Thursday, August 9, 2012

다시… 사랑합니다 / Love Again (Chapter 6 - Last chapter)


Sang Joon mengecilkan AC mobilnya dengan tangan kanan, sementara Adis duduk di sebelahnya dan memandang keluar lewat jendela.
“Gwaenchana[1]?” tanya Sang Joon membuat Adis menoleh, “Kalau kau masih tidak enak badan kita bisa kembali lagi. Belum jauh dari rumah.”
Adis menggeleng dan tersenyum, “Aku sudah menunggu tiga tahun untuk ini.”
Sang Joon mengangguk setuju. “Tiga tahun,” ulangnya, “Dan untungnya hari ini tidak ada dua kurcaci yang mengikuti kita.”
Adis tertawa mendengar kata-kata Sang Joon tadi. Ia sangat senang Sang Joon telah kembali seperti dulu. Sang Joon yang baik hati, Sang Joon yang lucu, Sang Joon yang senang tersenyum dan tertawa. Sang Joon-nya.
Adis merasa senang sekali. Setelah tiga tahun yang berat dengan adanya masalah dan kesalahpahaman dengan Sang Joon, kini semuanya sudah selesai. Dan hari ini, mereka akan pergi ke tempat yang seharusnya mereka kunjungi tiga tahun lalu, N Seoul Tower.
Selama perjalanan, mereka selalu mengobrol dan tertawa bersama dalam mobil, membicarakan kenangan-kenangan mereka sejak kecil dan hal-hal lainnya. Sesekali Sang Joon juga bertanya apakah Adis baik-baik saja.
Setelah sekitar empat jam perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di N Seoul Tower. Adis memayungi kedua matanya dengan telapak tangan ketika melihat menara komunikasi dan reservasi dengan beberapa restoran di dalamnya itu. Sang Joon menggandeng Adis ketika mereka berjalan di Taman N Seoul Tower saat mereka menuju menara tersebut.
“Kita pasti akan jadi berita utama di koran-koran besok,” kata Adis menoleh pada Sang Joon.
“Wae?” tanya Sang Joon.
“Karena orang-orang mengira Big Bang’s TOP sedang jalan-jalan dengan kekasihnya dan mereka bergandengan tangan di taman N Seoul Tower.”
Sang Joon tertawa, “Ah, kurae[2]?” lalu lelaki itu tersenyum nakal dan malah melingkarkan tangannya di bahu Adis. “Kalau begitu ayo kita buat berita yang lebih besar.”
Adis tertawa mendengar ucapan Sang Joon yang tersenyum sambil menatap gadis di sebelahnya itu.
Adis menatap takjub pada ribuan gembok berbagai warna dan ukuran yang terpasang dan menumpuk di pagar yang mengelilingi teras N Seoul Tower. Ia memang sering melihat pemandangan ini di drama, internet maupun acara-acara tentang Korea, namun melihat pemandangan ini secara langsung sensasinya benar-benar berbeda.
Adis berjalan mendekati pagar yang dipasangi gembok-gembok tadi dan mendapati tulisan-tulisan Hangeul maupun bahasa lain yang ada di gembok tersebut. Orang Korea memang percaya bahwa pasangan yang datang, menulis pesan mereka di gembok dan memasangnya dipagar menara ini, lalu mengunci dan membuang kunci tersebut maka cintanya akan ikut terkunci seperti gembok tersebut.
Tiba-tiba saja Adis melihat dua buah gembok berwarna merah muda yang muncul dari sisi kanannya. Ia menoleh dan mendapati Sang Joon yang mengulurkan dua gembok tersebut sambil tersenyum.
Adis tersenyum dan mengambil salah satu gembok tersebut dan Sang Joon memberikan sebuah spidol hitam pada Adis yang kemudian disambut oleh gadis itu. Gadis itu kemudian menulisi gembok tersebut dengan spidolnya, begitu juga dengan Sang Joon.
Setelah selesai, Adis memberikan gemboknya pada Sang Joon yang kemudian mencari celah untuk memasang gembok. Setelah selesai memasang gembok tersebut, Adis memotret gembok tersebut dengan instaxnya sebanyak dua kali. Lalu Sang Joon melemparkan kunci gembok tersebut jauh-jauh ke depan.
“Untuk kamu.” Adis memberikan selembar foto gembok tersebut pada Sang Joon.
“Hanya gembok?” tanya Sang Joon, “Kamu tidak ingin berfoto bersamaku?”
Adis tersenyum dan mendekat ke sebelah Sang Joon. Laki-laki itu mengambil instax dari tangan Adis dan merangkul gadis itu, lalu mengarahkan instax pada mereka.
“Dua kali,” ujar Adis, “Untuk kamu dan aku.”
Sang Joon mengangguk dan memotret sebanyak dua kali. Adis tersenyum sambil mengibas-ngibaskan foto yang keluar dari instax tersebut. Ia memberikan satu foto pada Sang Joon, “Ini foto pertama kita setelah tiga tahun dan juga yang pertama dalam liburan keduaku.”
Sang Joon mengangguk, “Kamu tahu apa yang salah?”
“Apa?” tanya Adis ingin tahu.
“Tiga tahun lalu kita tidak memasang gembok cinta di sini. Karena itu, walaupun hati kita saling terpaut, tapi kita tidak bisa bersama.”
“Jadi kamu menyalahkan aku?” Adis menggembungkan pipinya.
Sang Joon menggeleng, “Apa aku bilang begitu?”
Adis memajukan bibir bawahnya.
“Tapi mulai sekarang, cinta kita akan terkunci seperti gembok ini, bukan?” Sang Joon tersenyum dan menarik tangan Adis.
“Kita mau ke mana?”
“Cable car[3],” jawab Sang Joon. “Aku ingin membuat banyak memori denganmu. Besok kamu harus pulang, kan?”
Adis hanya tersenyum menuruti dan mengikuti laki-laki tersebut. Namun, dalam hati, ia merasa sedih karena besok ia harus berpisah dengan Sang Joon. Sang Joon yang selama tiga tahun ini ingin sekali ia temui. Sang Joon yang baru saja kembali menjadi Sang Joon-nya, dan harus ia tinggalkan lagi besok.

₪ ₪ ₪

Adis memainkan Joona, gitarnya yang berwarna cokelat susu sambil bersandar pada sisi tempat tidurnya. Ia memang sengaja menamakan gitar yang dimilikinya sejak kelas 2 SMP itu seperti nama panggilan Sang Joon. Gadis itu memandang ke luar, ke langit yang malam ini penuh dengan bintang dari pintu kaca kamarnya yang terbuka menuju balkon.
Sudah lima bulan sejak ia berpisah dengan Sang Joon di Bandara Internasional Incheon. Tidak seperti tiga tahun sebelumnya, sejak perpisahan kali ini mereka sering sekali berkomunikasi. Entah lewat telepon, email, sms ataupun chatting. Namun Adis merasa ada yang kurang. Ia ingin bertemu dengan laki-laki itu. Atau minimal memandangnya, meski dari kejauhan. Tapi kemudian gadis itu tertawa. Ia tidak mungkin bisa hanya memandang Sang Joon dari kejauan, pikirnya. Ia pasti akan berlari menghampiri dan memeluk laki-laki itu.
Adis kembali memetik-metik Joona saat pintu kamarnya diketuk. Mamanya kemudian muncul dari balik pintu dan membuat Adis terkesiap.
“Mama…” katanya, “Ada apa, ma?”
Mama Adis tersenyum dan duduk di tepi tempat tidur, di dekat Adis yang duduk di karpet merah dekat tempat tidur di kamarnya. “Kenapa? Mama nggak boleh ketemu sama putri mama?”
Adis tertawa, “Ya bukan begitu, ma.”
Mama Adis tersenyum, lalu mengusap kepala putrinya tersebut, “Kamu kedatangan tamu, tuh, sayang.”
“Tamu?” kening Adis berkerut. Sudah jam sembilan malam, batinnya. Siapa yang mencarinya malam-malam begini?
Saat mamanya mengangkat kedua bahunya, tiba-tiba Bi Inah muncul dari balik pintu kamar Adis yang terbuka. “Cowok, mbak. Tinggi, putih, guanteng pokoknya.” Bi Inah mengacungkan ibu jari kanannya.
Alis Adis terangkat sebelah. Namun sejurus kemudian ia memutuskan untuk menaruh Joona di atas tempat tidurnya dan bangkit menuju ruang tamu untuk melihat siapa yang dimaksud mamanya dan Bi Inah.
Adis menuruni tangga dengan cepat dan tidak menemukan siapa-siapa di ruang tamu. Keningnya berkerut. Ia kemudian berjalan menuju halaman belakang. Di sana ia menemukan papanya sedang mengobrol dengan seorang laki-laki yang sedang duduk menghadap ke arah air mancur yang ada di halaman, dan membelakangi dirinya.
“Ah. itu dia.” papa Adis menunjuk Adis ketika melihat kehadiran putrinya itu.
Laki-laki dengan kemeja flannel biru yang lengannya digulung itu pun menoleh ke arah Adis, lalu tersenyum dan bangkit berdiri.
Adis terbelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia terpaku dengan mulut yang setengah terbuka.
“Om tinggal dulu, ya.” papa Adis bangun dan disambut anggukan dan senyuman kepala oleh laki-laki tersebut.
Adis tidak percaya ini. Rambut itu, mata itu, tinggi badan itu, senyum itu. Orang yang begitu dirindukannya kini ada di hadapannya dan sedang tersenyum padanya. Sang Joon-nya datang menghampirinya di sini, di Jakarta. Adis tidak dapat berkata-kata dan hampir saja menangis, sementara laki-laki itu masih tersenyum melihat Adis.
“Annyeong, nae sarang[4]…” ujarnya.


END_



[1]Kau baik-baik saja?
[2]Ah, benarkah.
[3]Sejenis kereta gantung dengan kapasitas maksimal sebanyak 48 orang untuk menuju dan meninggalkan N Seoul Tower.
[4]Halo, cintaku.

다시… 사랑합니다 / Love Again (Chapter 5)


Tepat satu minggu Adis di Daejeon, ia pergi mengunjungi Gunung Manin di Hasodong, Dong-gu. Seperti biasa, Sang Joon yang menemaninya. Pil Seong juga ikut, begitu juga dengan Min Ah yang memaksa ikut.
Walaupun ini pertama kalinya Adis mengunjungi Gunung Manin, suasana hatinya hari ini sedang tidak baik, karena Min Ah makin menjadi-jadi. Kemarin, saat mereka pergi ke Aqua World di Daesa-dong, Jung-gu, ia terus-terusan menempel pada Sang Joon dan bahkan memeluk laki-laki itu dari belakang dan tidak mau melepaskannya. Jujur, Adis tidak suka melihatnya. Ditambah, gadis itu kembali mengucapkan kalimat yang tiga tahun lalu diucapkannya pada Adis.
Dan pagi ini, saat mereka sampai di Gunung Manin, Min Ah kembali mendekati Adis yang sedang menghirup udara segar dan membentangkan kedua tangannya.
“Kau ingat kata-kataku kemarin, kan?” ujar Min Ah yang membuat Adis menoleh, “Sang Joon oppa milikku. Jangan kau coba untuk mencari celah di antara kami.”
Adis tertawa seperti kemarin. Namun, kali ini ia sedikit mengejek Min Ah, “Oh ya? Tapi aku tidak lihat ada tulisan di keningnya yang mengatakan dia milikmu.”
Min Ah tersenyum menyebalkan, “Tapi kau bisa lihat kalau kami berpelukan sejak kemarin, bukan?” lalu Min Ah pergi begitu saja sebelum Adis kembali membuka mulutnya.
Adis benar-benar kesal. Jelas-jelas gadis itu yang terus-terusan memeluk Sang Joon dari belakang. Ia lantas mengusap-usap dadanya dan menarik napas panjang.
“Wae keurae?” Pil Seong menghampiri Adis, “Apa yang ia bilang padamu?”
Adis hanya menggeleng dan terdiam selama beberapa saat. “Pil Seong-ah, ayo kita naik sepeda. Kudengar di sini kita bisa berkeliling dengan bersepeda?” Adis langsung menarik tangan Pil Seong menuju tempat penyewaan sepeda, mendahului Sang Joon yang telah berjalan lebih dahulu.
Mata Sang Joon melebar melihat hal itu. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Adis dan Pil Seong menjadi dekat seperti itu. Dan mata Sang Joon bertambah besar ketika melihat Pil Seong dan Adis menyewa satu sepeda saja. Itu artinya Pil Seong yang akan memboncengi Adis. Mulut Sang Joon terbuka.
Kim Pil Seong, apa yang kau… batin Sang Joon.
Tapi terlambat, Pil Seong dan Adis sudah bersepeda dengan kedua tangan Adis memegang erat pinggang Pil Seong. Dan tiba-tiba saja Min Ah menarik tangan Sang Joon sambil berteriak minta naik sepeda seperti Pil Seong.
Gunung Manin memang sangat indah dan Pemerintah Daejeon menyulapnya menjadi salah satu tujuan rekreasi keluarga, lengkap dengan sarana pembelajaran berupa Green Learning Center, piknik maupun kamping. Terdapat lembah Bongsuremigol, dan dari sinilah aliran Dejeoncheon, salahs atu sungai besar di Daejeon, berasal.
Pil Seong dan Adis melewati sebuah area hijau dengan patung-patung batu, dan berhenti di depannya. Terdapat enam patung batu kecil yang tersambung mengelilingi sebuah batu yang cukup lebar di tengahnya. Di depan batu-batu tersebut terdapat patung batu berbentuk seperti kura-kura dan di atasnya terdapat patung batu besar dan tinggi.
“Ini… kuburan?” tanya Adis.
Pil Seong mengangkat bahunya, “Molla[1]…”
Adis tertawa dan mendorong bahu Pil Seong dari belakang, “Kau kan orang Daejeon.”
“Apa karena aku orang Daejeon, aku pasti tau? Aku juga belum pernah ke sini.” jawab Pil Seong sambil tertawa.
Sang Joon lalu melewati mereka sambil berdeham. Min Ah yang duduk di boncengan sepeda Sang Joon melambai-lambai pada Pil Seong dan Adis dengan tampang menyebalkan, yang menurutnya pasti imut.
Pil Seong kemudian mengayuh kembali sepedanya dan melewati sebuah danau dengan air mancur di tengahnya. Adis terkesima melihat danau dan air mancur itu. Gadis itu kemudian menunjuk pembatas batu dan bangunan seperti cottage di dekat danau itu.
“Neomu areumdaun[2].” ujar Pil Seong. “Tidak perlu ke mana-mana, cukup di Daejeon!” ujarnya senang.
Ucapan Pil Seong tersebut kemudian membuat Adis teringat sesuatu, “Ah iya, kau gagal pergi ke London bersama Sang Joon, bukan?”
“London?” Pil Seong sedikit menoleh pada Adis sambil mengayuh sepedanya.
Adis mengangguk, “Iya, London. Bukankah kau dan teman-temanmu yang lain, termasuk Sang Joon berencana untuk liburan ke London? Namun sayangnya gagal.”
Pil Seong tertawa, “Anni. Sama sekali tidak ada rencana untuk liburan ke London.”
Kening Adis berkerut. Ia masih ingat Sang Joon marah-marah padanya di Eunhaeng-dong waktu itu dan berkata bahwa Adis telah membuat rencana liburan ke Londonnya gagal. Apa berarti… Sang Joon telah berbohong?
“Ah, jembatan tali!” seru Pil Seong membuyarkan pikiran Adis. Ia kemudian mengayuh kayu menuju  jembatan tali yang di bawahnya dipasang jarring pengaman tersebut, memarkirnya dan mengajak Adis untuk menyebrang melalui jembatan tersebut.
Selama menyeberangi jembatan, pikiran Adis tidak luput dari perkataan Pil Seong tadi. Jadi Sang Joon berbohong padanya? Tapi kenapa? Walaupun ia tidak suka menemani Adis, kenapa tidak bilang langsung dan harus berbohong? Karena lamunannya tersebut, Adis tergelincir dan hampir terjatuh. Untung saja Pil Seong menangkapnya, dan memegang bahunya. Laki-laki itu tersenyum manis.
“Sebaiknya kita kembali lagi,” ucapnya setelah menanyakan apa Adis baik-baik saja, “Kalau kita sampai seberang, bagaimana dengan sepeda yang kita sewa?”
Adis mengangguk, dan mereka kembali lagi ke ujung tempat Pil Seong memarkir sepeda. Laki-laki itu menggandeng tangan Adis agar gadis itu tidak lagi tergelincir.
“Wasseo[3],” ucap Pil Seong dan ketika ia menegakkan kepalanya, ia mendapati Sang Joon berdiri di hadapannya dengan wajah kakunya. Matanya melebar yang menunjukkan bahwa ia sedang marah. “Oh ow…” ucap Pil Seong.
“Seong-ah, apa yang kau lakukan?” tanya Sang Joon dengan suara bergetar.
Pil Seong menggaruk-garuk kepalanya, “Joon-ah…”
Sang Joon menatap Pil Seong lurus, “Kita perlu bicara.”
Adis menatap Sang Joon dan Pil Seong bergantian, lalu ia maju dan menarik tangan Sang Joon menjauh, “Kita yang perlu bicara.”
Sang Joon kaget atas sikap Adis, “Mwoya[4]?” tanyanya bingung, “Kenapa kamu…”
“Aku yang harusnya bertanya ke kamu.” Adis menyentakkan tangan Sang Joon, “Kenapa kamu bohong?”
“Bohong apa?”
“London. Nggak ada acara liburan ke London, kan? Kenapa kamu bohong? Kalau kamu memang nggak mau menemani aku, kamu tinggal bilang! Nggak perlu bohong!”
Sang Joon membuka mulutnya, “Aku…”
“Apa?” tanya Adis. “Aku tahu, kamu nggak suka sama aku. Aku juga nggak ngerti kamu kenapa. Kenapa kamu jadi beda sekarang. Aku…”
“Bukan begitu.” potong Sang Joon.
“Kamu juga sengaja, mesra-mesraan dengan Min Ah?”
“Mwo?” Sang Joon tampak bingung, “Siapa yang…?”
“Kamu!”
“Aku? Bukannya kamu? Kamu sengaja kan pegang-pegangan tangan dengan Pil Seong? Kamu mau buat aku marah?”
“Siapa yang…?”
“Kamu!” balas Sang Joon. “Kalau kamu mau buat aku marah, selamat kalau begitu. Aku marah.”
“Kamu yang bikin aku marah!” kata Adis sengit.
“Kamu juga bikin aku marah!” balas Sang Joon tidak kalah sengit.
“Ya sudah! Mulai sekarang kita jalan sendiri-sendiri!”
“Baik!”
Adis menggembungkan pipinya. Tangannya terkepal, dan ia segera membalikkan badannya dan berjalan menjauh. “Jangan ikutin atau cari aku!” Adis membalikkan badannya.
“Tidak akan!” Sang Joon ikut berbalik dan berjalan menuju sepedanya diparkir dekat Pil Seong dan Min Ah.
“Ya, neo[5].” ujar Pil Seong saat Sang Joon mendekat, “Kenapa dia berjalan ke sana?”
“Biarkan saja.”
Pil Seong tampak bingung, namun kemudian ia memutuskan untuk menyusul Adis. Tapi Sang Joon menahannya. “Neo micheosseo[6]? Dia bisa tersesat!” ujar Pil Seong.
Sang Joon menatap Pil Seong datar dan tajam, “Biarkan dia.”
“Joon-ah…”
“Biarkan dia!” Sang Joon terlihat marah. Pil Seong terkesima. Sang Joon sendiri kemudian langsung naik ke sepedanya dan mengayuhnya pergi, tidak memedulikan Min Ah yang merengek ingin ikut. Ia semakin menjauh dengan sepedanya.
Pil Seong bingung dengan apa yang terjadi dengan Sang Joon dan Adis. Tapi mereka memang terlihat bertengkar tadi. Tapi lamunan Pil Seong tidaklah lama karena saat ini Min Ah sedang menatapnya dengan wajah ingin menangis, yang Pil Seong yakin dibuat-buat.
“Mwo? Kau pulang saja sendiri.” Pil Seong segera naik ke sepeda dan mengayuhnya.
“Ya! Kim Pil Seong!” jerit Min Ah sambil menghentakkan kakinya ke tanah. “Neo micheosseo? Kenapa kau meninggalkan gadis secantik aku sendirian?”

₪ ₪ ₪

Adis berjalan tak tentu arah menyusuri hijau pepohonan. Ia masih sangat marah dengan Sang Joon, dengan apa yang dikatakan dan dilakukan olehnya. “Mwo? Aku sengaja bermesraan dengan Pil Seong?” ucapnya, “Bukannya dia yang sengaja dan diam saja ketika gadis itu dekat-dekat dengannya, menggandengnya, merangkulnya? Lalu dia menyalahkan aku? Lalu untuk apa dia bohong tentang London? Kenapa dia tidak langsung bilang kalau tidak suka aku datang, tidak suka mengantarku. Kenapa bohong?
“Dan dia bilang dia marah. Karena aku sengaja berpegangan tangan dengan Pil Seong? Apa dia tidak lihat kalau Pil Seong hanya membantuku agar tidak jatuh? Dia bahkan sudah marah sejak awal. Tidak, bahkan sejak tiga tahun lalu. Dan itu hanya karena kami tidak jadi pergi ke N Seoul Tower karena aku bertemu dengan Arya di sini, dan akhirnya pergi ke Dunsan Grand Park. Tapi dia juga ikut, kan? Dan aku juga sudah minta maaf, kan? Dan sampai tiga tahun di masih…. Aaaaarrrrhhh!”
Adis menyentakkan kakinya dan tergelincir jatuh. Kesakitan, ia mengusap-usap kedua kakinya. Ia terdiam sebentar dan teringat tentang Arya. Ia pernah bertengkar juga dengan Sang Joon karena Arya. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ia mengedarkan pandangannya dan sadar bahwa ia tersesat dan tidak tahu ada di mana. Langit juga terlihat gelap. Sepertinya akan hujan. Gadis itu kemudian segera bangun dan mencari jalan keluar. Paling tidak ia bisa keluar dari pepohonan dan sampai di tempat ia sampai tadi.

₪ ₪ ₪

Pil Seong mengejar Sang Joon yang sedang berjalan ke lapangan parkir. Laki-laki itu menggapai lengan Sang Joon dan membalikkan badan sahabatnya itu.
“Joon-ah,” panggilnya, “Neo micheosseo?”
Sang Joon mengerutkan keningnya lalu menyentakkan tangan Pil Seong dan menatap sahabatnya itu tajam, “Kubilang biarkan saja dia sendiri. Lagipula dia bilang ingin berjalan masing-masing bukan?”
“Tapi bagaimana jika dia tersesat? Dia belum pernah ke sini sebelumnya dan…”
“Seong-ah,” potong Sang Joon, “Apa kau begitu peduli padanya?”
Kening Pil Seong berkerut, “Mwo?” Pil Seong bingung dengan apa yang dikatakan Sang Joon. Tapi kemudian ia tertawa mengejek dan bertolak pinggang, “Ne, aku peduli padanya. Aku kasihan padanya karena kau seperti ini. Kau tau, aku bahkan sengaja mendekatinya agar kau bereaksi. Agar kau tidak lagi memaksakan diri bersikap dingin lagi padanya. Tapi apa?”
Sang Joon terbelalak. “Mwo?”
“Joon-ah, tidak bisakah kau melihat bahwa dia marah karena diam saja ketika Min Ah bergelayutan padamu? Apa kau buta? Dan sekarang kau membiarkannya pergi sendiri? Neo micheosseo? Bagaimana kalau dia…”
Pil Seong belum menyelesaikan kalimatnya ketika Sang Joon segera berlari menuju mobilnya dan membuka pintu untuk mengambil senter. Kemudian ia berbalik dan berlari menuju Gunung Manin.
Pil Seong tercengang selama beberapa saat, tapi kemudian ia tersenyum dan mengepalkan tangan dan mengangkatnya, “Hwaiting[7]!”

₪ ₪ ₪

Adis memutar pandangannya, dan membalik badannya, mencoba untuk mencari jalan keluar. Ini di mana? batinnya. Apa dari tadi aku hanya berputar-putar? Bagaimana ini? Kenapa aku tidak bisa menemukan jalan?
Adis mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana jeans nya. Tidak ada sinyal dan baterainya sekarat. Adis sudah ingin menangis rasanya. Tapi ia berusaha menenangkan dirinya dan mengingat-ingat jalan yang ia lewati. Ia berputar dan menjulurkan telunjuknya, serta melongok ke celah pepohonan. Namun sayangnya ia tidak mengingatnya sama sekali.
Kenapa? Bukankah seharusnya tidak sulit untuk menemukan jalan? batinnya. Kenapa aku tidak bisa menemukannya?
Langit yang mendung kini sudah meneteskan rintik-rintik airnya yang makin lama makin besar, yang diselingi dengan suara petir. Adis menengadah dan semakin ingin menangis. Ia kembali melihat ponselnya untuk mencari sinyal, namun ponselnya justru mati. Kemudian ia melihat gantungan Taeyang di sana. Akhirnya dua sungai kecil pun mengalir dari kedua matanya.
Joon-ah…, batinnya. Aku takut…

₪ ₪ ₪

Sang Joon berlari menyusuri jalanan dan pepohonan di Gunung Manin sambil mengutuki dirinya. Hujan makin lama makin deras, sementara sampai saat ini ia belum juga menemukan tanda-tanda keberadaan Adis. Sang Joon menyorotkan senternya pada pepohonan yang ada di sekitarnya, mencoba mencari Adis. Ia sangat khawatir dan merasa sangat bodoh karena membiarkan Adis pergi sendirian seperti itu. Bagaimana jika ia kenapa-napa? batinnya.
Sudah satu jam Sang Joon mencari Adis dan belum juga menemukan gadis itu. Ia berkali-kali berteriak memanggil nama gadis itu, namun tidak ada jawaban. Akhirnya iya merasa lelah dan menopangkan kedua tangan ke lututnya dan terengah-engah.
Bagaimana ini? Kenapa aku belum menemukannya? batin Sang Joon. Bagaimana jika aku tidak bisa melihatnya lagi? Ya Tuhan… apa yang telah kulakukan?
Sang Joon kembali menegakkan tubuhnya dan kembali mencari Adis. Tak berapa lama ia melihat kaus yang digunakan Adis. Ia berlari menghampiri kaus tersebut. Matanya terbelalak melihat Adis bersandar dan menggigil pada sebuah pohon.
“Adis,” panggil Sang Joon sambil merengkuh Adis, “Kamu tidak apa-apa?” Namun Adis terlihat sangat lemah. “Dis,” ulang Sang Joon sambil menggoyangkan tubuh Adis, namun tidak ada jawaban.

₪ ₪ ₪

Adis berjalan di sebuah halaman hijau dengan taman bunga di sisi kanan dan sebuah pohohon rindang. Di bawah pohon itu terdapat seorang anak perempuan yang sedang menggendong sebuah boneka beruang, dan seorang anak laki-laki sedang menggambar dengan krayonnya. Entah mengapa, mereka tampak familiar bagi Adis.
“Kamu lagi gambar apa?” tanya si anak perempuan.
“Ini gambar rumah kita nanti,” jawab si anak laki-laki, “Aku gambar taman bunga yang bagus untuk kamu.”
Ucapan si anak laki-laki membuat anak perempuan yang duduk di sampingnya tersenyum senang. Adis pun tersenyum mendengarnya. Ia melongok ke gambar si anak laki-laki dan terpana. Anak laki-laki itu menggambar sebuah rumah dengan dua orang di depannya, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Tapi yang membuat Adis terkejut adalah, di bawah gambar itu terdapat tulisan “Rumah Sang Joon dan Adis”. Adis kembali melihat kedua anak yang tengah tertawa itu. Berarti mereka itu… batin Adis.
Lalu tiba-tiba halaman hijau tersebut berubah menjadi sebuah ruangan dengan banyak orang di sana. Sepertinya ini bandara. Dan di hadapan Adis berdiri dua keluarga, dan seorang anak perempuan yang berusia sekitar sepuluh tahun tengah menangis.
“Jangan pergi…” isak anak itu.
“Kita pasti bertemu lagi. Nanti kita buat rumah seperti di gambar, ya.” ujar anak laki-laki sebaya yang ada di hadapan anak perempuan itu.
Adis membelalakkan matanya. Ia ingat kejadian ini. Ini adalah saat Sang Joon harus pindah ke Korea saat mereka masih berusia sepuluh tahun. Dan Adis ingat delapan tahun kemudian ia datang pertama kalinya ke Korea untuk menemui Sang Joon.
Adis berbalik dan tiba-tiba saja di depannya berkelebat perjalanan pertamanya ke Korea. Saat ia sampai di Bandara Internasional Incheon dan disambut dengan senyuman oleh Sang Joon, saat mereka pergi berjalan-jalan ke Eunhaeng-dong, Expo Park di Yuseong-gu, , Min Ah yang berkata bahwa Sang Joon adalah miliknya, pertemuan tiba-tiba dengan Arya yang berakhir di Dunsan Grand Park dan ketika Sang Joon mengantarnya pulang di Bandara Internasional Incheon tanpa senyum sama sekali.
Adis kembali teringat bahwa Sang Joon marah karena menurutnya Adis lebih memilih Arya dibandingkan dengan dirinya. Adis ingat saat itu ia lebih memilih pergi bersama Arya, yang walaupun juga bersama Sang Joon, namun melupakan janji mereka untuk ke N Seoul Tower. Adis juga melihat bahwa Arya sempat membisikkan sesuatu yang membuat air muka Sang Joon berubah, yang tidak ia lihat sebelumnya.
Dan tiba-tiba saja ingatannya beralih pada perjalanan keduanya demi untuk bisa bertemu lagi dengan Sang Joon, namun sayangnya laki-laki itu tampak masih marah. Lalu pertemuannya dengan Min Ah yang berkeras bahwa Sang Joon adalah miliknya, dan fakta bahwa Sang Joon tampaknya tidak keberatan dengan adanya Min Ah di sisinya. Dan terakhir, saat mereka bertengkar di Gunung Manin juga karena Sang Joon telah berbohong padanya.
Lalu tiba-tiba kepalanya terasa sakit, dan ketika ia membuka matanya Adis menyadari ia berbaring di ruangan yang serba putih. Ia merasakan genggaman pada tangan kanannya. Ia melirik dan mendapati seorang laki-laki berambut hitam sedang membenamkan wajahnya dan kedua tangannya menggengam tangan kanan Adis dengan kedua tangannya.
“Sang… Joon…?” ucap Adis lemah.
Laki-laki itu langsung menengadahkan kepalanya. Ternyata memang benar Sang Joon. Walaupun Adis baru sadar, tapi ia bisa melihat bahwa dari kedua mata laki-laki itu mengalir dua sungai kecil.
“Adis?” ujarnya seraya bangkit, namun masih menggenggam tangan Adis, “Kamu sudah sadar? Kamu tidak apa-apa?”
Adis tersenyum dan melepas tangannya dari genggaman lelaki itu, lalu mengusap air mata di pipinya, “Uljima[8].”

₪ ₪ ₪

Tante Lidya membelai kepala Adis yang sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan sayang. Kemudian beliau pergi keluar ruangan untuk membelikan makanan untuk putranya. Adis sendiri sudah merasa lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ia sebenarnya merasa malu pada kenyataan bahwa ia hanya kehujanan tetapi ia harus masuk rumah sakit seperti ini.
“Wae? Wajar kau masuk rumah sakit.” jawab Sang Joon, “Kau hanya sarapan sedikit. Cuaca di sini juga sangat terik, tapi kemudian hujan. Ditambah kau tersesat dan ketakutan. Dan itu…” Sang Joon menggaruk pelipisnya, “Karena aku.”
“Joon-ah…”
“Mianhae[9].” kata Sang Joon lagi.
Adis menggelengkan kepalanya, “Kamu tahu? Tadi aku sempat melihat banyak hal.”
Sang Joon menatap Adis, “Mwo?”
“Aku melihat masa kecil kita. Aku melihatmu menggambar rumah masa depan kita, dengan taman bunga yang cantik. Aku melihat saat kau harus pindah ke sini. Kita berjanji untuk saling bertemu lagi kan?”
Sang Joon terpana. Ia tidak menyangka Adis ingat semua itu, terutama tentang gambar rumah mereka yang dibuat Sang Joon kecil. Apalagi setelah…
“Lalu aku ingat ketika aku pertama kali datang ke sini. Kamu menjemput aku dengan senyum lebar. Senyum yang nggak pernah aku lihat lagi sekarang. Kita juga sering berjalan-jaln bersama. Lalu muncul Arya. Dan karena itu juga kita batal ke N Seoul Tower bukan?”
Sang Joon mengangguk. Jujur, ia benci mengingat soal Arya.
“Dan setelah itu kamu marah ke aku.” Adis diam selama beberapa saat, “Wajar kalau kamu marah. Aku memang salah. Tapi kau sama sekali nggak menyangka kalau marah kau bisa bertahan selama tiga tahun.”
“Aku…” Sang Joon menunduk.
“Tapi tadi aku lihat kalau Arya membisikkan sesuatu ke kamu, dan air muka kamu berubah. Aku… boleh tahu dia bilang apa?”
Sang Joon menatap Adis, “Dia bilang kalau kamu adalah miliknya. Kalau kamu… menjalin hubungan dengan dia dan…”
“Dan kamu percaya?”
“Aku marah. Aku tidak mau percaya tapi… kelihatannya kamu dekat sekali dengan dia, terlebih kamu sampai membatalkan janji kita… Aku…” Sang Joon bingung ingin melanjutkan apa. “Aku cemburu. Sangat. Aku merasa kamu meninggalkan aku, meninggalkan janji-janji kita.”
Adis terpana mendengarnya, namun kemudian ia menimpali, “Dan karena itu kamu lepas cincin kita?”
Sang Joon mengangguk dan kemudian mengeluarkan kalung dengan liontin berbentuk cincin dari balik bajunya, “Dan aku menaruhnya di sini.”
Adis tertawa melihatnya. Ia senang ternyata Sang Joon tidak benar-benar melepasnya.
“Dan selepas kamu pergi, aku berpikir apa saat itu kau terlalu muda untuk cinta? Terlalu banyak tekanan sehingga aku justru membuat kamu menangis. Dan kemudian aku pikir… aku bisa memulai hari-hariku seperti biasa dan melupakan kamu. Tapi ternyata tidak. Maka dari itu aku berusaha untuk menghindari kamu, menolak kamu. Maka dari itu aku selalu bersikap dingin dan terlihat tidak suka dengan kedatanganmu. Dan aku… karena hal itu juga aku berbohong soal liburan ke London.”
Adis terpana mendengar pengakuan Sang Joon.
“Tapi aku tidak bisa menahan emosiku ketika ada orang lain yang mendekatimu, terlebih sahabatku sendiri, dan hal itu justru membuat kamu menangis lagi dan bahkan menjadi seperti ini…” lanjut Sang Joon, “Aku telah menajdi pecundang dengan menimpakan ini semua pada kamu. Tapi aku sama sekali tidak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu. Aku…”
Adis menitikkan air matanya, “Meomcheongi[10]. Kamu pikir untuk apa aku datang lagi ke sini? Untuk apa aku kembali lagi ke sini padahal Min Ah sudah berulang kali memaksaku untuk menjauhi kamu?”
Sang Joon terpana. “Min Ah… bilang seperti itu?”
Adis mengangguk, “Dia bilang kalau kau adalah miliknya, dan aku tidak pantas untukmu.”
Mata Sang Joon membesar.
“Aku buang semua rasa takut aku, rasa takut kalau kamu benar-benar benci aku, dan datang ke sini. Cuma… untuk bertemu denganmu.” suara Adis bergetar.
“Uljima…” kali ini Sang Joon yang membasuh air mata Adis.
“Mwo? Bagaimana aku tidak menangis? Aku menderita selama tiga tahun dan…”
Ucapan Adis terputus karena tiba-tiba saja Sang Joon memeluknya erat. “Mianhae… Jeongmal mianhae[11]…” bisik Sang Joon sambil memejamkan mata.
Adis balas memeluk Sang Joon dengan erat sambil memejamkan mata dan tersenyum. “Na do mianhae[12].”



[1]Tidak tahu.
[2]Indah/cantik sekali.
[3]Sudah sampai.
[4]Apa
[5]Hei, kau.
[6]Apa kau sudah gila?
[7]Semangat.
[8]Jangan menangis.
[9]Maaf.
[10]Bodoh/idiot.
[11]Aku benar-benar minta maaf.
[12]Aku juga minta maaf.

다시… 사랑합니다 / Love Again (Chapter 4)


Pukul delapan lewat lima belas menit. Adis duduk di sofa merah marun ruang tamu sambil membolak-balik majalah tempat Tante Lidya menjadi editor. Ia menoleh ke arah tangga, menunggu Sang Joon untuk turun. Namun, yang ditunggu-tunggu belum tampak batang hidungya. Ia menoleh ke arah kanan dan menemukan meja dengan vas bunga berisi krisan putih. Tante Lidya senang sekali mendapat sebuket krisan putih dan langsung menaruhnya di vas ruang tamu ini. Adis tersenyum dan menyentuh bunga itu. Tapi kemudian senyumnya langsung hilang.
Gadis itu teringat ketika semalam ia terbangun di tengah malam karena kehausan, ia menemukan Sang Joon sedang memprotes ibunya. Adis yang ketika itu tengah memegang gelas dari dapur, bersembunyi di balik tembok dan mendengar percakapan Sang Joon dan ibunya. Sang Joon berkata kalau ibunya sengaja memaksanya untuk terus bersama Adis, dan ia tidak suka itu. Tante Lidya kemudian berkata bahwa itu adalah untuk kebaikan putranya. Adis tidak mengerti dengan percakapan tersebut, tapi ia menjadi tidak enak karena seperti telah dikatakan oleh Sang Joon, ia telah merusak liburan lelaki itu.
“Joon-ah…!” terdengar suara dari pintu depan.
Sontak Adis menoleh dan menemukan seorang laki-laki dengan celana jeans dan kaus berwarna biru laut dan menggendong seekor kucing jenis Scottish Fold berwarna putih abu-abu. Laki-laki itu tampak terkejut melihat Adis di situ.
“Oh, Pil Seong.” Adis tersenyum.
Pil Seong tampak tersenyum senang dan menghampiri Adis yang duduk di sofa, “Adis? Kapan datang?” tanyanya. Pil Seong adalah sahabat Sang Joon sejak kelas 5 di sekolah dasar dulu. Dan dia juga bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Sang Joon yang mengajarinya karena ia tertarik dengan berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Sebelum Adis sempat menjawab, Sang Joon telah berdiri di anak tangga dan memanggil Pil Seong, “Ya, Pil Seong-ah!”
Pil Seong menoleh, begitu juga dengan Adis. Sang Joon kemudian menuruni tangga dan menghampiri keduanya di ruang tamu, dan bertanya ada apa.
“Wae?” tanya Pil Seong, “Aku tidak boleh datang ke sini? Apa karena ada Adis jadi aku tidak boleh datang ke sini?”
“Mwo?” Sang Joon melebarkan kedua matanya. Sekilas ia melirik Adis, namun gadis itu sibuk bermain dengan Nokcha, Scottish Fold milik Pil Seong yang tadi turun dari gendongan pemiliknya.
“Eiiii,” kata Pil Seong pada Sang Joon, namun kemudian ia beralih pada Adis, “Biasanya Nokcha tidak mudah bergaul dengan orang asing.”
“Nokcha?” tanya Adis sambil menggendong kucing Pil Seong dan berdiri di antara kedua lelaki di sana, “Nokcha artinya teh hijau, bukan?”
“Ne,” Pil Seong mengangguk, “Jom, kalian mau ke mana?” Pil Seong mengamati Sang Joon dan Adis yang berpakaian cukup rapi.
“Eomma menyuruhku menemaninya untuk jalan-jalan,” jawab Sang Joon.
“Kamu mau ikut?” tanya Adis pada Pil Seong disertai tatapan Sang Joon padanya.
“Kureom[1]…!” Pil Seong tampak senang. “Joon-ah, aku titip Nokcha di sini, ya.”
“Mwo?” tanya Sang Joon, tapi Pil Seong tidak peduli dan langsung berjalan menuju mobil sedan milik Sang Joon. “Ya! Kim Pil Seong!”
Adis segera menaruh Nokcha di lantai dan berjalan menyusul Pil Seong. Sang Joon segera mengambil kunci mobil dan berjalan menuju mobilnya. Kenapa Adis harus mengajak Pil Seong? batinnya.

₪ ₪ ₪

Sang Joon melirik Adis yang sedang membaca brosur pariwisata Jung-gu lewat spion dalam mobilnya, sementara Pil Seong yang duduk di sebelahnya sedang melihat-lihat CD yang ada di dalam mobil Sang Joon.
“Pil Seong-ah, lebih baik ke mana dulu?” tanya Adis masih sambil melihat brosur.
Alis Sang Joon terangkat sebelah. Kenapa dia bertanya pada Pil Seong? batinnya. Aku yang mengantarnya, kenapa Pil Seong yang ditanya?
“Um…” Pil Seong menoleh setelah memasukkan CD 2NE1 ke dalam CD player mobil Sang Joon. “Bagaimana kalau kita ke Ppuri Park? Dari situ kita bisa melanjutkan ke desa Hyo-Munhwa dan Kebun Binatang.”
Adis setuju sambil mengangguk. Sang Joon menoleh kepada Pil Seong dengan alis kanannya yang terangkat, sementara Pil Seong tampak tidak peduli dan menyenandungkan I Am The Best sambil sesekali menyebut, ”Dara Noona[2]~”
Selama perjalanan, Pil Seong dan Adis yang menikmati pemandangan di Daejeon, banyak mengobrol. Sementara itu Sang Joon lebih banyak diam sambil menyetir, namun matanya tidak pernah lepas dari kedua orang yang ada di dalam mobilnya.
“Eo, jeogi[3]!” tunjuk Adis ketika melihat batu besar bertuliskan Ppuri Park atau Ppuri Gongwon dalam bahasa Korea.
Sang Joon sedikit merendahkan kepalanya dan mengikuti telunjuk Adis. “Keutjo,” ucapnya, lalu memutar setir dan masuk ke dalam Ppuri Park. Ketika Sang Joon mengambil tiket parkir di loket parkir, petugas di sana sempat salah tingkah melihat Sang Joon. Mungkin ia mengira bahwa yang datang adalah salah satu personil Big Bang, TOP.
Sang Joon memarkir mobilnya, dan setelah itu Pil Seong dan Adis langsung keluar dan berjalan masuk ke dalam taman tersebut dengan gembira. Sang Joon sendiri berjalan gontai di belakang mereka sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeansnya, seperti biasa.
“Whoaaa…. Daebak[4]!” mata Adis membesar ketika melihat pemandangan alam yang indah aluran sungai Yudeung. Pil Seong juga melakukan hal yang sama dengan Adis walaupun ia sendiri berasal dari Daejeon. Dari bibir Sang Joon tersungging senyum kecil melihat dua orang yang tengah terpesona itu.
Sang Joon berjalan mendekat ke pinggir pagar pembatas di samping sungai dengan kedua tangan terlipat di dada dan senyum yang masih tersungging. Adis memegang pagar pembatas itu sementara Pil Seong menunjuk pepohonan hijau yang berbentuk seperti bukit di depan mereka.
Kemudian mereka berjalan mengelilingi taman tersebut masih dengan terpesona. Di dalam taman ini juga terdapat 136 patung yang melambangkan nama keluarga Korea dan asalnya. Pil Seong langsung berseru begitu melihat patung nomor 16 dengan nama keluarganya, Kim, yang berasal dari Buan.
Menghadap ke taman, terdapat Monumen Sannam yang tinggi menjulang dengan tiga tiang besarnya yang kemudian menjadi observatorium. Terdapat pula air mancur dengan bentuk bulat seperti bola di puncaknya dan tabung lebih kecil seperti bambu di sekelilingya yang memancurkan air, dan kepala naga yang mengelilingi pinggirannya.
Tiba-tiba Adis merasakan sesuatu yang dingin yang menyentuh telapak tangan kanannya. Ia menoleh ke bawah dan mendapatkan bahwa hal dingin yang dirasakan telapak tangannya adalah sebotol air mineral dingin. Kemudian ia mendapati Sang Joon berdiri di sebelah kanannya sedang menatap lurus air mancur tersebut. Ternyata air mineral dingin itu disodorkan oleh Sang Joon. Adis tersenyum dan mengucapkan terima kasih pada Sang Joon yang hanya mengangguk.
“Eo[5]?” tanya Pil Seong tiba-tiba, “Untukku mana?” tanyanya.
“Eobsseo[6].” jawab Sang Joon, “Kau beli saja sendiri.”
“WAEEE?” protes Pil Seong, “Kau pilih kasih, Joon-ah.”
“Kau kan lancar berbahasa Korea,” jawab Sang Joon santai. Adis terkikik sementara Pil Seong tampak sebal dan pergi ke toko dekat air mancur itu untuk membeli minuman.
Setelah itu, mereka meneruskan berjalan mengelilingi Ppuri Park. Terdapat Palgakjeong yang berbentuk seperti pendopo khas Korea sebagai tempat beristirahat, dan juga sebuah tempat seperti lapangan yang di sekelilingnya terdapat Jeongja atau patung-patung yang melambangkan 12 bintang atau zodiak yang mengenakan pakaian seperti biksu.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore sehingga rencana sebelumnya untuk melanjutkan perjalanan dari Ppuri Park ke desa Hyo-Munhwa tidak bisa dilanjutkan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pulang.
Selama perjalanan pulang, Pil Seong yang mengendarai mobil menggantikan Sang Joon yang kini duduk di sebelahnya. Sedangkan Adis, sedang sibuk mengunyah choco pie[7], sambil melihat pemandangan di luar. Tak lama kemudian, gadis itu tertidur.
Sang Joon menoleh dan tersenyum simpul melihat Adis. Ia mengambil bungkus choco pie yang telah kosong dari tangan gadis itu. Pil Seong melirik sahabatnya itu. Sudah lama sekali ia tidak melihat Sang Joon tersenyum seperti itu. Matanya yang tajam itu terlihat lembut, entah mengapa.
“Kenapa kau memaksakan diri?” ujar Pil Seong.
Sang Joon menoleh, “Mwo? Apa maksudmu?”
“Kenapa kau memaksakan diri untuk bersikap dingin terhadapnya?” lanjut Pil Seong sambil memajukan perseneling, “Padahal jelas-jelas kau peduli padanya, kan?”
“Anni.” balas Sang Joon, “Aku tidak pernah memaksakan diriku.”
“Ya, Joon-ah…” Pil Seong menoleh pada sahabatnya.
“Jika kau menjadi aku… Tidak, tidak. Itu tidak akan pernah terjadi.” Sang Joon meneguk air mineral dari botol dan kemudain memijat dahinya.

₪ ₪ ₪

Hari berikutnya, Pil Seong kembali ikut bersama Adis dan Sang Joon. Bosan, katanya. Rencananya, hari ini mereka berniat untuk ke Daejeon O! World di Sajeong-dong, distrik Jung. Jam delapan pagi mereka sudah bersiap untuk pergi. Seperti biasa, Adis menggunakan kaus oblong dan celana jeans, sedangkan hari ini Sang Joon dan Pil Seong menggunakan kemeja flannel lengan pendek dengan kaus putih tipis di dalamnya.
Adis akan duduk di belakang, sementara Pil Seong duduk di depan bersama Sang Joon yang menyetir mobilnya.
“Kita isi bensin dulu,” ujar Sang Joon sambil membuka pintu mobilnya, “Kemarin aku lupa.”
Adis dan Pil Seong mengangguk. Mereka juga segera membuka pintu mobil. Namun, tiba-tiba terdenagr suara perempuan berteriak dari luar pagar rumah Sang Joon.
“Oppa[8]~!” jerit gadis itu, “Sang Joon oppa~!”
Adis dan Pil Seong yang berniat masuk ke dalam mobil mengurungkan niat mereka, dan segera menjulurkan leher untuk melihat siapa yang memanggil, sementara Sang Joon terlihat memejamkan matanya.
Di luar pagar terlihat seorang gadis dengan rambut panjang berwarna cokelat medium, dengan jeans legging berwarna abu-abu dan muscle shirt atau kaus tanpa lengan dengan lubang besar untuk bagian tangan berwarna hijau toska sedang melambai-lambaikan tangan dengan penuh semangat dan mengulangi memanggil Sang Joon. Bahkan gadis itu pun melompat-lompat girang.
“Ige mwoya[9]?” ujar Pil Seong. Adis menoleh ke arah Sang Joon yang tengah menggaruk-garuk tengkuknya.
“Oppa!” gadis itu kini berlari menghampiri Sang Joon lalu memeluknya erat, “Sang Joon oppa… Nan bogoshippeo[10]!”
Sang Joon segera berontak dan melepaskan dirinya dari pelukan gadis itu. “Lepaskan aku.” ujarnya.
“Oppa, wae?” gadis itu tampak kesal, “Kita sudah lama tidak bertemu.”
“Kureom, wae[11]~?” sela Pil Seong, “Apa karena kalian lama tidak bertemu, kau bisa seenaknya memeluknya?”
Gadis itu menoleh pada Pil Seong, “Shikkeureo[12]!”
“Ya, Seo Min Ah!” Pil Seong tampak tidak suka, “Aku lebih tua darimu.”
“Sanggwan eobsseo[13].” jawab Min Ah. “Yang aku pedulikan hanya Sang Joon oppa.” Min Ah kembali memeluk Sang Joon, dan sekali lagi Sang Joon melepaskannya.
“Oppa~” rengek Min Ah, tapi Sang Joon tidak pedui dan langsung masuk ke dalam mobilnya dan menutup pintunya. Min Ah tampak kesal, dan kemudian ia melihat Adis berdiri di samping pintu belakang mobil, “Ah, kau datang lagi rupanya. Ada apa?”
“Waeyo?” tanya Adis sambil tersenyum, “Apa aku tidak boleh datang ke sini.”
“Ne, untuk apa kau datang ke sini?”
“Bahkan jika Tante Lidya yang memintaku untuk datang?”
“Mwo?”
Adis hanya tersenyum dan masuk ke dalam mobil. Dalam hatinya ia meruntuk kesal, kenapa harus bertemu lagi dengan Min Ah seperti tiga tahun lalu. Tiba-tiba Pil Seong yang akan masuk ke mobil ditarik oleh Min Ah, dan sebagai gantinya gadis itu yang duduk di sebelah Sang Joon.
Sang Joon menoleh dengan kening berkerut, “Kau mau apa?”
“Oppa, kau mau ke mana? Aku ikut ya? Ke manapun kau pergi, aku bersedia untuk ikut.” ujar Min Ah bertubi-tubi.
“Dia akan terjun ke jurang,” Pil Seong menunduk sehingga wajahnya menjadi dekat dengan Min Ah, “Sekarang kau keluar. Aku mau duduk.”
Min Ah mendelik pada Pil Seong, “Sirhyeo[14]!” ia lalu menarik pintu mobil, menutupnya dan menguncinya. “Tempatku adalah di sisi Sang Joon oppa.” ucapnya sambil tersenyum pada Sang Joon. Sang Joon sendiri hanya bisa menghembuskan napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara Pil Seong memukul-mukul kaca mobil sambil menarik kenop pintu, berusaha membuka pintu yang telah dikunci Min Ah.

₪ ₪ ₪

Akhirnya, Min Ah berhasil untuk ikut bersama Adis, Sang Joon dan Pil Seong. Pil Seong sendiri akhirnya duduk di sebelah Adis dan menggerutu sepanjang jalan. Ia tidak begitu suka duduk di jok belakang, karena getaran mesin lebih terasa, menurutnya. Sepanjang jalan, Min Ah melingkarkan tangannya di lengan kanan Sang Joon, walaupun Sang Joon selalu mengelak dan berkata bahwa ia sedang menyetir. Adis sendiri memilih untuk memperhatikan pemandangan sekitar.
Daejeon O! World terdiri dari tiga bagian, yaitu kebun binatang, kebun bunga dan taman hiburan. Setelah Sang Joon memarkir mobilnya, mereka menuju kebun bunga terlebih dahulu. Terdapat banyak sekali bunga-bunga indah dan berwarna-warni di sana, seperti mawar, tulip, tanaman herbal dan juga tanaman empat musim. Di taman bunga ini juga terdapat beberapa air mancur, seperti air mancur yang ada di tengah danau, air mancur yang menyemburkan airnya dari pinggir kolam, dan juga air mancur yang berbentuk seperti tangga dengan patung putri duyung dan penyu.
Min Ah menarik Sang Joon untuk berfoto di tiap air mancur berkali-kali. Sang Joon sendiri malas melakukannya dan akhirnya berujung pada wajahnya yang terlihat kesal di tiap foto dan membuat Min Ah cemberut. Adis dan Pil Seong juga berfoto bersama di tiap air mancur, namun tidak sampai seheboh Min Ah.
Setelah mengunjungi taman bunga, mereka menuju ke teater 3 dimensi untuk menonton film tentang dinosaurus. Selama perjalanan menuju teater 3 dimensi itu, Min Ah terus mengapit lengan Sang Joon walaupun Sang Joon sendiri terlihat jengah dan beberapa kali berusaha melepaskan apitan gadis itu.
Tanpa disadari, mata Adis membesar melihat hal itu. Ia kemudian menarik tangan Pil Seong untuk berjalan mendahului Sang Joon dan Min Ah, agar cepat sampai ke teater tersebut. Sang Joon cukup kaget melihat hal tersebut. Matanya melebar.
Selesai berjalan-jalan dengan dinosaurus, mereka menuju kebun binatang dan disambut oleh oleh berbagai jenis patung binatang, seperti kuda nil. beruang dan harimau. Terdapat pula perosotan dengan kepala gajah di sana. Di dalamnya juga terdapat banyak binatang seperti harimau, beruang, kura-kura raksasa dan bahkan musang.
Adis mengedarkan pandangannya. Orang-orang yang datang ke sana memberi makan binatang-binatang yang ada dalam kandang. Tidak hanya dengan makanan yang dibeli dari mesin penjual otomatis, namun juga makanan seperti biskuit yang biasa dilemparkan oleh anak-anak kecil.
Adis rasa sebenarnya kebun binatang di sini tidak jauh berbeda dengan Ragunan, hanya saja di sini lebih bersih dan lebih banyak binatang yang ditangkarkan, yaitu sekitar 600 jenis. Dan juga terdapat beruang kutub!
“Ah, oppa! Oppa! Lihat, ada beruang!” tunjuk Min Ah dengan suara yang nyaring. Para pengunjung yang lain menoleh ke arahnya dan tertawa. Sang Joon tampak malu.
“Keu yeoja[15]…” gumam Pil Seong, “Lebih baik kita pura-pura tidak kenal.”
Adis tertawa dan mengangguk setuju. Pil Seong ikut tertawa dan Adis mendorongnya. Sang Joon menangkap adegan itu dan berdeham. Min Ah sendiri belum puas dan terus mencari perhatian Sang Joon.
“Ya!” kata Sang Joon, “Hajima[16]. Kau terlihat seperti orang yang belum pernah ke kebun binatang.”
“Wae? Aku kan senang bisa ke kebun binatang bersama oppa.” Min Ah tampak mengeluarkan aegyo[17]nya dengan cara menempelkan kedua telunjuknya di pipinya dan menggoyangkan pinggulnya membelakangi kandang simpanse.
Tiba-tiba saja Min Ah berteriak karena simpanse di belakangnya menjulurkan tangan dan memegang lengan Min Ah untuk meminta makanan. Gadis itu merengek pada Sang Joon, namun Sang Joon hanya tertawa dan dengan tidak peduli ia berlalu. Pil Seong dan Adis tertawa geli, dan sekali lagi Adis mendorong Pil Seong yang tidak bisa berhenti tertawa. Sekali lagi, hal itu ditangkap oleh mata Sang Joon.
Pil Seong menoleh dan mendapatkan Sang Joon tengah memperhatikannya dan Adis dengan wajah kaku. Laki-laki itu berhenti tertawa kemudian menoleh pada Adis yang tengah melihat meerkat manor, sejenis mamalia yang bisa berdiri dengan dua kaki belakangnya, dengan takjub. Kemudian ia menoleh lagi pada Sang Joon dan kemudian tersenyum jahil. Bibir bawahnya sedikit tergigit saat ia tersenyum.
Kemudian mereka menaiki bus untuk perjalanan safari. Pil Seong menarik Adis untuk duduk di sebelahnya, sementara Sang Joon telah ditarik oleh Min Ah untuk duduk bersamanya. Min Ah masih heboh seperti biasa, dan insiden di depan kandang simpanse sepertinya tidak memengaruhinya sama sekali. Sementara itu, Adis dan Pil Seong sibuk menunjuk-nunjuk hewan seperti llama, beruang, jerapah dan sebagainya dari kaca jendela bus dan memotretnya. Sang Joon memilih diam sambil memperhatikan Adis dan Pil Seong.
Bagian terakhir yang mereka kunjungi adalah taman hiburan yang bernama joy land. Joy land merupakan sebuah area yang di dalamnya terdapat berbagai macam atraksi. Joy land ini kemudian dibagi menjadi dua, yaitu Iris Plaza dekat air mancur dan patung-patung untuk bersantai dan Festival Zone yang di dalamnya terdapat berbagai macam atraksi.
Wahana pertama yang dinaiki oleh Adis, Sang Joon, Pil Seong dan Min Ah adalah Flume Ride, yaitu sejenis roller coaster. Flume Ride tidaklah seseram roller coaster dan bergerak melewati taman yang indah. Setelah itu mereka menaiki Super Viking yang berbentuk seperti perahu yang diayun selama lima menit. Seperti baisa, Min Ah menjerit-jerit memanggil oppa-nya, yaitu Sang Joon, yang terkesan cuek dan tidak memedulikan gadis itu.
Selesai menaiki Super Viking, mereka menaiki Giant Drop, sejenis wahana yang membawa penumpangnya naik tinggi kemudian menurunkannya dengan cepat, dan naik lagi selama satu menit empat puluh detik. Min Ah menarik Sang Joon dengan riang.
“Aku di tengah, dan oppa di pinggir untuk menjadi pelindungku,” ujarnya sambil duduk di kursi ketiga.
“Sirhyeo,” ujar Sang Joon sambil duduk di kursi kedua. “Aku juga mau di tengah.”
Pil Seong menaikkan sebelah alisnya. Ige mwoya? batinnya. Padahal aku berniat duduk di sebelah Adis.
Kini hanya tinggal dua kursi yang masing-masing dipinggir, yaitu kursi pertama dan keempat, karena satu sisi hanya terdapat empat kursi. Pil Seong kemudian memilih duduk di sebelah Min Ah, yaitu kursi keempat. Dengan begitu, Adis mendapatkan kursi pertama, di sebelah Sang Joon.
Min Ah mendelik melihat Adis duduk di sebelah Sang Joon. Tangannya menunjuk-nunjuk Adis walaupun pengaman telah dipasang. “Kenapa kau duduk di sebelah Sang Joon oppa?”
Adis menoleh, “Apa aku punya pilihan?”
“Ya, kau…” Min Ah kembali menunjuk-nunjuk Adis, namun Sang Joon memukul kecil tangan Min Ah agar turun. “Oppaaaa~” rengek Min Ah.
Sang Joon hanya melirik dengan malas.
“Oppaaa~ AAAAAARRRRRRHHHHH!!!!” saat Min Ah mengulangi rengekannya, tiba-tiba Giant Drop mulai naik dan membuat Min Ah kaget dan berteriak, walaupun wahana tersebut naik dengan pelan.
Pil Seong yang ada di sebelah Min Ah menoleh dengan kesal, “Shikkeureo!” katanya.
Lalu tiba-tiba wahana yang mereka naiki turun dengan kecepatan penuh dan membuat jeritan Min Ah semakin kencang. Sang Joon menoleh ke sebelah kanannya dan mendapatkan Adis, yang walaupun tidak berteriak, terlihat memejamkan matanya.
Ketika sekali lagi wahana itu naik dengan pelan, dan turun dengan kecepatan penuh, Adis kembali memejamkan matanya karena takut. Takut jika tiba-tiba saja pengaman yang dikenakannya lepas, dan ia terpental dan mati. Yah, siapa yang tahu. Sampai tiba-tiba Adis merasa genggaman di tangan kirinya. Ia memberanikan diri untuk membuka sebelah matanya dan menoleh. Sang Joon sedang menatapnya. Laki-laki itu tampak tenang dan tidak berteriak atau tampak tegang seperti Pil Seong.
Ketika Adis membuka kedua matanya, Sang Joon masih menatapnya dan makin erat menggenggam tangannya. Namun kemudian ia menatap lurus ke depan. Adis terpana, dan rasa takutnya hilang dalam sekejap. Sang Joon sendiri baru melepaskan genggaman tangannya pada tangan Adis ketika Giant Drop itu berhenti, dan pengaman yang dipasang pada tubuh mereka terbuka.
“Ah, anhae!” ujar Min Ah langsung bangkit meninggalkan Giant drop dengan suara yang cukup keras dan membuat Pil Seong menjadi kesal.
“Lagipula siapa yang mengajakmu ke sini? Kau sendiri yang mau ikut.”
Namun Min Ah tidak memedulikan perkataan Pil Seong dan justru berjalan menuju sebuah kafe. “Oppa~!” ia melambai-lambaikan tangan pada Sang Joon.
Sang Joon berjalan dengan gontai. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya. Adis berjalan dengan jarak setengah meter di sebelahnya sambil menunduk. Gadis itu menerka-nerka kenapa Sang Joon menggenggam tangannya tadi. Apa Sang Joon masih peduli padaku? batinnya.
Di kafe itu mereka memesan patbingsu. Patbingsu adalah sejenis es serut dengan kacang merah. Namun, sekarang ini patbingsu biasanya berisikan buah-buahan seperti stroberi, kiwi, pisang, jeruk, susu kental manis, es krim, yoghurt, potongan kecil kue beras atau tteok dan juga kacang merah. Min Ah langsung memesan patbingsu dengan es krim rasa stroberi. Sang Joon dan Pil Seong memesan rasa vanilla sedangkan Adis rasa teh hijau.
Sang Joon memperhatikan mangkuk patbingsu Adis yang baru sampai. Gadis itu tidak suka kacang merah yang menjadi campuran es itu, dan biasanya ia akan memberikannya pada Sang Joon. Kali ini pun Adis menyisihkan kacang merah yang ada dalam mangkuk esnya.
“Wae?” tanya Pil Seong, “Kau tidak suka kacang merah?”
Adis menggeleng.
“Biar buatku saja,” Pil Seong mengambil kacang merah yang disisihkan oleh Adis dan memindahkannya ke mangkuknya. Sang Joon berdeham melihat hal itu.

₪ ₪ ₪

Seperti hari sebelumnya, Pil Seong yang mengemudikan mobil ketika pulang. Min Ah langsung menyeret Sang Joon untuk duduk di jok belakang. Kali ini Sang Joon diam saja dan membiarkan Min Ah menariknya masuk ke dalam mobil. Pil Seong dan Adis berdiri diam selama beberapa saat melihat hal tersebut sebelum masuk ke dalam mobil.
Min Ah melingkarkan tangannya di lengan Sang Joon dan menyenderkan kepalanya di bahu kiri Sang Joon. Sang Joon mengelak dan mendorong kepala Min Ah menjauh.
“Oppaaaaa~” rengek Min Ah.
Sang Joon menghela napas dan membiarkan Min Ah memeluk tangan dan bersandar pada bahunya. Ia lebih senang menopangkan siku kanannya pada jendela dan berkelana dalam pikirannya.
Wae keurae[18]? batin Sang Joon. Apa aku yang salah lihat atau memang Adis dan Pil Seong menjadi makin dekat? Apa ada unsur kesengajaan? Atau…?
Sang Joon mengusap-usap bibirnya dengan tangan kanan sambil memperhatikan Pil Seong yang sedang mengemudi dari belakang. Pil Seong bukannya tidak tampan. Wajahnya mirip Lee Yong Dae, atlet bulu tangkis kebanggaan Korea Selatan, dengan tinggi 180 sentimeter. Hampir setinggi Sang Joon yang 183 sentimeter. Bukan tidak mungkin Adis akan tertarik padanya. Ditambah, Pil Seong juga ramah pada gadis itu.
Pil Seong sendiri melirik aneh pada Sang Joon dari kaca spion. Ia bingung kenapa Sang Joon kali ini tidak menolak duduk di sebelah Min Ah, dan bahkan membiarkan gadis itu berlaku semaunya. Wae keurae? batinnya. Lalu ia melirik Adis yang duduk di sebelahnya dan memilih untuk melihat pemandangan di luar lewat kaca mobil.
Sang Joon sendiri masih tidak mengerti dan masih memperhatikan Pil Seong yang kini sedang menawarkan air mineral pada Adis.
Chamkkan[19], batin Sang Joon. Apa aku cemburu? Tapi, apa aku punya hak untuk itu?
Tiba-tiba ponsel Sang Joon berdering. Ia segera menyingkirkan tangan dan kepala Min Ah dari bahu dan lengannya, lalu mengambil ponselnya itu. Dari ibunya. Ia langsung menjawab telepon itu.
“Ah, gantungan TOP!” seru Min Ah berbinar, “Mirip oppa, ya.”
Adis segera menoleh dan mendapati strap ponsel dengan gantungan TOP yang menggantung di ponsel Sang Joon. Strap yang yang dibeli mereka dulu. Sang Joon tampak memandang Adis sesaat, lalu membuang muka dan kembali menjawab telepon dari ibunya.
Dia masih memakainya? batin Adis.



[1]Tentu saja.
[2]Panggilan laki-laki terhadap perempuan yang lebih tua/kakak perempuan.
[3]Oh, di sana!
[4]Hebat/menakjubkan.
[5]Uh/eh.
[6]Tidak ada.
[7]Kue bolu lembut berlapis cokelat dengan krim marshmallow di tengahnya dan berbentuk bulat, khas Korea.
[8]Panggilan perempuan terhadap laki-laki yang lebih tua/kakak laki-laki/pacar.
[9]Apa ini?
[10]Aku merindukanmu.
[11]Lalu kenapa?
[12]Berisik.
[13]Aku tidak peduli.
[14]Tidak mau.
[15]Gadis itu.
[16]Jangan lakukan itu.
[17]Bersikap lucu atau imut.
[18]Ada apa/apa yang salah.
[19]Tunggu.