Pukul enam pagi. Adis
berjalan menuruni tangga sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia
masih mengantuk karena baru bisa tidur pukul dua malam. Kemudian ia mengambil
gelas dari lemari di dapur dan membuka kulkas untuk mengambil air putih. Ia
memang sudah cukup hapal seluk beluk rumah ini karena sepertinya Tante Lidya
tidak mengubah posisi perabotannya sejak tiga tahun lalu.
Adis menuangkan air
dingin dalam botol ke dalam gelasnya sampai setengah, lalu meneguknya. Walaupun
masih pagi, namun karena ini adalah musim panas maka udara pun sudah terasa
agak panas. Ia menaruh kembali botol air dingin tersebut ke dalam kulkas dan
menutup kulkas tersebut. Ia kemudian kembali meneguk air di dalam gelas yang
dipegangnya sambil berdiri di meja dapur, dan menaruh gelas itu di atasnya.
Saat Adis sedang
menggaruk-garuk tengkuknya, Sang Joon terlihat berjalan ke arah dapur dan ia
berhenti ketika melihat Adis ada di situ. Adis pun melakukan hal yang sama. Ia
segera menurunkan tangannya.
Sang Joon menatap Adis
selama beberapa detik, kemudian ia berjalan menuju wastafel untuk mencuci
tangannya setelah sebelumnya meletakkan skipping
rope atau alat yang digunakan untuk olah raga lompat tali di meja dekat
gelas Adis diletakkan. Tanpa disadari, Adis memperhatikan Sang Joon. Laki-laki
itu menggunakan celana pendek di bawah lutut berwarna abu-abu dan kaus putih
tanpa lengan dan juga sneakers. Badannya terlihat berkeringat.
Dia sudah lompat tali
sepagi ini? batin Adis. Ia memperhatikan skipping rope yang diletakkan Sang
Joon di dekat gelasnya. Sang Joon sendiri saat ini sedang meneguk segelas air
yang diambilnya dari dispenser. Ia tidak meminum air dingin seperti Adis.
“Mwo[1]?”
tanya Sang Joon menangkap tatapan Adis.
Adis menggeleng,
“Nggak. Cuma… Kamu udah olah raga jam segini?”
Sang Joon melirik Adis
selagi meneguk kembali air dalam gelasnya, “Kelihatannya?” ujarnya kemudian.
Adis mengangguk, “Iya…”
Sang Joon hanya terdiam
menatap Adis. Adis sendiri jadi gelagapan dan menunduk. Tatapan Sang Joon masih
setajam dulu. Matanya memang tidak sebesar milik Adis, namun tatapannya terasa
mematikan karena dipadukan dengan alisnya yang tebal.
“Sang Joon-ah…” Adis
memberanikan diri dan kembali menegakkan kepalanya, “Kamu… masih marah?”
Sang Joon menoleh dan
mengernyitkan keningnya, lalu tertawa.
“Sang Joon-ah…”
“Wae?” tawa Sang Joon
tiba-tiba lenyap, “Kau ingin tahu? Kenapa baru sekarang kau tanyakan padaku?”
“Sang Joon-ah…” kata
Adis kemudian, “Kita… teman… kan?”
Kening Sang Joon
kembali berkerut. Setelah terdiam selama beberapa lama, ia berjalan menghampiri
Adis sambil masih memegang gelas di tangan kanannya, “Teman?”
Adis mengangguk dan
memberanikan diri menatap Sang Joon yang kini berdiri di hadapannya.
Sang Joon mendekatkan
wajahnya pada wajah Adis, “Urineun… chinguga doel su eobtda.[2]”
Kemudian ia kembali berdiri tegak dan berjalan meninggalkan Adis dan menaiki
tangga menuju kamarnya.
₪ ₪ ₪
Pukul tujuh pagi, Adis
telah duduk di ruang makan bersama Om Yong Joon, Tante Lidya dan juga Sang
Joon. Menu sarapan pagi itu adalah nasi goreng seafood. Tante Lidya memang
sudah biasa menyajikan sarapan ala Indonesia pada keluarganya, seperti nasi
goreng. Namun, terkadang Tante Lidya juga membuat roti panggang ataupun pancake
sebagai menu sarapan.
Om Yong Joon duduk di
kursi utama di tengah-tengah meja makan, sementara Tante Lidya duduk di sebelah
kanannya. Adis duduk di sebelah kiri Om Yong Joon, sementara Sang Joon sendiri
memilih duduk di sebelah ibunya. Adis mengira bahwa Sang Joon sengaja duduk di
sebelah ibunya agar Adis tidak duduk di sebelahnya. Sepertinya begitu.
Adis memperhatikan Sang
Joon yang makan dengan tenang menggunakan sendok dan garpu. Ia tidak
mengucapkan sepatah kata pun walaupun Tante Lidya dan Om Yong Joon suka sekali
mengobrol saat makan. Sesekali mereka juga bertanya pada Adis.
Joon-ah, kamu kenapa?
batin Adis. Tiga tahun lalu kamu tidak seperti ini. Bahkan tadi pagi kamu bilang
kalau kita tidak bisa menjadi teman. Sepertinya kamu masih marah.
“Ah, Dis, hari ini kamu
rencananya mau ke mana?” ucap Tante Lidya tiba-tiba, mengejutkan Adis yang
sedang melamun. Om Yong Joon terlihat mengangguk-angguk dan Sang Joon melirik
sekilas ke arah ibunya lalu pada Adis.
“Emm… belum tahu,
tante.” jawab Adis tersenyum.
“Nanti kalau kamu mau
pergi jalan-jalan, bilang ya, Dis.” ujar Tante Lidya lagi, “Biar nanti Sang
Joon yang antar.”
Sang Joon yang sedang
meneguk segelas air langsung terbatuk-baruk. Tante Lidya segera menepuk-nepuk
punggung putranya dengan lembut. “Wae? Kenapa kamu sampai batuk-batuk begini?”
Sang Joon masih
terbatuk-batuk, namun ia mengibas-kibaskan tangannya sebagai tanda ia tidak
apa-apa. “Anniyo, gwaenchanayo,[3]”
ucapnya kemudian.
“Jom[4],
bagaimana kalau hari ini kamu ikut tante belanja, sayang?” Tante Lidya kembali
pada Adis setelah yakin putranya tidak apa-apa. “Kebetulan tante harus belanja
persediaan di rumah.”
Adis yang masih kaget
dengan kejadian tadi cukup kaget dengan pertanyaan Tante Lidya tadi, “Eh? Ah,
iya, tante. Tentu saja.”
Tante Lidya tersenyum,
sementara Om Yong Joon mengangguk-angguk, “Keurae[5],
om tidak bisa ikut menemani kalian. Sedang ada proyek yang harus segera
diselesaikan.” Om Yong Joon memang seorang arsitek. Salah satu yang paling
terkenal di Korea Selatan.
“Ne[6],”
Tante Lidya membenarkan, “Jadi Sang Joon yang akan menemani kita berdua.”
ujarnya sambil menaruh gelas setelah meminum air putih di dalamnya.
Adis melirik Sang Joon
yang sedang menoleh ke arah ibunya dan memasang tampang protes. Tante Lidya
sendiri mengatupkan mulutnya, dan matanya membulat seraya mengangkat kedua
bahunya, seakan-akan bertanya, “Memangnya kenapa?”
₪ ₪ ₪
Adis baru saja menuruni
tangga setelah mengambil tas selempang berwarna kremnya saat menemukan Sang
Joon yang terlihat seperti sedang mendebat ibunya di ruang tamu rumahnya. Adis
berhenti di anak tangga ketiga dari bawah dan berlindung di balik dinding
rumah. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan mereka, namun ia jadi merasa
tidak enak sebab karena dirinyalah Sang Joon jadi berdebat dengan ibunya.
Sesekali ia mengintip dari balik dinding. Ia bisa melihat punggung Sang Joon
dari situ.
“Eomma[7],”
ucap Sang Joon, “Kenapa aku harus ikut mengantar kalian berbelanja?”
“Wae?” tanya Tante
Lidya sambil mengerutkan kening.
“Eomma sengaja
melakukan ini?”
“Sengaja? Apa maksudmu?
Bukankah kalian memang dekat tiga tahun lalu saat dia datang ke sini?”
“Ne,” jawab Sang Joon,
“Hajiman[8],
itu tiga tahun lalu. Sekarang…”
“Sekarang apa?” potong
Tante Lidya. “Bahkan dari kecil kalian sudah dekat, kan?”
Sang Joon tampak tidak
bisa menjawab pertanyaan ibunya. Mulutnya terbuka, namun tidak ada kata-kata
yang keluar dari sana. Tidak terdengar suara beratnya.
“Mwo?”
“Eomma… Chebalyo[9]…”
“Joon-ah…” ucap Tante
Lidya kemudian dengan suara lembut.
Sang Joon terdiam,
menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh ibunya. Berharap ibunya
mengalah dan membiarkannya untuk tidak ikut menemani beliau dan Adis
berbelanja.
“Cepat siapkan
mobilnya. Kita berangkat sekarang.” ujar Tante Lidya kemudian, menghancurkan harapan
Sang Joon.
Sang Joon menarik
napas, lalu memejamkan mata dan kemudian menghembuskan napas. “Keuraeyo[10]…”
ia pun menyerah. Ia tahu bahwa ia tidak akan menang melawan ibunya untuk yang
satu ini. Hal yang sama juga terjadi kemarin, saat ibunya menyeretnya ikut ke
Bandara Internasional Incheon.
Sang Joon berbalik dan
mengambil kunci mobil yang tergeletak di dekat televisi 64 inch mereka.
Kemudian ia berjalan keluar menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir,
dan berhenti ketika ia mendapati Adis sedang berdiri di tangga balik dinding.
Ia menatap Adis yang menunduk selama beberapa saat, kemudian kembali berjalan
untuk menyalakan mobilnya.
Adis menelan ludah,
merasa tidak enak dengan kejadian ini. Namun, di satu sisi ia bertanya-tanya
mengapa sikap Sang Joon berubah sekali padanya. Mungkin Sang Joon masih marah,
pikirnya. Wajar saja jika dia begitu. Tapi tiga tahun bukanlah waktu yang
pendek.
₪ ₪ ₪
Tempat belanja yang
dituju oleh Tante Lidya adalah L Mart, di Wonnae-dong, distrik Yuseong. Tante
Lidya berkata bahwa sebaiknya berbelanja seminggu sekali, agar barang yang
dibeli juga tidak terlalu lama disimpan, terutama seperti daging ataupun
seafood.
Adis berjalan sambil
mendorong trolley di sebelah Tante Lidya yang sedang memperhatikan
barang-barang di bagian makanan beku, sedangkan Sang Joon berjalan di belakang
mereka sambil kedua tangannya dimasukkan ke saku delana jeansnya. Walaupun
Tante Lidya tidak begitu suka makanan beku, namun di freezernya beliau selalu
menyediakan makanan beku sebagai persediaan atau jaga-jaga.
Selagi mendorong
trolley, Adis memutar pandangannya ke sudut-sudut tempat belanja tersebut.
Tidak jauh beda dengan yang di Indonesia, batinnya.
“Sang Joon-ah…” panggil
Tante Lidya mengagetkan Adis. Ia pun segera menoleh.
“Waeyo?” tanya Sang
Joon.
“Kenapa kamu berjalan
di belakang?” tanya Tante Lidya, “Seharusnya kamu yang mendorong trolley nya.”
“Eh, tidak apa-apa,
tante. Adis aja.” kata Adis buru-buru.
“Anni[11],
biar Sang Joon saja yang mendorongnya.”
“Naega waeyo[12]?”
“Ya, i namja[13]…”
kata Tante Lidya, “Anni, i aegi[14]…
nappeun aegi[15].”
Tante Lidya menghapiri Sang Joon kemudian menjewer telinganya.
“Eomma, ige mwoya[16]?
Malu dilihat orang.” Sang Joon berusaha melepaskan jeweran Tante Lidya. “Naega
aegi anniyo[17].”
ujar Sang Joon akhirnya berhasil melepaskan diri.
“Kurae, kalau kau
memang bukan bayi, maka kau yang harus mendorong trolley nya.” ucap Tante Lidya
kesal, “Kau kan laki-laki, kenapa perempuan yang melakukannya?”
Sang Joon mengusap-usap
telinga kanannya yang dijewer oleh Tante Lidya ketika ia melihat Adis tertawa
melihat tingkah ia dan ibunya. Adis sendiri langsung mengatupkan mulutnya
ketika mengkap tatapan Sang Joon dan langsung membalikkan badannya dan kembali
memegang trolley, bermaksud mendorongnya.
Sang Joon segera
berjalan menghampiri Adis dan memegang trolley itu. “Biar aku saja.” ucapnya
sambil mengambil alih trolley itu, dan mendorongnya. Adis tertinggal di
belakangnya. Tante Lidya menghampiri Adis dan bertanya tentang pasta jenis apa
yang disukai olehnya. Kebetulan mereka sedang menuju ke rak berisi pasta.
Sang Joon-ah… batin
Adis. Ia melirik Sang Joon dan melanjutkan memilih pasta dengan Tante Lidya.
Sang Joon berhenti dan
memperhatikan mamanya dan Adis. Kedua tangannya memegang trolley, dan kemudian
ia teringat sesuatu. Dulu ia dan Adis sering bermain trolley ketika menemani
mamanya berbelanja. Biasanya mereka akan memegang sebuah trolley berdua, dan
mengayuhnya bersamaan. Seperti main kereta luncur, kata Adis saat itu. Dan
gadis itu tertawa gembira. Seperti apa yang baru ia saksikan. Gadis itu tertawa
dan entah kenapa Sang Joon merasa mata gadis itu sangat indah ketika ia
tertawa, seakan-akan matanya juga ikut tertawa.
I
love your eyes[18],
batin Sang Joon. Tapi kemudian Sang Joon segera menggeleng-gelengkan kepala dan
memukul-mukulnya. Adis dan Tante Lidya menoleh kebingungan atas apa yang
dilakukan oleh Sang Joon. Sang Joon yang menyadari tatapan bingung dua wanita
yang ada di dekatnya langsung berhenti dan berdeham.
Adis kembali tertawa
melihat kelakuan Sang Joon. Mungkin laki-laki itu belum sepenuhnya berubah.
Ekor mata Sang Joon menangkap Adis yang tengah tertawa. Tanpa disadarinya ujung
bibirnya ikut terangkat, walau hanya sedikit.
₪ ₪ ₪
Selesai berbelanja,
Tante Lidya mengajak Adis dan Sang Joon untuk makan siang di salah satu
restoran yang menyajikan makanan organik, yang ada di dekat swalayan tersebut.
Setelah itu, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah. Tante Lidya memaksa
untuk duduk di jok belakang sedang milik Sang Joon dengan alasan ingin
memeriksa belanjaannya hari itu. Dengan begitu, maka Adis harus duduk di jok
depan, di sebelah Sang Joon. Sang Joon sendiri tampak tidak senang dengan keputusan
ibunya tersebut. Namun, ia diam saja dan mengendarai mobil dengan tenang.
Eomma tidak biasanya
begini, batinnya. Namun belakangan ini ia menjadi aneh, terutama sejak
kedatangan gadis ini.
“Sang Joon-ah…” panggil
Tante Lidya dari jok belakang. Sang Joon pun menoleh. “Nyalakan radionya.”
Sang Joon menyalakan
radio mobilnya dan mencari-cari frekuensi yang bagus. Ia berhenti di satu
frekuensi dan tiba-tiba saja tiga detik kemudian penyiar radio tersebut memutar
Love Song milik Big Bang.
“Love song anniya.[19]
Seulpeun norae.[20]”
ujar Tante Lidya mengomentari lagu itu. Walaupun sudah berusia lebih dari empat
puluh tahun, tapi Tante Lidya tahu jenis-jenis lagu seperti ini. Mungkin
membantu beliau dalam menjalankan profesinya, yaitu seorang editor di salah
satu majalah terkenal di Korea.
Adis menoleh ke arah
belakang. Sebenarnya ia tidak merasa nyaman untuk duduk di sebelah Sang Joon.
Ia merasa laki-laki itu sekarang tidak menyukainya, kedatangannya. Tapi ia juga
tidak bisa menolak keinginan Tante Lidya. Ditambah, lagu yang mengalun dari
radio mobil Sang Joon terasa menusuk.
“Dis, kamu tahu?” ujar
Tante Lidya lagi saat Adis sudah berbalik dan menatap lurus jalanan di
depannya. “Dulu Sang Joon sering sekali memutar lagu-lagu sejenis ini.”
Adis menoleh lagi pada
Tante Lidya.
“Sejak kamu pulang tiga
tahun lalu, dia sering sekali memutar lagu-lagu seperti ini. Sedih.” tambah
Tante Lidya.
“Eomma,” ujar Sang Joon
sambil melirik ibunya dari kaca spion.
“Wae? Memang benar kan?
Neorago, Without You, Haru Haru, Café, Love Song, My All is in You[21].
Kau sering sekali memutar lagu-lagu seperti itu, kan?”
Sang Joon akhirnya
memilih untuk diam, sementara ibunya tersenyum senang. Percuma, pikirnya. Jika
terus diladeni ibunya itu akan semakin menjadi dan membuka semuanya di depan gadis
satu ini. Ia terus menyetir dengan tatapan lurus ke depan, tanpa menoleh
ataupun melirik sama sekali.
Adis sendiri hanya tersenyum simpul pada Tante
Lidya dan kemudian menunduk. Merasa tidak nyaman, dan tidak enak pada Sang
Joon. Apa benar Sang Joon sampai seperti itu? Apakah kesalahannya pada
laki-laki itu sebegitu besarnya?
[1]Apa?
[2]Kita… tidak bisa menjadi teman.
[3]Tidak apa-apa. Aku baik-baik
saja.
[4]Jadi.
[5]Benar.
[6]Iya/Benar.
[7]Panggilan untuk ibu.
[8]Tetapi.
[9]Tolong/Aku mohon.
[10]Baiklah.
[11]Tidak.
[12]Kenapa aku?
[13]Hei, laki-laki ini.
[14]Tidak, bayi/anak ini.
[15]Bayi/anak nakal.
[16]Ibu, apa-apaan ini?
[17]Aku bukan bayi/anak-anak.
[18]Aku suka matamu.
[19]Ini bukan Love Song.
[20]Ini lagu yang sedih.
[21]Neorago (It’s you) adalah lagu
dari Super Junior, Without You dari 2PM dan Haru Haru, Café dan Love Song
adalah lagu dari Big Bang.
No comments:
Post a Comment