Sang Joon mengecilkan AC
mobilnya dengan tangan kanan, sementara Adis duduk di sebelahnya dan memandang
keluar lewat jendela.
“Gwaenchana[1]?”
tanya Sang Joon membuat Adis menoleh, “Kalau kau masih tidak enak badan kita
bisa kembali lagi. Belum jauh dari rumah.”
Adis menggeleng dan
tersenyum, “Aku sudah menunggu tiga tahun untuk ini.”
Sang Joon mengangguk
setuju. “Tiga tahun,” ulangnya, “Dan untungnya hari ini tidak ada dua kurcaci
yang mengikuti kita.”
Adis tertawa mendengar
kata-kata Sang Joon tadi. Ia sangat senang Sang Joon telah kembali seperti
dulu. Sang Joon yang baik hati, Sang Joon yang lucu, Sang Joon yang senang
tersenyum dan tertawa. Sang Joon-nya.
Adis merasa senang
sekali. Setelah tiga tahun yang berat dengan adanya masalah dan kesalahpahaman
dengan Sang Joon, kini semuanya sudah selesai. Dan hari ini, mereka akan pergi
ke tempat yang seharusnya mereka kunjungi tiga tahun lalu, N Seoul Tower.
Selama perjalanan,
mereka selalu mengobrol dan tertawa bersama dalam mobil, membicarakan
kenangan-kenangan mereka sejak kecil dan hal-hal lainnya. Sesekali Sang Joon
juga bertanya apakah Adis baik-baik saja.
Setelah sekitar empat
jam perjalanan, akhirnya mereka sampai juga di N Seoul Tower. Adis memayungi
kedua matanya dengan telapak tangan ketika melihat menara komunikasi dan
reservasi dengan beberapa restoran di dalamnya itu. Sang Joon menggandeng Adis
ketika mereka berjalan di Taman N Seoul Tower saat mereka menuju menara
tersebut.
“Kita pasti akan jadi
berita utama di koran-koran besok,” kata Adis menoleh pada Sang Joon.
“Wae?” tanya Sang Joon.
“Karena orang-orang
mengira Big Bang’s TOP sedang jalan-jalan dengan kekasihnya dan mereka
bergandengan tangan di taman N Seoul Tower.”
Sang Joon tertawa, “Ah,
kurae[2]?”
lalu lelaki itu tersenyum nakal dan malah melingkarkan tangannya di bahu Adis.
“Kalau begitu ayo kita buat berita yang lebih besar.”
Adis tertawa mendengar
ucapan Sang Joon yang tersenyum sambil menatap gadis di sebelahnya itu.
Adis menatap takjub
pada ribuan gembok berbagai warna dan ukuran yang terpasang dan menumpuk di pagar
yang mengelilingi teras N Seoul Tower. Ia memang sering melihat pemandangan ini
di drama, internet maupun acara-acara tentang Korea, namun melihat pemandangan
ini secara langsung sensasinya benar-benar berbeda.
Adis berjalan mendekati
pagar yang dipasangi gembok-gembok tadi dan mendapati tulisan-tulisan Hangeul
maupun bahasa lain yang ada di gembok tersebut. Orang Korea memang percaya
bahwa pasangan yang datang, menulis pesan mereka di gembok dan memasangnya
dipagar menara ini, lalu mengunci dan membuang kunci tersebut maka cintanya
akan ikut terkunci seperti gembok tersebut.
Tiba-tiba saja Adis
melihat dua buah gembok berwarna merah muda yang muncul dari sisi kanannya. Ia
menoleh dan mendapati Sang Joon yang mengulurkan dua gembok tersebut sambil
tersenyum.
Adis tersenyum dan mengambil
salah satu gembok tersebut dan Sang Joon memberikan sebuah spidol hitam pada
Adis yang kemudian disambut oleh gadis itu. Gadis itu kemudian menulisi gembok
tersebut dengan spidolnya, begitu juga dengan Sang Joon.
Setelah selesai, Adis
memberikan gemboknya pada Sang Joon yang kemudian mencari celah untuk memasang gembok.
Setelah selesai memasang gembok tersebut, Adis memotret gembok tersebut dengan
instaxnya sebanyak dua kali. Lalu Sang Joon melemparkan kunci gembok tersebut
jauh-jauh ke depan.
“Untuk kamu.” Adis
memberikan selembar foto gembok tersebut pada Sang Joon.
“Hanya gembok?” tanya
Sang Joon, “Kamu tidak ingin berfoto bersamaku?”
Adis tersenyum dan
mendekat ke sebelah Sang Joon. Laki-laki itu mengambil instax dari tangan Adis
dan merangkul gadis itu, lalu mengarahkan instax pada mereka.
“Dua kali,” ujar Adis,
“Untuk kamu dan aku.”
Sang Joon mengangguk
dan memotret
sebanyak dua kali. Adis tersenyum sambil mengibas-ngibaskan foto yang keluar
dari instax tersebut. Ia memberikan satu foto pada Sang Joon, “Ini foto pertama
kita setelah tiga tahun dan juga yang pertama dalam liburan keduaku.”
Sang Joon mengangguk,
“Kamu tahu apa yang salah?”
“Apa?” tanya Adis ingin
tahu.
“Tiga tahun lalu kita
tidak memasang gembok cinta di sini. Karena itu, walaupun hati kita saling
terpaut, tapi kita tidak bisa bersama.”
“Jadi kamu menyalahkan
aku?” Adis menggembungkan pipinya.
Sang Joon menggeleng,
“Apa aku bilang begitu?”
Adis memajukan bibir
bawahnya.
“Tapi mulai sekarang,
cinta kita akan terkunci seperti gembok ini, bukan?” Sang Joon tersenyum dan
menarik tangan Adis.
“Kita mau ke mana?”
“Cable car[3],”
jawab Sang Joon. “Aku ingin membuat banyak memori denganmu. Besok kamu harus
pulang, kan?”
Adis hanya tersenyum
menuruti dan mengikuti laki-laki tersebut. Namun, dalam hati, ia merasa sedih
karena besok ia harus berpisah dengan Sang Joon. Sang Joon yang selama tiga
tahun ini ingin sekali ia temui. Sang Joon yang baru saja kembali menjadi Sang
Joon-nya, dan harus ia tinggalkan lagi besok.
₪ ₪ ₪
Adis memainkan Joona,
gitarnya yang berwarna cokelat susu sambil bersandar pada sisi tempat tidurnya.
Ia memang sengaja menamakan gitar yang dimilikinya sejak kelas 2 SMP itu
seperti nama panggilan Sang Joon. Gadis itu memandang ke luar, ke langit yang
malam ini penuh dengan bintang dari pintu kaca kamarnya yang terbuka menuju
balkon.
Sudah lima bulan sejak
ia berpisah dengan Sang Joon di Bandara Internasional Incheon. Tidak seperti
tiga tahun sebelumnya, sejak perpisahan kali ini mereka sering sekali
berkomunikasi. Entah lewat telepon, email, sms ataupun chatting. Namun Adis
merasa ada yang kurang. Ia ingin bertemu dengan laki-laki itu. Atau minimal
memandangnya, meski dari kejauhan. Tapi kemudian gadis itu tertawa. Ia tidak
mungkin bisa hanya memandang Sang Joon dari kejauan, pikirnya. Ia pasti akan
berlari menghampiri dan memeluk laki-laki itu.
Adis kembali
memetik-metik Joona saat pintu kamarnya diketuk. Mamanya kemudian muncul dari
balik pintu dan membuat Adis terkesiap.
“Mama…” katanya, “Ada
apa, ma?”
Mama Adis tersenyum dan
duduk di tepi tempat tidur, di dekat Adis yang duduk di karpet merah dekat
tempat tidur di kamarnya. “Kenapa? Mama nggak boleh ketemu sama putri mama?”
Adis tertawa, “Ya bukan
begitu, ma.”
Mama Adis tersenyum,
lalu mengusap kepala putrinya tersebut, “Kamu kedatangan tamu, tuh, sayang.”
“Tamu?” kening Adis
berkerut. Sudah jam sembilan malam, batinnya. Siapa yang mencarinya malam-malam
begini?
Saat mamanya mengangkat
kedua bahunya, tiba-tiba Bi Inah muncul dari balik pintu kamar Adis yang
terbuka. “Cowok, mbak. Tinggi, putih, guanteng pokoknya.” Bi Inah mengacungkan
ibu jari kanannya.
Alis Adis terangkat
sebelah. Namun sejurus kemudian ia memutuskan untuk menaruh Joona di atas
tempat tidurnya dan bangkit menuju ruang tamu untuk melihat siapa yang dimaksud
mamanya dan Bi Inah.
Adis menuruni tangga
dengan cepat dan tidak menemukan siapa-siapa di ruang tamu. Keningnya berkerut.
Ia kemudian berjalan menuju halaman belakang. Di sana ia menemukan papanya
sedang mengobrol dengan seorang laki-laki yang sedang duduk menghadap ke arah
air mancur yang ada di halaman, dan membelakangi dirinya.
“Ah. itu dia.” papa
Adis menunjuk Adis ketika melihat kehadiran putrinya itu.
Laki-laki dengan kemeja
flannel biru yang lengannya digulung itu pun menoleh ke arah Adis, lalu
tersenyum dan bangkit berdiri.
Adis terbelalak tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia terpaku dengan mulut yang setengah
terbuka.
“Om tinggal dulu, ya.”
papa Adis bangun dan disambut anggukan dan senyuman kepala oleh laki-laki
tersebut.
Adis tidak percaya ini.
Rambut itu, mata itu, tinggi badan itu, senyum itu. Orang yang begitu dirindukannya
kini ada di hadapannya dan sedang tersenyum padanya. Sang Joon-nya datang
menghampirinya di sini, di Jakarta. Adis tidak dapat berkata-kata dan hampir saja
menangis, sementara laki-laki itu masih tersenyum melihat Adis.
“Annyeong, nae sarang[4]…”
ujarnya.END_
No comments:
Post a Comment