Thursday, August 9, 2012

다시… 사랑합니다 / Love Again (Chapter 1)

Oke, ini sebenernya adalah cerpen gue buat lomba, tapi gak menang hahahaha -- boleh diskusi dan minta koreksi sama nae omma, andita pritasari ato biasa dipanngil anprit hehehe (thanks berat omma! XD)

terus gue inget temen gue ada yang minta gue buat nulis lagi, jadi gue posting di sini aja deh biar dia bisa baca hehehe...
setting cerita nya di Daejeon. kenapa Daejeon? Kenapa gak Seoul kayak yang biasanya?
Nah, justru itu. udah biasa kalo pake setting di Seoul hahaha
selain itu, waktu bikin ini gue lagi hopeless karena belum dapet sponsor buat conference ke Daejeon. jadi gue pikir, kalopun gue gak ke sana, paling gak gue punya cerita yang setting nya di sana hahaha
tapi alhamdulillah, berhasil juga ke Daejeon hehehe

so, please kindly check this out XD

Chapter 1


Adis membuka matanya dan melepaskan headphone berwarna putih dari kedua telinganya. Ia menoleh ke arah jendela dan menghembuskan napas. Lalu ia mematikan iPod yang ia nyalakan dari tadi, lalu memasukkannya ke dalam ranselnya bersama dengan headphone yang telah dulu dilepaskannya. Ia menoleh pada laki-laki muda yang selama tujuh jam ini duduk di sampingnya, dan menemukan orang itu sedang memandanginya sambil tersenyum.
Is this your first time?” tanyanya.
Adis tersenyum sambil mengangguk, “Nope,” jawabnya. Lalu ia segera menoleh ke arah jendela lagi sebelum laki-laki itu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Bukannya tidak ramah, tapi ia malas dengan orang yang sedari awal perjalanan ini sering sekali memandanginya sambil tersenyum. Lagipula ia sudah sering menjawab pertanyaan-pertanyaan orang itu sejak awal. Pertanyaan yang selalu menggunakan hahasa Inggris, padahal jelas-jelas ia adalah orang Indonesia. Namanya pun Aditya. Bukan apa-apa, tapi kalau orang Indonesia lebih suka berbicara dengan bahasa lain pada orang Indonesia lainnya, menurut Adis hal itu kurang nasionalis. Kecuali ia berbicara dengan orang asing.
Kemudian Adis mengalihkan perhatiannya pada seorang pramugari berseragam biru yang sedang berbicara di dekat pintu ruang pilot sambil menggunakan pengeras suara. Pramugari itu mengatakan bahwa sebentar lagi pesawat yang mereka tumpangi akan mendarat.
We’ll be arrived soon,” kata Aditya lagi sambil tersenyum.
Adis hanya mengangguk dan kembali menatap lurus ke depan.
“Jadi kamu mau ke mana?” tanya Aditya lagi.
Adis kembali menoleh. cukup kaget juga akhirnya laki-laki ini berbicara menggunakan bahasa Indonesia juga. “Maksudnya?”
“Maksudku…” Aditya tersenyum dan mengubah posisi duduknya menghadap Adis, walaupun tidak bisa benar-benar menghadap ke arah Adis karena ia menggunakan sabuk pengaman. “Tujuan kamu ke mana? Seoul? Aku mau ke Seoul. Kita bisa bareng-bareng. I’ll become your guide.” ujarnya antusias.
Aku? batin Adis, kapan gue jadi deket sama dia sampe dia pake kata “aku”? Dan gue udah bilang kan, ini bukan yang pertama kalinya gue ke sini? “Terima kasih, tapi saya ke Daejeon.” jawab Adis.
“Ah, unfortunately… sayang sekali…” Aditnya menggeleng kecewa. “Mungkin lain kali kita bisa janjian untuk…”
Adis kemudian membungkuk untuk mengambil buku yang sengaja ia jatuhkan dari dalm tasnya. Hal itu juga yang membuat Aditnya berhenti berbicara. Gue juga tau kali, kalo unfortunately artinya sayang sekali, batin Adis. Lalu ia terjembab ke depan dan kepalanya membentur kursi di depannya. “Ah,” ucap Adis sambil menegakkan duduknya dan mengusap-usap kepalanya.
“Kamu nggak apa-apa? Aku panggilin…” ujar Aditya.
“Gak, nggak apa-apa kok. Gak perlu panggil siapa-siapa.” ujar Adis sambil masih mengusap-usap kepalanya.
Are you sure?” tanya Adit lagi.
“Iya, iya. Gak apa-apa. Makasih.” ucap Adis.

₪ ₪ ₪

Adis telah berada di Bandara Internasional Incheon. Setelah turun dari pesawat, ia berusaha sebaik mungkin untuk jauh-jauh dari laki-laki menyebalkan bernama Aditya yang selama tujuh jam perjalanannya dari Bandara Soekartno-Hatta duduk di sampingnya dan bertingkah menyebalkan. Setelah lolos dari karantina di mana suhu tubuhnya diperiksa, ia menaiki tangga shuttle yang membawanya menuju bangunan utama bandara itu. Kemudian ia menuju ke bagian imigrasi dan  pengambilan bagasi dan pabean. Lalu ia berjalan menuju lobi kedatangan.
Ia masih merasa tidak nyaman dengan semua ini. Mamanya yang memaksanya untuk berlibur di Korea - tepatnya di Daejeon - di tempat sahabatnya yang menikah dengan seorang warga negara Korea, perjalanan tujuh jam di sebelah Aditya, dan terantuk kursi. Tapi ia harus datang. Harus.
Sambil berjalan, Adis memperhatikan lobi kedatangan yang ada di depannya. Lobi tersebut masih tampak sangat cantik, tinggi dengan disangga oleh tiang-tiang emas yang menyangga atapnya. Belakangan ini Adis sering mendengar cerita teman-temannya yang berlibur ke Korea Selatan tentang kemegahan bandara ini, dan sekarang ia membuktikannya lagi bahwa pesona bandara ini tidak berkurang sama sekali. Masih seperti dulu, dan bahkan pelayanannya makin baik. Terdapat baja-baja kokoh yang menjadi rangka atapnya, garis atap tersebut berbentuk seperti kuil dan terdapat museum kebudayaan di lantai empat yang di dalamnya terdapat benda-benda bersejarah peninggalan kerajaan-kerajaan kuno Korea. Adis sendiri menatap dengan takjub sambil menggeret kopernya ke lobi kedatangan, sampai ia menemukan sebuah kertas seukuran A3 berwarna putih yang di atasnya terdapat tulisan “ADISTYA FROM JAKARTA” di sana.
Adis segera berjalan menghampiri orang yang memegang kertas bertuliskan namanya, yang pastinya adalah Tante Lidya, sahabat mamanya yang akan menjemputnya. Tapi ia salah. Begitu ia mendongak, ia mendapatkan bahwa si pemegang kertas itu bukanlah Tante Lidya, melainkan seorang lelaki muda dan bertubuh menjulang yang menggunakan celana jeans dan polo shirt warna biru dongker dengan garis horizontal berwarna putih. Rambutnya hitam dipotong pendek dengan gaya dandy wolf cut. Adis terpana memandang laki-laki yang juga tengah memandanginya dengan wajah datar. Alisnya tebal dan matanya tajam.
“Adiiiisss?” tiba-tiba suara seorang wanita membuyarkan pandangan mereka. Keduanya menoleh ke sumber suara. “Ya ampuuuun, kamu makin cantik ya sekarang.”
Adis tersenyum ke arah wanita paruh baya tersebut, yang pastinya adalah tante Lidya. “Terima kasih, tante.” Adis segera mengambil tangan kanan Tante Lidya dan menciumnya. “Tante apa kabar? Makasih banyak udah mau nerima Adis lagi buat liburan di sini.”
“Baik, sayang.” jawab Tante Lidya ramah. “Ah, nggak masalah kok. Lagian tante juga seneng ada kamu datang buat liburan ke sini.”
Adis tersenyum. Tapi dalam hatinya ia membatin, kata mama Tante Lidya aja yang mau jemput. Kenapa dia juga datang? Aku kan…
“Kamu masih ingat kan dengan Sang Joon?” ujar Tante Lidya sambil menepuk bahu laki-laki yang tadi membawa kertas bertuliskan namanya.
Adis tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Apa kabar?” ujarnya.
Sang Joon tidak segera menyambut uluran tangan Adis, melainkan menatapnya lurus selama beberapa saat. Adis sendiri terlihat kikuk, sementara Tante Lidya memperhatikan Sang Joon.
“Kami biasa membungkuk sebelum mengulurkan tangan.” suara berat laki-laki itu akhirnya keluar, masih dengan tatapan lurus dan tajamnya. Sang Joon tidak membalas uluran tangan Adis dan tidak juga tersenyum.
“Ah, ayo kita jalan. Sang Joon membawa mobil ke sini,” ujar Tante Lidya berusaha mencairkan suasana. Adis tersenyum, sementara Sang Joon segera balik badan menuju pintu keluar dan berjalan ke arah lapangan parkir. Adis dan Tante Lidya mengikuti dari belakang.
Selama berjalan, Adis menatap punggung Sang Joon. Selama tujuh jam ini ia memang sangat terganggu dengan Aditya yang mengganggunya dengan rentetan pertanyaan dan tatapan serta senyum menyebalkan dan baru berhenti ketika Adis memejamkan matanya. Ia ingin ketenangan, namun tidak seperti sikap Sang Joon juga. Laki-laki itu benar-benar kaku dan dingin. Bahkan ia tidak menawarkan untuk membawa koper Adis. Sama sekali tidak gentle. Padahal mereka baru bertemu kembali setelah tiga tahun.

₪ ₪ ₪

Adis duduk di jok belakang sedan berwarna hitam mengilap yang dikemudikan oleh Sang Joon, sementara Tante Lidya duduk di jok kanan di sebelah putranya. Mobil-mobil di Korea memang menggunakan setir kiri, tidak seperti Indonesia yang menggunakan setir kanan. Adis memutar-mutar jam tangan berwarna hitamnya untuk menyamakan waktu. Korea memiliki waktu dua jam lebih cepat dari Jakarta. Kemudian ia memasangnya lagi di tangan kanannya. Sang Joon melirik apa yang dilakukan oleh Adis dari spion depannya.
Adis menoleh ke arah jendela dan walaupun ini bukan yang pertama kalinya, sekali lagi ia takjub akan pemadangan yang dilihatnya. Gedung-gedung pencakar langit yang tinggi dan teratur, dan juga lingkungan yang bersih. Pukul tujuh, dan langit di sini belum gelap seperti di Jakarta. Mungkin karena pengaruh musim panas di bulan Juli ini. Mobil yang dikendarai Sang Joon meluncur melalui jalan tol yang megah, dan sepertinya tidak pernah ada kemacetan di sana. Tidak seperti di Indonesia, di jalan tol pun bisa terjadi kemacetan. Adis melihat sebuah billboard iklan sebuah kamera ternama di kejauan dengan model Big Bang, sebuah boyband kenaamaan Korea. Adis tersenyum melihatnya, dan ia menoleh ke belakang ketika sedan yang dikendarai Sang Joon telah melewati billboard itu.
“Pemandangannya bagus, kan?” ucap Tante Lidya tiba-tiba, membuat Adis memutar badannya ke sisi semula.
Adis tersenyum dan mengangguk. “Iya, tante.”
“Aaaahh, Tante ada ide.” Tante Lidya tiba-tiba menjentikkan jarinya setelah terdian beberapa lama dan disambut oleh kerutan kening putranya sambil menoleh. Adis sendiri kaget dengan apa yang dilakukan oleh Tante Lidya “Bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu? Mumpung masih di Seoul nih.”
“Sirhyeoyo (tidak mau).” jawab Sang Joon cepat.
“WAEEEEEE (kenapa)?” tanya Tante Lidya dengan suara yang cukup keras.
“Pigonhanyo (aku lelah),” jawab Sang Joon singkat. “Aku juga yakin tamu kita lelah setelah tujuh jam terbang.” Sang Joon menatap lurus ke depan sambil terus menyetir.
Adis sendiri segera menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata, berpura-pura tertidur sebelum Tante Lidya menoleh padanya. Ia malas jika Tante Lidya dan Sang Joon sampai bertengkar karena masalah jalan-jalan yang melibatkan dirinya. Jika ia tertidur, maka mobil yang dikendarai Sang Joon akan terus melaju menuju Distrik Daedok di Daejeon, kota terbesar kelima di Korea Selatan.
“Keutjyo (betul)…” ujar Tante Lidya saat menoleh ke arah Adis dan menemukan gadis itu telah tertidur.
Sang Joon melirik Adis yang tertidur dari kaca spion, lalu kembali menatap lurus ke depan.

₪ ₪ ₪

Adis terbangun tepat ketika mobil yang dikendarai Sang Joon masuk ke dalam halaman rumahnya di Daekdo. Sang Joon memarkir mobilnya di depan garasi karena di dalam garasi telah terparkir dengan manis mobil milik ayahnya, Park Yong Joon. Atau Adis biasa memanggilnya dengan om Yong Joon.
Adis menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengembalikan kesadarannya. Tidak disangka, ternyata ia benar-benar tertidur padahal awalnya ia hanya berpura-pura untuk tertidur. Dan tidak tanggung-tanggung, hampir selama empat jam! Tante Lidya membereskan tasnya dan menyuruh Adis segera keluar. Adis sendiri mencari-cari ranselnya yang tidak terlihat di jok. Mungkin terjatuh. Setelah menemukannya, ia segera membereskan rambutnya yang berantakan dan keluar dari mobil mengikuti Tante Lidya.
Sang Joon segera keluar dari mobil setelah mematikan mesin, lalu memencet remot mobilnya dan bagasi mobil itupun terbuka. Ia mengambil koper milik Adis dan menaruhnya di tanah, lalu kembali memencet tombol remot untuk mengunci mobilnya. Ia segera masuk ke dalam rumahnya dan melewati Tante Lidya, dan Om Yong Joon yang sudah berdiri di dekat mobil sedan itu.
“Sang Joon-ah… eoddie ga (Sang Joon... kau mau ke mana)?” tanya Om Yong Joon sambil menoleh mengikuti gerakan Sang Joon, “Kenapa koper Adis tidak kau bawa?”
“Sirhyeoyo.” jawab Sang Joon masih sambil berjalan. “She has two arms and two legs, indeed. Biarkan dia membawanya sendiri.”
“Ya! Sang Joon-ah!” panggil Om Yong Joon lagi.
Setelah berkata bahwa dirinya tidak apa-apa membawa sendiri kopernya, Adis segera mengambil dan menggeret kopernya dan menghampiri Om Yong Joon dan mencium tangannya, “Apa kabar, om?”
“Ah, baik-baik. Kamu baik juga kan?” jawab Om Yong Joon. Sama seperti Tante Lidya, suami dan putra satu-satunya juga bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga sudah biasa dengan budaya Indonesia, seperti mencium tangan orang yang lebih tua.
Adis tersenyum dan mengangguk, “Baik, Om. Salam dari mama.”
Om Sang Joon tersenyum. Lalu beliau dan Tante Lidya mengajak Adis untuk masuk ke dalam rumah mereka yang besar dan bertingkat dua itu.

₪ ₪ ₪

Setelah makan malam, yang sebenarnya sudah terlambat, yaitu pada pukul sebelas malam, Adis menaiki tangga rumah dan masuk ke dalam kamar yang akan digunakannya selama dua minggu di sini. Ia menggenggam kenop pintu kamarnya dan menoleh ke kanan, melihat pintu kamar sebelah dengan gantungan pintu bertuliskan Hangeul. 박상 (Park Sang Joon). Adis menelan ludah dan segera masuk ke dalam kamarnya.
Ia duduk di pinggir tempat tidur dan menatap koper besar berwarna hitamnya di dekat lemari. Kemudian ia bangkit menuju jendela kaca besar, membukanya dan berjalan ke arah balkon. Ia menatap lurus ke arah rumput halaman yang hijau selama beberapa lama dan menghela napas.
Dia tidak ikut makan, batin Adis. Padahal menu makan malam tadi adalah jeongol (Sejenis sup yang direbus dalam panci besar dan berisi daging dan seafood), dan itu adalah salah satu makanan kesukaannya. Ia juga belum makan, kan? Apa dia begitu membenciku?
Adis menghela napas kembali, lalu berbalik menuju kamar dan membuka kopernya, lalu memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. Setelah itu, ia masuk ke dalam kamar mandi, menggosok gigi dan mencuci tangan dan kakinya lalu segera berbaring di atas tempat tidur. Ia memejamkan matanya, namun pikirannya tidak bisa tertidur.

₪ ₪ ₪

Sang Joon sendiri langsung masuk ke kamarnya setelah memarkir mobil tadi dan tidak ikut makan malam bersama kedua orang tuanya dan juga Adis. Ia lantas mencuci kakinya di kamar mandi dan membarinfkan tubuhnya di atas kasurnya yang bersprai cokelat susu dengan motif sulur-sulur pohon. Ia memejamkan matanya sejenak dan pikirannya berputar.
“Wae?” gumamnya, “Kenapa kau harus kembali?”
Kemudian ia membalikkan badannya, dan membenamkan wajahnya ke bantal selama beberapa saat, lalu mengambil ponselnya dan kembali terlentang. Di bibirnya tersungging senyum kecil. Namun kemudian ia menghela napas dan membanting ponselnya ke kasurnya, lalu menutup kedua matanya dengan lengannya. Ia pun tertidur selama beberapa saat.
Sang Joon mengerjapkan matanya dan kemudian duduk di tepi ranjangnya. Ia mengambil jam beker yang ada di meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Masih tengah malam, batinnya. Lantas ia bangkit dan membuka jendela kaca besar yang ada di kamarnya, lalu bersandar di sisi sebelah kanannya.
Sang Joon melipat kedua tangannya di atas dada sambil menatap lagit malam yang cerah, walaupun tidak terlalu banyak bintang di sana. Ia menoleh ke kiri dan mendapati Adis sedang berdiri sambil bersandar di pagar balkon kamar sebelah. Gadis itu diam menatap lurus rumput-rumput taman. Sang Joon memperhatikan gadis itu selama beberapa saat.
Dia masih sama, batin Sang Joon. Rambutnya masih dibiarkan pendek sebahu dan masih senang menggunakan jeans dan kaus oblong. Anni, yeppeojyeotda (tidak, dia terlihat lebih cantik). Mungkin dia sedikit bertambah tinggi dibandingkan tiga tahun lalu. Dan apa mungkin dia…
Tiba-tiba Adis bangkit dan berbalik masuk ke kamar, dan hal itu mengejutkan Sang Joon. Ia langsung melepaskan kedua tangannya yang terlipat. Ekor matanya mengikuti gerakan Adis. Setelah gadis itu masuk ke dalam kamarnya, ia kembali bersandar pada sisi jendela sebelah kanan dan menatap langit.
Kemudian ia masuk ke dalam kamar, dan membuka laci meja kecil yang ada di samping tempat tidurnya. Ia mengambil sebuah bingkai foto dan memandanginya selama beberapa saat.
“Oraenmaniya (sudah lama kita tidak bertemu),” ujarnya sambil menatap bingkai foto di tangan kanannya, “mot bon sai geudaen eolkuri chowa boyeo (sepertinya kau baik-baik saja sejak terakhir kita bertemu).”
 Setelah mengatakan hal tersebut, Sang Joon kembali memasukkannya lagi ke dalam laci dan menutup laci itu dengan cukup kencang. Lantas ia membaringkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan mata.

No comments:

Post a Comment