Saturday, July 31, 2010

The name i loved

kemaren sore, pas lagi sikat gigi, gue terngiang-ngiang sama lagu The Name I Loved ini. sampe godek-godek gue hahahahah
terus gue jadi pengen bikin cerita deh gara-gara lagu itu berputar terus di kepala gue, dan jadilah ini jam 11.45 kemaren malem hehehehe
mungkin gak bagus, tapi gue berusaha menyesuaikan aja sama lagunya hehehehe
cekidot lah...

“My hands are chilled. Dimly, the cold memories of love gather. I know that i no longer want to impose my feelings on you. Because i realize that i cannot love you, even though you are so close to me. It's too hard for me to be wait for someone that cannot be mine. I can't endure any longer because it will never happen.”

Aku berdiri memandanginya. Ia diam dan tidak memedulikanku. Kau tau bagaimana rasanya memandang orang yang kau kasihi, sedangkan ia tidak memedulikanmu? Tanya aku bagaimana rasanya. Dingin. Seluruh tubuhku, dan bahkan hatiku serasa membeku. Tapi percuma saja, toh dia tetap tidak memedulikanku.

***

Aku memegang buku ini erat-erat agar halamannya tidak berjatuhan. Maklum, ini adalah buku milik ayahku sewaktu sekolah dulu. Dan tiba-tiba saja dia berlari dan menabrakku. Kami jatuh, begitupun buku itu. Halamannya berserakan. Aku segera bangkit untuk mengumpulkan halaman-halaman buku itu. Tapi terlambat, beberapa halaman terbawa angin dan terbang menjauh ke arah lapangan basket. Bagus. Tim basket sedang berlatih dan halaman bukuku terinjak-injak oleh mereka. Dia meminta maaf, tapi aku sama sekali tidak bersemangat. Itu buku milik ayahku, yang meninggal dua tahun lalu, dan aku kehilangan beberapa lembar halamannya karena gadis ini berlari-larian di koridor seperti anak SD dan menabrakku. Aku menatapnya marah dan langsung pergi begitu saja. Buku milik ayahku yang sangat berharga.

Keesokan harinya, ia menghampiriku ketika aku sedang membaca buku di kelas. Ternyata dia teman sekelasku. Dia mengangsurkan buku padaku, sama seperti milik ayahku. Dia kembali meminta maaf. Aku hanya memandanginya, dan kemudian bangkit dan pergi meninggalkannya. Kemudian dia berteriak memanggilku dan meminta maaf lagi. Aku tak peduli. Sebanyak apapun dia membawa buku yang sama dengan buku ayahku, itu tidak akan sama. Buku ayahku, penuh dengan kenanganku bersama beliau. Ketika aku hampir melewati pintu kelas, dia berteriak kalau aku jahat, terlalu dingin dan tidak punya hati, padahal dia sudah minta maaf berulang kali padaku. Aku menoleh dan berkata padanya bahwa aku tak peduli.

Perpisahan kelas selalu saja seperti ini. Jujur, aku bosan. Kenapa harus camping lagi? Seperti tidak cukup saja selama tiga kali perpisahan SMP aku selalu camping seperti ini. Bukan. Bukan aku tak suka dengan angin di pantai seperti ini. Tapi, aku sedang malas. Moodku tidak bagus. Kemarin, ibuku membawa seseorang ke rumah. Seseorang yang sekiranya akan menggantikan kedudukan ayahku. Aku benci hal seperti ini. Tidak akan ada yang bisa menggantikan kedudukan ayah. Tidak seorang pun.

Aku memilih untuk duduk di pinggir pantai saja, di atas pasir putih ini. Siapa tau akan terjadi sesuatu hal yang bagus dan akan sedikit memperbaiki moodku. Tapi yang kulihat justru gadis itu lagi. Ia sedang berlari-lari dan dengan temannya. Aku berpikir, apa sih enaknya lari-lari terus? Dasar childish. Temannya pergi, kemudian dia berhenti dan menatapku. Kemudian, ia berlari menghampiriku dan menarik tanganku. Aku kaget dan tak sempat menepisnya. Dia bilang tampangku jelek sekali karena selalu saja bersikap dingin. Kemudian ia terus berlari sambil menarik tanganku. Ia juga bilang kalau aku harus lebih santai dan menghargai hidup. Aku tidak berusaha melepaskan genggamannya dan terus mengikuti arah berlarinya karena aku sedang berpikir apakah aku memang seburuk itu? Dia terus mengajakku berlari sambil tertawa-tawa dan berhenti di suatu tempat. Aku bisa merasakan ombak menjilati kakiku. Dia menawarkanku untuk membuang segala bebanku dengan berteriak. Aku mengernyitkan dahi. Dia terlalu sok tahu akan urusanku. Tapi kemudian dia justru mencontohkan cara berteriak untuk melepas semua beban. Oh iya, aku tidak sebodoh itu sampai-sampai aku tidak tahu caranya berteriak. Tak lama kemudian, kami berdua sudah berteriak-teriak adu keras seperti orang gila. Dan benar saja aku merasa sedikit lebih baik. Setelah itu kami duduk dan aku berterima kasih kepadanya. Wajahnya berbinar, seakan-akan dia belum pernah mendengar seseorang mengucapkan terima kasih kepadanya. Kemudian dia tersenyum. Dan, tiba-tiba saja terdengar denting piano di telingaku. Apa ini? Aku segera menangkis dentingan itu dan berdiri untuk kembali ke cottage tempat kelas kami mengadakan acara ini. Dia mengikutiku di belakang, sambil sesekali membungkuk untuk mengambil kerang dan menempelkannya di telinganya. Ada suara laut di dalamnya, katanya.

Kelas dua, kami kembali berada di kelas yang sama. Dia kembali berusaha mengembalikan buku yang waktu itu. Aku kembali menatapnya. Tapi kemudian aku tersenyum dan menerimanya. Benar, aku sedang mencoba untuk berubah. Kurasa aku sudaah bosan dibilang jahat, dingin dan tak punya hati. Tapi bukan hanya itu yang berubah. Satu lagi. Entah mengapa sejak kejadian berteriak di pinggir pantai waktu itu, setiap kali aku melihatnya terdengar denting piano di telingaku. Lama-lama menjadi melodi dan aku mulai terbiasa dengan ini. Terlebih, saat aku meihatnya tersenyum. Seperti potongan lirik lagu yang menggema, tidak hanya di telingaku, tapi juga di kepalaku.

“I didn’t know why, for a long time i thought about how i changed. I think i changed after our meeting. Very, very much. Can you hear this song? You’re too thankful oh baby. You’re too pretty. I can’t take my eyes off you. My eyes see only you. I want to always see just you. Truly, oh baby.”

Akhirnya aku tau apa ini. Panah itu melesat dengan cepat dan tepat ke sisi jantungku yang paling sensitif. Nyeri, tapi nikmat. Pedih, tapi penuh harap. Semua jadi tak enak. Serba gelisah, serba salah. Dan kemudian menjadi puncaknya ketika jam kosong teman sebangkuku menemukan selembar kertas yang berisi tulisanku untuknya, dan kemudian ia membacakannya di depan kelas keras-keras. Ingin kubunuh rasanya dia. Semua anak di kelas menyorakiku. Aku hanya menunduk lemas. Malu setengah mati. Namun, sempat kulirik dia yang mukanya bersemu merah. Salah seorang teman sekelasku bilang bahwa aku terlalu kuno karena masih saja menuliskan semua itu di atas kertas. Tapi kemudian dia, yang mejanya berada di urutan depan, berdiri dan bilang kalau itu sangat manis. Semua anak menyoraki kami. Aku segera bangkit dengan tatapan marah ke arah depan kelas. Anak-anak diam karena aku seperti akan meledak. Aku menatap tajam teman sebangkuku yang masih memegang kertas milikku, dan kemudian kusambar dengan kasar. Aku sedikir bergeser, dan… Kutarik dia yang wajahnya masih bertsemu merah dan kami berlari ke luar kelas diiringin sorakan anak-anak sambil tertawa.

Aku sepertinya terpengaruh oleh sifatnya yang selalu ceria. Perlahan-lahan aku mulai berubah. Aku lebih terbuka dan lebih hangat pada orang lain. Aku pun mulai membiasakan tersenyum, hal yang jarang sekali aku lakukan sejak kepergian ayahku. Tapi sepertinya mata dan senyumnya telah menyihirku. Bahkan aku mulai bisa mengerti dan menerima kehadiran lelaki itu, orang yang akan menemani ibuku di sisa hidupnya. aku sadar, biar bagaimanapun ibuku perlu seseorang yang bisa melindungi dirinya, walaupun ia memiliki dua orang anak laki-laki. Tapi itu tidak sama. Dan biar bagaimanapun, walaupun aku akan memiliki seorang ayah baru, ia tidak akan bisa menggantikan ayah kandungku. Terlebih, begitu aku tau bahwa ibuku masih sangat-sangat mencintai almarhum ayahku. Lagipula laki-laki itu orang yang baik kurasa. Dia tidak keberatan aku masih memanggilnya dengan sebutan “om” walaupun kakakku telah memanggilnya “papa”.

Hari-hariku penuh tawa bersamanya. Namun, tiba-tiba saja itu berakhir. Dia pergi meninggalkanku dan segalanya berakhir. Aku telah berusaha mencegahnya, namun tidak berhasil. Dia berlalu begitu saja tanpa berkata padaku apa alasannya. Aku benar-benar tidak menyangkanya. Aku tidak berhasil mencegahnya. Aku memang lemah. Mungkin hal itu juga yang membuatnya meninggalkanku. Entahlah, yang jelas, yang aku tau dia pergi begitu saja tanpa memedulikanku.

“The name that i once loved, travels further away as i call it. I write down that name, holding back tears. I want to hide it within myself. Please understand the days, when i had no choice but to love you. A love that was never realized, is still love.”

Kami berada dalam jarak yang dekat, namun kami jauh. Aku tak akan lagi mengganggunya, karena memang dia tidak ingin aku berada di dekatnya. Aku cukup memandangnya dari jauh saja. Ya, itu sudah cukup, karena dia tak peduli ada ataupun tidak ada aku di dekatnya. Selepas masa sekolahku berakhir, aku melanjutkan studiku di Australia. Bukan. Bukan karena aku menghindarinya. Sebelum ini pun memang jarak kami sudah sangat jauh. Aku mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di sana dari perusahaan suami ibuku yang baru, yang kini telah kupanggil dengan sebutan “papa”.

Mama, papa baruku, kakakku dan temanku dari kelas satu mengantarku di bandara. Sebentar lagi aku harus pergi dan pesawatku akan segera take off. Sejenak, aku berharap dia ada di sini. Tapi, entah dia tau atau tidak kalau hari ini aku akan pergi. Yah, kalaupun dia tau belum tentu juga dia akan datang ke sini dan mengantarku. Kemungkinannya kecil sekali.

“The feeling of love, which cannot be realized alone, draw near. The yearning for this love i couldn't even begin, only grows bigger. And in a column of my chilled heart, only your scent remains.”

Aku segera memeluk keluarga dan temanku untuk berpamitan. Aku akan pergi jauh, dan mungkin akan memakan waktu cukup lama. Aku pasti merindukan mereka dan negara ini. Saat aku memeluk ibuku, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Seorang gadis. Mungkinkah itu dia? Aku menoleh dan mendapati salah seorang temanku berlari menghampiriku dan memintaku untuk jangan pergi karena mungkin tidak ada waktu lagi.

***

“I turn it back a thousand times, going back to the place I was. Back before a portion of my heart was snatched away from me.”

Ingatan itu kembali menghantuiku. Temanku memintaku untuk jangan pergi karena mungkin tidak ada waktu lagi… untuknya. Ya, untuknya. Inilah alsannya mengapa ia meninggalkanku begitu saja. Dia sudah tidak punya waktu lagi. Aku begitu bodoh. Harusnya aku tau. Harusnya aku ada di sampingnya dan menjaganya di saat-saat terberatnya. Aku sangatlah lemah sehingga aku menerima saja apa yang ia katakan. Mentah-mentah. Dan membiarkannya sendiri menanggungnya.

Dan kini, aku berdiri di depan pusaranya, dengan sebuket mawar merah kesukaannya. Kesukaan seseorang yang sangat berarti bagiku. Ia telah pergi. Meskipun ia begitu dekat, ia tak akan bisa aku miliki. Telah ada yang memilikinya, dan itu bukan aku. Tapi dia akan selalu menempati salah satu ruang terbaik dan terindah dalam hidupku. Sihirnya yang merubah hidupku. Dan air mataku pun menetes, dan lama-lama berubah menjadi dua sungai kecil. Selamat jalan, gadisku yang indah. Aku, Kiandra Annesha Wardhana tidak akan pernah melupakanmu…

“The name that i once loved (that i loved) travels further away as i call it. I write down that name, holding back tears. I want to hide it within myself. Please understand the days when i had no choice but to love you. Even a short love, is still love.”

No comments:

Post a Comment