Monday, September 3, 2012

THAT...

Halooo haiiii
gue mau ngepost cerita nih. fresh from the oven, walau ide nya udah ada dari kemarin heheheh
ini based on lagunya mr. kwon ji yong atau g dragon hehehe. dia baru ngeluarin lagu baru, judulnya keu saekki atau that bast*rd kemarin.
enak banget lagunya, dan ternyata liriknya jleb hahahah
jujur nih, jujur. gue juga pernah kok ngalamin hal kayak gitu, walaupun ada beberapa yang beda. tapi intinya sama dan gue bisa ngerasain juga hahaha
apalagi tadi pas buka twitter ada yang "mengganggu" hahaha
bukan, bukan sama lawan jenis kok, tapi sama salah satu temen gue hehehehe. makin kena lah lagu ini. sama kok initinya: being ignored and forgotten hehehehe
makanya dari lagu ini gue kembangin aja liriknya. dikit sih. plotnya ya sama aja kayak liriknya yang dinyanyiin si "Gue" pake gitar itu
mudah-mudahan jadinya bagus yaa hehehehe
okeh ini langsung diliat aja yaa hehehehe



I hate that you don’t understand me… I hate all this waiting…

Gue membenarkan posisi handycam berwarna hitam yang disangga oleh tripod di dalam kamar gue, dan sekali lagi melihat lewat layar lcd nya, apakah sudah benar dan tidak miring lagi. Yap, sudah benar. Gue pun memijat tombol record dan segera duduk pinggir tempat tidur berseprai cokelat susu gue, dan tersenyum ke arah handycam.
Jujur, walaupun saat ini gue tersenyum dan melambaikan tangan ke handycam, sebenarnya gue bingung. Gue lantas menelan ludah dan melirik frame foto di meja kecil panjang di belakang tripod yang menyangga handycam yang tengah merekam gue.
Gue tersenyum kecil, namun entah kenapa terasa pedih. Pedih melihat foto kami berdua. Dia cinta pertama gue. Kami memang sudah bersama sejak kecil. Simpel, orang tua kami sahabatan dan kebetulan rumah kami berdekatan. Jadi, sejak kecil kami berdua sudah sering main bersama. We kept each other. Dan entah sejak kapan gue jatuh cinta ke dia. Yang jelas, rasa itu ada begitu saja. Begitu tiba-tiba dan tidak direncanakan, namun sudah mengakar di hati gue yang juga sudah berubah warna menjadi biru.
Orang bilang, cinta pertama itu begitu indah dan tidak bisa terlupakan. Apalagi bagi seorang lelaki, seperti gue. Mungkin itu benar. Tapi bagi gue pribadi hal itu tidak seratus persen benar. Cinta pertama gue memang indah, gue akui itu. Sampai pada saat dia memilih si Brengsek itu untuk ada di sampingnya. Ya, Brengsek. Kenapa gue sebut laki-laki itu brengsek? Simpel, karena emang dia brengsek.

When you speak of him, you look so happy… It’s good that you can be this happy. I’m happy…”

Yep, tiap kali dia berbicara tentang pacarnya yang brengsek itu, dia terlihat begitu bahagia. Gue pribadi senang karena dia bisa sebahagia itu. Tapi di satu sisi gue merasa sakit. Kenapa dia bisa begitu bodoh dengan memilih si Brengsek itu untuk ada di sampingnya. Kenapa bukan gue? Atau kalaupun bukan gue, paling tidak dia memilih laki-laki yang benar-benar tulus menyayanginya.

“Walking on the street, I bumped into your man (Yeah I saw him)… I didn’t want to believe it, but my hunch turned out right (I told you)… He’s not wearing that ring you gave him, there’s another girl by his side…”

Gue benar-benar marah tiap kali gue inget kejadian itu. Dan ini salah satu alasan kenapa gue memanggil pacarnya dengan sebutan si Brengsek. Gue melihat dengan mata dan kepala gue sendiri kalau si Brengsek itu pergi dengan seorang perempuan. Awalnya gue mencoba berpikir positif kalau itu adiknya, atau sepupunya atau siapapun itu yang masih berhubungan saudara dengannya. Tapi gesture mereka tidak menunjukkan hal itu. Yep, sudah dipastikan si Brengsek itu selingkuh di belakang dia. Mungkin kalau tidak dihalangi oleh Mama, si Brengsek itu sudah gue hajar.
Entah berapa kali gue bilang ke dia tentang hal ini. Dia justru marah ke gue dan bilang kalau pacarnya bukan lelaki seperti itu. Gue tertawa dan mencibir, memang pacarnya bukan lelaki seperti itu. Bukan lelaki yang seperti dia bayangkan, yang baik hati, setia, tulus, penyayang dan perhatian. Ingatkah dia berapa malam minggu yang dia habiskan bersama gue dengan menonton dvd karena si Brengsek pergi dengan Mamanya? Alasan! Pergi dengan Mamanya di malam minggu. Hah!
Dan kadang gue merasa lelah dengan semua ini. Bukan, bukan karena gue harus menghabiskan malam minggu bersamanya. Itu salah satu keinginan gue sebenarnya. Tapi gue juga kasihan padanya. Serba salah. Gue lelah karena dia tidak pernah bisa mengerti gue. Tidak mau mempercayai kata-kata gue. Kami sudah bersama sejak di taman kanak-kanak, dan dia lebih percaya pada pacarnya dibandingkan gue yang sudah enam belas tahun ini bersama dia. She trusts him completely. Great! I don’t know what to say no more.
Bukan sekali atau dua kali dia lari ke dalam pelukan gue dan menitikkan air mata. Entah sudah berapa kali si Brengsek itu menyakitinya. Berulang kali gue meminta, bahkan memohon, agar dia mengakhiri semuanya. Tapi hanya dengan sebuket bunga mawar berwarna putih dan tampang sedih dan menyesal, si Brengsek itu memohon maaf darinya. Dan berhasil? Tentu saja. Orang bilang cinta itu buta. And she’s completely blind. Bahkan teman-temannya juga tahu siapa si Brengsek itu sebenarnya. Sudah sangat jelas, tapi entah kenapa dia sama sekali dia tidak bisa melihatnya.
Memuakkan rasanya melihat si Brengsek itu berakting polos, tersenyum munafik dan membelai rambutnya. Gue tahu, yang ada di pikiran si Brengsek itu bukan dia, tapi gadis lain. Laki-laki itu sama sekali tidak mencintainya. Tapi dia juga sudah begitu buta. Cinta memang membuat orang menjadi buta kan? Semua orang tahu kalau gue tidak bisa menjadi sekedar sahabat dengannya. Hanya dia seorang yang tidak menyadarinya. Apa? Apa yang si Brengsek itu punya, dan gue tidak punya? Berapa lama lagi dia harus menjalani ini semua dan mempertahankan kebodohannya?
Gue mengakhiri pikiran-pikiran gue tadi dan juga kalimat yang sedari tadi mengalir dan terekam oleh handycam di depan gue, dengan senyuman. Senyuman perpisahan bisa dibilang. Karena itu gue menambahkan sebuah lambaian ke handycam itu. Lalu gue bangkit dan memijit tombol di handycam itu dan mematikannya, lalu mengeluarkan kasetnya. Gue memandang kaset itu selama beberapa detik, sebelum akhirnya gue memasukkannya ke dalam casenya dan memasukkannya lagi ke dalam sebuah amplop cokelat dan melemparnya sembarangan ke atas kasur.
Gue berjalan menuju jendela kamar dan berdiri di depannya sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana selama beberapa lama. Matahari sudah hampir tenggelam. Sinarnya pun masuk ke dalam kamar gue melalui jendela kamar gue itu. Gue kembali memandang frame itu. Frame yang memajang foto gue dan dia berangkulan dengan menggunakan seragam saat kelulusan SMA. Sudah empat tahun sejak foto itu diambil. Gue tertawa getir. Gue sudah berusaha agar dia mau membagi rasa sakitnya, gue sudah berusaha memberinya kebahagiaan sebanyak rasa sakit yang dia rasakan. Tapi rasanya semua sia-sia. Gue tidak ada artinya dibandingkan si Brengsek itu.
Gue menunduk selama beberapa detik dan menggoyangkan kaki kiri gue ke depan dan kebelakang, sebelum akhirnya gue kembali memandang ke arah jendela kamar. Jika dia tidak mau mengakhirinya, maka gue yang akan mengakhirinya. Selama ini gue berusaha setia dengan perasaan gue ke dia. Gue melakukan apa saja, dan berulang kali terjatuh ke dalam lubang yang sama. Keledai dibilang bodoh karena terjatuh ke dalam lubang yang sama berulang kali. Jadi setia dan bodoh itu bisa dibilang berbeda tipis, jika tidak mau dibilang sama. Dan gue akan mengakhiri kesetiaan, atau mungkin kebodohan gue, entahlah, ke dia. Sudah cukup.
Gue kemudian berbalik dan meraih Melvin, gitar gue yang berwarna cokelat susu, yang tergeletak di atas kasur. Gue duduk di sisi tempat tidur yang menghadap ke jendela dan mulai memetik-metik senar Melvin.

Walking on the street, I bumped into your man (Yeah I saw him)
I didn’t want to believe it, but my hunch turned out right (I told you)
He’s not wearing that ring you gave him, there’s another girl by his side
But I’ve said enough (I don’t wanna hurt you)

Now you’re getting angry with me (Why?)
You say “He’s definitely not that kind of person” (Sure you’re right)
Seeing your eyes, I reply that I probably got it wrong
See, I lied for you (I’m sorry)

I hate that you don’t understand me
I hate all this waiting
Let go of his hand (break it off with him)
When you’re sad, I feel like I’m dying

That bast*rd, what does he have that I don’t
Why can’t I have you
That bast*rd doesn’t love you
How much longer are you going to cry yourself silly?

When you speak of him, you look so happy (you look happy)
It’s good that you can be this happy (I’m happy)
You say you really love him, want to be with him forever
You trust him completely (I don’t know what to say no more)
Your friends all know that guy (yup they know)
It’s so obvious, why can’t you see (it’s you)
They say love is blind, Oh baby, you’re so blind
Please, I beg you, break it off

Oh I hate that you don’t understand me
I hate all this waiting
Let go of his hand (break it off with him)
When you’re sad, I feel like I’m dying

That bast*rd, what does he have that I don’t
Why can’t I have you
That bast*rd doesn’t love you
How much longer are you going to cry yourself silly?

Expensive cars, beautiful clothes, high-class restaurants, they all suit you well
But that bast*rd beside you, he doesn’t suit you, he really doesn’t
He smiles like a hypocrite with you, brushing your face and hair
But he’s thinking of another woman for sure, how dare he
The amount of tears you’ve cried, I want to make you happy by the same amount, baby
Rather than going through the pain alone, share some with me, baby
Please look at me, why can’t you realize that I am your love
Why are you the only one who doesn’t know

That bast*rd, what does he have that I don’t
Why can’t I have you
That bast*rd doesn’t love you
How much longer are you going to cry yourself silly?

That bast*rd, what does he have that I don’t
Why can’t I have you
That bast*rd doesn’t love you
How much longer are you going to cry yourself silly?””

Gue menghela napas dan menengadahkan kepala gue menatap langit-langit kamar. Tidak mudah memang melepaskan perasaan yang sudah mengakar dan membuat hati gue biru selama bertahun-tahun. Tapi gue sudah bosan. Bosan dan lelah dengan semua ini. Bodoh dan setia sudah tidak ada bedanya, baik bagi gue ataupun dia. Dan ketika kaset yang berisikan rekaman gue tadi sampai di tangannya, gue pasti sudah terbang jauh. I have to wake up. I have to get up. Gue pasti bisa melupakan dia. Tidak. Bukan melupakan dia. Tapi melupakan perasaan yang pernah gue punya buat dia.
Gue pun bangkit menuju meja tempat frame foto itu berada, memandangnya selama beberapa saat and then i flip it vertically. Wajahnya tidak lagi terlihat.
Goodbye love, you gotta be happy. Me too. I deserve to be happy…

No comments:

Post a Comment