibuat Sang Joon kecil. Apalagi setelah…
“Lalu aku ingat ketika aku pertama kali datang ke sini. Kamu menjemput aku dengan senyum lebar. Senyum yang nggak pernah aku lihat lagi sekarang. Kita juga sering berjalan-jaln bersama. Lalu muncul Arya. Dan karena itu juga kita batal ke N Seoul Tower bukan?”
Sang Joon mengangguk. Jujur, ia benci mengingat soal Arya.
“Dan setelah itu kamu marah ke aku.” Adis diam selama beberapa saat, “Wajar kalau kamu marah. Aku memang salah. Tapi kau sama sekali nggak menyangka kalau marah kau bisa bertahan selama tiga tahun.”
“Aku…” Sang Joon menunduk.
“Tapi tadi aku lihat kalau Arya membisikkan sesuatu ke kamu, dan air muka kamu berubah. Aku… boleh tahu dia bilang apa?”
Sang Joon menatap Adis, “Dia bilang kalau kamu adalah miliknya. Kalau kamu… menjalin hubungan dengan dia dan…”
“Dan kamu percaya?”
“Aku marah. Aku tidak mau percaya tapi… kelihatannya kamu dekat sekali dengan dia, terlebih kamu sampai membatalkan janji kita… Aku…” Sang Joon bingung ingin melanjutkan apa. “Aku cemburu. Sangat. Aku merasa kamu meninggalkan aku, meninggalkan janji-janji kita.”
Adis terpana mendengarnya, namun kemudian ia menimpali, “Dan karena itu kamu lepas cincin kita?”
Sang Joon mengangguk dan kemudian mengeluarkan kalung dengan liontin berbentuk cincin dari balik bajunya, “Dan aku menaruhnya di sini.”
Adis tertawa melihatnya. Ia senang ternyata Sang Joon tidak benar-benar melepasnya.
“Dan selepas kamu pergi, aku berpikir apa saat itu kau terlalu muda untuk cinta? Terlalu banyak tekanan sehingga aku justru membuat kamu menangis. Dan kemudian aku pikir… aku bisa memulai hari-hariku seperti biasa dan melupakan kamu. Tapi ternyata tidak. Maka dari itu aku berusaha untuk menghindari kamu, menolak kamu. Maka dari itu aku selalu bersikap dingin dan terlihat tidak suka dengan kedatanganmu. Dan aku… karena hal itu juga aku berbohong soal liburan ke London.”
Adis terpana mendengar pengakuan Sang Joon.
“Tapi aku tidak bisa menahan emosiku ketika ada orang lain yang mendekatimu, terlebih sahabatku sendiri, dan hal itu justru membuat kamu menangis lagi dan bahkan menjadi seperti ini…” lanjut Sang Joon, “Aku telah menajdi pecundang dengan menimpakan ini semua pada kamu. Tapi aku sama sekali tidak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu. Aku…”
Adis menitikkan air matanya, “Meomcheongi[10]. Kamu pikir untuk apa aku datang lagi ke sini? Untuk apa aku kembali lagi ke sini padahal Min Ah sudah berulang kali memaksaku untuk menjauhi kamu?”
Sang Joon terpana. “Min Ah… bilang seperti itu?”
Adis mengangguk, “Dia bilang kalau kau adalah miliknya, dan aku tidak pantas untukmu.”
Mata Sang Joon membesar.
“Aku buang semua rasa takut aku, rasa takut kalau kamu benar-benar benci aku, dan datang ke sini. Cuma… untuk bertemu denganmu.” suara Adis bergetar.
“Uljima…” kali ini Sang Joon yang membasuh air mata Adis.
“Mwo? Bagaimana aku tidak menangis? Aku menderita selama tiga tahun dan…”
Ucapan Adis terputus karena tiba-tiba saja Sang Joon memeluknya erat. “Mianhae… Jeongmal mianhae[11]…” bisik Sang Joon sambil memejamkan mata.
Adis balas memeluk Sang Joon dengan erat sambil memejamkan mata dan tersenyum. “Na do mianhae[12].”



[1]Tidak tahu.
[2]Indah/cantik sekali.
[3]Sudah sampai.
[4]Apa
[5]Hei, kau.
[6]Apa kau sudah gila?
[7]Semangat.
[8]Jangan menangis.
[9]Maaf.
[10]Bodoh/idiot.
[11]Aku benar-benar minta maaf.
[12]Aku juga minta maaf.

No comments:

Post a Comment