Thursday, August 9, 2012

다시… 사랑합니다 / Love Again (Chapter 2)


Pukul enam pagi. Adis berjalan menuruni tangga sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia masih mengantuk karena baru bisa tidur pukul dua malam. Kemudian ia mengambil gelas dari lemari di dapur dan membuka kulkas untuk mengambil air putih. Ia memang sudah cukup hapal seluk beluk rumah ini karena sepertinya Tante Lidya tidak mengubah posisi perabotannya sejak tiga tahun lalu.
Adis menuangkan air dingin dalam botol ke dalam gelasnya sampai setengah, lalu meneguknya. Walaupun masih pagi, namun karena ini adalah musim panas maka udara pun sudah terasa agak panas. Ia menaruh kembali botol air dingin tersebut ke dalam kulkas dan menutup kulkas tersebut. Ia kemudian kembali meneguk air di dalam gelas yang dipegangnya sambil berdiri di meja dapur, dan menaruh gelas itu di atasnya.
Saat Adis sedang menggaruk-garuk tengkuknya, Sang Joon terlihat berjalan ke arah dapur dan ia berhenti ketika melihat Adis ada di situ. Adis pun melakukan hal yang sama. Ia segera menurunkan tangannya.
Sang Joon menatap Adis selama beberapa detik, kemudian ia berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya setelah sebelumnya meletakkan skipping rope atau alat yang digunakan untuk olah raga lompat tali di meja dekat gelas Adis diletakkan. Tanpa disadari, Adis memperhatikan Sang Joon. Laki-laki itu menggunakan celana pendek di bawah lutut berwarna abu-abu dan kaus putih tanpa lengan dan juga sneakers. Badannya terlihat berkeringat.
Dia sudah lompat tali sepagi ini? batin Adis. Ia memperhatikan skipping rope yang diletakkan Sang Joon di dekat gelasnya. Sang Joon sendiri saat ini sedang meneguk segelas air yang diambilnya dari dispenser. Ia tidak meminum air dingin seperti Adis.
“Mwo[1]?” tanya Sang Joon menangkap tatapan Adis.
Adis menggeleng, “Nggak. Cuma… Kamu udah olah raga jam segini?”
Sang Joon melirik Adis selagi meneguk kembali air dalam gelasnya, “Kelihatannya?” ujarnya kemudian.
Adis mengangguk, “Iya…”
Sang Joon hanya terdiam menatap Adis. Adis sendiri jadi gelagapan dan menunduk. Tatapan Sang Joon masih setajam dulu. Matanya memang tidak sebesar milik Adis, namun tatapannya terasa mematikan karena dipadukan dengan alisnya yang tebal.
“Sang Joon-ah…” Adis memberanikan diri dan kembali menegakkan kepalanya, “Kamu… masih marah?”
Sang Joon menoleh dan mengernyitkan keningnya, lalu tertawa.
“Sang Joon-ah…”
“Wae?” tawa Sang Joon tiba-tiba lenyap, “Kau ingin tahu? Kenapa baru sekarang kau tanyakan padaku?”
“Sang Joon-ah…” kata Adis kemudian, “Kita… teman… kan?”
Kening Sang Joon kembali berkerut. Setelah terdiam selama beberapa lama, ia berjalan menghampiri Adis sambil masih memegang gelas di tangan kanannya, “Teman?”
Adis mengangguk dan memberanikan diri menatap Sang Joon yang kini berdiri di hadapannya.
Sang Joon mendekatkan wajahnya pada wajah Adis, “Urineun… chinguga doel su eobtda.[2]” Kemudian ia kembali berdiri tegak dan berjalan meninggalkan Adis dan menaiki tangga menuju kamarnya.

₪ ₪ ₪

Pukul tujuh pagi, Adis telah duduk di ruang makan bersama Om Yong Joon, Tante Lidya dan juga Sang Joon. Menu sarapan pagi itu adalah nasi goreng seafood. Tante Lidya memang sudah biasa menyajikan sarapan ala Indonesia pada keluarganya, seperti nasi goreng. Namun, terkadang Tante Lidya juga membuat roti panggang ataupun pancake sebagai menu sarapan.
Om Yong Joon duduk di kursi utama di tengah-tengah meja makan, sementara Tante Lidya duduk di sebelah kanannya. Adis duduk di sebelah kiri Om Yong Joon, sementara Sang Joon sendiri memilih duduk di sebelah ibunya. Adis mengira bahwa Sang Joon sengaja duduk di sebelah ibunya agar Adis tidak duduk di sebelahnya. Sepertinya begitu.
Adis memperhatikan Sang Joon yang makan dengan tenang menggunakan sendok dan garpu. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun walaupun Tante Lidya dan Om Yong Joon suka sekali mengobrol saat makan. Sesekali mereka juga bertanya pada Adis.
Joon-ah, kamu kenapa? batin Adis. Tiga tahun lalu kamu tidak seperti ini. Bahkan tadi pagi kamu bilang kalau kita tidak bisa menjadi teman. Sepertinya kamu masih marah.
“Ah, Dis, hari ini kamu rencananya mau ke mana?” ucap Tante Lidya tiba-tiba, mengejutkan Adis yang sedang melamun. Om Yong Joon terlihat mengangguk-angguk dan Sang Joon melirik sekilas ke arah ibunya lalu pada Adis.
“Emm… belum tahu, tante.” jawab Adis tersenyum.
“Nanti kalau kamu mau pergi jalan-jalan, bilang ya, Dis.” ujar Tante Lidya lagi, “Biar nanti Sang Joon yang antar.”
Sang Joon yang sedang meneguk segelas air langsung terbatuk-baruk. Tante Lidya segera menepuk-nepuk punggung putranya dengan lembut. “Wae? Kenapa kamu sampai batuk-batuk begini?”
Sang Joon masih terbatuk-batuk, namun ia mengibas-kibaskan tangannya sebagai tanda ia tidak apa-apa. “Anniyo, gwaenchanayo,[3]” ucapnya kemudian.
“Jom[4], bagaimana kalau hari ini kamu ikut tante belanja, sayang?” Tante Lidya kembali pada Adis setelah yakin putranya tidak apa-apa. “Kebetulan tante harus belanja persediaan di rumah.”
Adis yang masih kaget dengan kejadian tadi cukup kaget dengan pertanyaan Tante Lidya tadi, “Eh? Ah, iya, tante. Tentu saja.”
Tante Lidya tersenyum, sementara Om Yong Joon mengangguk-angguk, “Keurae[5], om tidak bisa ikut menemani kalian. Sedang ada proyek yang harus segera diselesaikan.” Om Yong Joon memang seorang arsitek. Salah satu yang paling terkenal di Korea Selatan.
“Ne[6],” Tante Lidya membenarkan, “Jadi Sang Joon yang akan menemani kita berdua.” ujarnya sambil menaruh gelas setelah meminum air putih di dalamnya.
Adis melirik Sang Joon yang sedang menoleh ke arah ibunya dan memasang tampang protes. Tante Lidya sendiri mengatupkan mulutnya, dan matanya membulat seraya mengangkat kedua bahunya, seakan-akan bertanya, “Memangnya kenapa?”

₪ ₪ ₪

Adis baru saja menuruni tangga setelah mengambil tas selempang berwarna kremnya saat menemukan Sang Joon yang terlihat seperti sedang mendebat ibunya di ruang tamu rumahnya. Adis berhenti di anak tangga ketiga dari bawah dan berlindung di balik dinding rumah. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan mereka, namun ia jadi merasa tidak enak sebab karena dirinyalah Sang Joon jadi berdebat dengan ibunya. Sesekali ia mengintip dari balik dinding. Ia bisa melihat punggung Sang Joon dari situ.
“Eomma[7],” ucap Sang Joon, “Kenapa aku harus ikut mengantar kalian berbelanja?”
“Wae?” tanya Tante Lidya sambil mengerutkan kening.
“Eomma sengaja melakukan ini?”
“Sengaja? Apa maksudmu? Bukankah kalian memang dekat tiga tahun lalu saat dia datang ke sini?”
“Ne,” jawab Sang Joon, “Hajiman[8], itu tiga tahun lalu. Sekarang…”
“Sekarang apa?” potong Tante Lidya. “Bahkan dari kecil kalian sudah dekat, kan?”
Sang Joon tampak tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya. Mulutnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari sana. Tidak terdengar suara beratnya.
“Mwo?”
“Eomma… Chebalyo[9]…”
“Joon-ah…” ucap Tante Lidya kemudian dengan suara lembut.
Sang Joon terdiam, menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh ibunya. Berharap ibunya mengalah dan membiarkannya untuk tidak ikut menemani beliau dan Adis berbelanja.
“Cepat siapkan mobilnya. Kita berangkat sekarang.” ujar Tante Lidya kemudian, menghancurkan harapan Sang Joon.
Sang Joon menarik napas, lalu memejamkan mata dan kemudian menghembuskan napas. “Keuraeyo[10]…” ia pun menyerah. Ia tahu bahwa ia tidak akan menang melawan ibunya untuk yang satu ini. Hal yang sama juga terjadi kemarin, saat ibunya menyeretnya ikut ke Bandara Internasional Incheon.
Sang Joon berbalik dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di dekat televisi 64 inch mereka. Kemudian ia berjalan keluar menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir, dan berhenti ketika ia mendapati Adis sedang berdiri di tangga balik dinding. Ia menatap Adis yang menunduk selama beberapa saat, kemudian kembali berjalan untuk menyalakan mobilnya.
Adis menelan ludah, merasa tidak enak dengan kejadian ini. Namun, di satu sisi ia bertanya-tanya mengapa sikap Sang Joon berubah sekali padanya. Mungkin Sang Joon masih marah, pikirnya. Wajar saja jika dia begitu. Tapi tiga tahun bukanlah waktu yang pendek.

₪ ₪ ₪

Tempat belanja yang dituju oleh Tante Lidya adalah L Mart, di Wonnae-dong, distrik Yuseong. Tante Lidya berkata bahwa sebaiknya berbelanja seminggu sekali, agar barang yang dibeli juga tidak terlalu lama disimpan, terutama seperti daging ataupun seafood.
Adis berjalan sambil mendorong trolley di sebelah Tante Lidya yang sedang memperhatikan barang-barang di bagian makanan beku, sedangkan Sang Joon berjalan di belakang mereka sambil kedua tangannya dimasukkan ke saku delana jeansnya. Walaupun Tante Lidya tidak begitu suka makanan beku, namun di freezernya beliau selalu menyediakan makanan beku sebagai persediaan atau jaga-jaga.
Selagi mendorong trolley, Adis memutar pandangannya ke sudut-sudut tempat belanja tersebut. Tidak jauh beda dengan yang di Indonesia, batinnya.
“Sang Joon-ah…” panggil Tante Lidya mengagetkan Adis. Ia pun segera menoleh.
“Waeyo?” tanya Sang Joon.
“Kenapa kamu berjalan di belakang?” tanya Tante Lidya, “Seharusnya kamu yang mendorong trolley nya.”
“Eh, tidak apa-apa, tante. Adis aja.” kata Adis buru-buru.
“Anni[11], biar Sang Joon saja yang mendorongnya.”
“Naega waeyo[12]?”
“Ya, i namja[13]…” kata Tante Lidya, “Anni, i aegi[14]… nappeun aegi[15].” Tante Lidya menghapiri Sang Joon kemudian menjewer telinganya.
“Eomma, ige mwoya[16]? Malu dilihat orang.” Sang Joon berusaha melepaskan jeweran Tante Lidya. “Naega aegi anniyo[17].” ujar Sang Joon akhirnya berhasil melepaskan diri.
“Kurae, kalau kau memang bukan bayi, maka kau yang harus mendorong trolley nya.” ucap Tante Lidya kesal, “Kau kan laki-laki, kenapa perempuan yang melakukannya?”
Sang Joon mengusap-usap telinga kanannya yang dijewer oleh Tante Lidya ketika ia melihat Adis tertawa melihat tingkah ia dan ibunya. Adis sendiri langsung mengatupkan mulutnya ketika mengkap tatapan Sang Joon dan langsung membalikkan badannya dan kembali memegang trolley, bermaksud mendorongnya.
Sang Joon segera berjalan menghampiri Adis dan memegang trolley itu. “Biar aku saja.” ucapnya sambil mengambil alih trolley itu, dan mendorongnya. Adis tertinggal di belakangnya. Tante Lidya menghampiri Adis dan bertanya tentang pasta jenis apa yang disukai olehnya. Kebetulan mereka sedang menuju ke rak berisi pasta.
Sang Joon-ah… batin Adis. Ia melirik Sang Joon dan melanjutkan memilih pasta dengan Tante Lidya.
Sang Joon berhenti dan memperhatikan mamanya dan Adis. Kedua tangannya memegang trolley, dan kemudian ia teringat sesuatu. Dulu ia dan Adis sering bermain trolley ketika menemani mamanya berbelanja. Biasanya mereka akan memegang sebuah trolley berdua, dan mengayuhnya bersamaan. Seperti main kereta luncur, kata Adis saat itu. Dan gadis itu tertawa gembira. Seperti apa yang baru ia saksikan. Gadis itu tertawa dan entah kenapa Sang Joon merasa mata gadis itu sangat indah ketika ia tertawa, seakan-akan matanya juga ikut tertawa.
I love your eyes[18], batin Sang Joon. Tapi kemudian Sang Joon segera menggeleng-gelengkan kepala dan memukul-mukulnya. Adis dan Tante Lidya menoleh kebingungan atas apa yang dilakukan oleh Sang Joon. Sang Joon yang menyadari tatapan bingung dua wanita yang ada di dekatnya langsung berhenti dan berdeham.
Adis kembali tertawa melihat kelakuan Sang Joon. Mungkin laki-laki itu belum sepenuhnya berubah. Ekor mata Sang Joon menangkap Adis yang tengah tertawa. Tanpa disadarinya ujung bibirnya ikut terangkat, walau hanya sedikit.

₪ ₪ ₪

Selesai berbelanja, Tante Lidya mengajak Adis dan Sang Joon untuk makan siang di salah satu restoran yang menyajikan makanan organik, yang ada di dekat swalayan tersebut. Setelah itu, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah. Tante Lidya memaksa untuk duduk di jok belakang sedang milik Sang Joon dengan alasan ingin memeriksa belanjaannya hari itu. Dengan begitu, maka Adis harus duduk di jok depan, di sebelah Sang Joon. Sang Joon sendiri tampak tidak senang dengan keputusan ibunya tersebut. Namun, ia diam saja dan mengendarai mobil dengan tenang.
Eomma tidak biasanya begini, batinnya. Namun belakangan ini ia menjadi aneh, terutama sejak kedatangan gadis ini.
“Sang Joon-ah…” panggil Tante Lidya dari jok belakang. Sang Joon pun menoleh. “Nyalakan radionya.”
Sang Joon menyalakan radio mobilnya dan mencari-cari frekuensi yang bagus. Ia berhenti di satu frekuensi dan tiba-tiba saja tiga detik kemudian penyiar radio tersebut memutar Love Song milik Big Bang.
“Love song anniya.[19] Seulpeun norae.[20]” ujar Tante Lidya mengomentari lagu itu. Walaupun sudah berusia lebih dari empat puluh tahun, tapi Tante Lidya tahu jenis-jenis lagu seperti ini. Mungkin membantu beliau dalam menjalankan profesinya, yaitu seorang editor di salah satu majalah terkenal di Korea.
Adis menoleh ke arah belakang. Sebenarnya ia tidak merasa nyaman untuk duduk di sebelah Sang Joon. Ia merasa laki-laki itu sekarang tidak menyukainya, kedatangannya. Tapi ia juga tidak bisa menolak keinginan Tante Lidya. Ditambah, lagu yang mengalun dari radio mobil Sang Joon terasa menusuk.
“Dis, kamu tahu?” ujar Tante Lidya lagi saat Adis sudah berbalik dan menatap lurus jalanan di depannya. “Dulu Sang Joon sering sekali memutar lagu-lagu sejenis ini.”
Adis menoleh lagi pada Tante Lidya.
“Sejak kamu pulang tiga tahun lalu, dia sering sekali memutar lagu-lagu seperti ini. Sedih.” tambah Tante Lidya.
“Eomma,” ujar Sang Joon sambil melirik ibunya dari kaca spion.
“Wae? Memang benar kan? Neorago, Without You, Haru Haru, Café, Love Song, My All is in You[21]. Kau sering sekali memutar lagu-lagu seperti itu, kan?”
Sang Joon akhirnya memilih untuk diam, sementara ibunya tersenyum senang. Percuma, pikirnya. Jika terus diladeni ibunya itu akan semakin menjadi dan membuka semuanya di depan gadis satu ini. Ia terus menyetir dengan tatapan lurus ke depan, tanpa menoleh ataupun melirik sama sekali.
Adis sendiri hanya tersenyum simpul pada Tante Lidya dan kemudian menunduk. Merasa tidak nyaman, dan tidak enak pada Sang Joon. Apa benar Sang Joon sampai seperti itu? Apakah kesalahannya pada laki-laki itu sebegitu besarnya?



[1]Apa?
[2]Kita… tidak bisa menjadi teman.
[3]Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.
[4]Jadi.
[5]Benar.
[6]Iya/Benar.
[7]Panggilan untuk ibu.
[8]Tetapi.
[9]Tolong/Aku mohon.
[10]Baiklah.
[11]Tidak.
[12]Kenapa aku?
[13]Hei, laki-laki ini.
[14]Tidak, bayi/anak ini.
[15]Bayi/anak nakal.
[16]Ibu, apa-apaan ini?
[17]Aku bukan bayi/anak-anak.
[18]Aku suka matamu.
[19]Ini bukan Love Song.
[20]Ini lagu yang sedih.
[21]Neorago (It’s you) adalah lagu dari Super Junior, Without You dari 2PM dan Haru Haru, Café dan Love Song adalah lagu dari Big Bang.

No comments:

Post a Comment