gue mau ngepost cerita nih. fresh from the oven, walau ide nya udah ada dari kemarin heheheh
ini based on lagunya mr. kwon ji yong atau g dragon hehehe. dia baru ngeluarin lagu baru, judulnya keu saekki atau that bast*rd kemarin.
enak banget lagunya, dan ternyata liriknya jleb hahahah
jujur nih, jujur. gue juga pernah kok ngalamin hal kayak gitu, walaupun ada beberapa yang beda. tapi intinya sama dan gue bisa ngerasain juga hahaha
apalagi tadi pas buka twitter ada yang "mengganggu" hahaha
bukan, bukan sama lawan jenis kok, tapi sama salah satu temen gue hehehehe. makin kena lah lagu ini. sama kok initinya: being ignored and forgotten hehehehe
makanya dari lagu ini gue kembangin aja liriknya. dikit sih. plotnya ya sama aja kayak liriknya yang dinyanyiin si "Gue" pake gitar itu
mudah-mudahan jadinya bagus yaa hehehehe
okeh ini langsung diliat aja yaa hehehehe
“I
hate that you don’t understand me… I hate all this waiting…”
Gue membenarkan posisi handycam berwarna
hitam yang disangga oleh tripod di dalam kamar gue, dan sekali lagi melihat
lewat layar lcd nya, apakah sudah benar dan tidak miring lagi. Yap, sudah
benar. Gue pun memijat tombol record dan segera duduk pinggir tempat tidur
berseprai cokelat susu gue, dan tersenyum ke arah handycam.
Jujur, walaupun saat ini gue tersenyum
dan melambaikan tangan ke handycam, sebenarnya gue bingung. Gue lantas menelan
ludah dan melirik frame foto di meja kecil panjang di belakang tripod yang
menyangga handycam yang tengah merekam gue.
Gue tersenyum kecil, namun entah kenapa
terasa pedih. Pedih melihat foto kami berdua. Dia cinta pertama gue. Kami
memang sudah bersama sejak kecil. Simpel, orang tua kami sahabatan dan
kebetulan rumah kami berdekatan. Jadi, sejak kecil kami berdua sudah sering
main bersama. We kept each other. Dan
entah sejak kapan gue jatuh cinta ke dia. Yang jelas, rasa itu ada begitu saja.
Begitu tiba-tiba dan tidak direncanakan, namun sudah mengakar di hati gue yang
juga sudah berubah warna menjadi biru.
Orang bilang, cinta pertama itu begitu
indah dan tidak bisa terlupakan. Apalagi bagi seorang lelaki, seperti gue. Mungkin
itu benar. Tapi bagi gue pribadi hal itu tidak seratus persen benar. Cinta pertama
gue memang indah, gue akui itu. Sampai pada saat dia memilih si Brengsek itu
untuk ada di sampingnya. Ya, Brengsek. Kenapa gue sebut laki-laki itu brengsek?
Simpel, karena emang dia brengsek.
“When
you speak of him, you look so happy… It’s good that you can be this happy. I’m
happy…”
Yep, tiap kali dia berbicara tentang
pacarnya yang brengsek itu, dia terlihat begitu bahagia. Gue pribadi senang
karena dia bisa sebahagia itu. Tapi di satu sisi gue merasa sakit. Kenapa dia
bisa begitu bodoh dengan memilih si Brengsek itu untuk ada di sampingnya.
Kenapa bukan gue? Atau kalaupun bukan gue, paling tidak dia memilih laki-laki
yang benar-benar tulus menyayanginya.
“Walking
on the street, I bumped into your man (Yeah I saw him)… I didn’t want to
believe it, but my hunch turned out right (I told you)… He’s not wearing that
ring you gave him, there’s another girl by his side…”
Gue benar-benar marah tiap kali gue
inget kejadian itu. Dan ini salah satu alasan kenapa gue memanggil pacarnya
dengan sebutan si Brengsek. Gue melihat dengan mata dan kepala gue sendiri
kalau si Brengsek itu pergi dengan seorang perempuan. Awalnya gue mencoba
berpikir positif kalau itu adiknya, atau sepupunya atau siapapun itu yang masih
berhubungan saudara dengannya. Tapi gesture mereka tidak menunjukkan hal itu.
Yep, sudah dipastikan si Brengsek itu selingkuh di belakang dia. Mungkin kalau
tidak dihalangi oleh Mama, si Brengsek itu sudah gue hajar.
Entah berapa kali gue bilang ke dia
tentang hal ini. Dia justru marah ke gue dan bilang kalau pacarnya bukan lelaki
seperti itu. Gue tertawa dan mencibir, memang pacarnya bukan lelaki seperti
itu. Bukan lelaki yang seperti dia bayangkan, yang baik hati, setia, tulus,
penyayang dan perhatian. Ingatkah dia berapa malam minggu yang dia habiskan
bersama gue dengan menonton dvd karena si Brengsek pergi dengan Mamanya?
Alasan! Pergi dengan Mamanya di malam minggu. Hah!
Dan kadang gue merasa lelah dengan semua
ini. Bukan, bukan karena gue harus menghabiskan malam minggu bersamanya. Itu salah satu keinginan gue sebenarnya. Tapi gue juga kasihan padanya. Serba salah. Gue lelah karena dia tidak pernah bisa mengerti gue. Tidak mau mempercayai
kata-kata gue. Kami sudah bersama sejak di taman kanak-kanak, dan dia lebih
percaya pada pacarnya dibandingkan gue yang sudah enam belas tahun ini bersama
dia. She trusts him completely. Great! I don’t know what to say no more.
Bukan sekali atau dua kali dia lari ke
dalam pelukan gue dan menitikkan air mata. Entah sudah berapa kali si Brengsek
itu menyakitinya. Berulang kali gue meminta, bahkan memohon, agar dia
mengakhiri semuanya. Tapi hanya dengan sebuket bunga mawar berwarna putih dan
tampang sedih dan menyesal, si Brengsek itu memohon maaf darinya. Dan berhasil?
Tentu saja. Orang bilang cinta itu buta. And
she’s completely blind. Bahkan teman-temannya juga tahu siapa si Brengsek
itu sebenarnya. Sudah sangat jelas, tapi entah kenapa dia sama sekali dia tidak
bisa melihatnya.
Memuakkan rasanya melihat si Brengsek
itu berakting polos, tersenyum munafik dan membelai rambutnya. Gue tahu, yang
ada di pikiran si Brengsek itu bukan dia, tapi gadis lain. Laki-laki itu sama
sekali tidak mencintainya. Tapi dia juga sudah begitu buta. Cinta memang
membuat orang menjadi buta kan? Semua orang tahu kalau gue tidak bisa menjadi
sekedar sahabat dengannya. Hanya dia seorang yang tidak menyadarinya. Apa? Apa
yang si Brengsek itu punya, dan gue tidak punya? Berapa lama lagi dia harus
menjalani ini semua dan mempertahankan kebodohannya?
Gue mengakhiri pikiran-pikiran gue tadi dan juga kalimat yang sedari tadi
mengalir dan terekam oleh handycam di depan gue, dengan senyuman. Senyuman
perpisahan bisa dibilang. Karena itu gue menambahkan sebuah lambaian ke
handycam itu. Lalu gue bangkit dan memijit tombol di handycam itu dan
mematikannya, lalu mengeluarkan kasetnya. Gue memandang kaset itu selama
beberapa detik, sebelum akhirnya gue memasukkannya ke dalam casenya dan
memasukkannya lagi ke dalam sebuah amplop cokelat dan melemparnya sembarangan
ke atas kasur.
Gue berjalan menuju jendela kamar dan
berdiri di depannya sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana selama
beberapa lama. Matahari sudah hampir tenggelam. Sinarnya pun masuk ke dalam kamar gue melalui jendela kamar gue itu. Gue kembali memandang frame
itu. Frame yang memajang foto gue dan dia berangkulan dengan menggunakan
seragam saat kelulusan SMA. Sudah empat tahun sejak foto itu diambil. Gue tertawa getir. Gue sudah
berusaha agar dia mau membagi rasa sakitnya, gue sudah berusaha memberinya
kebahagiaan sebanyak rasa sakit yang dia rasakan. Tapi rasanya semua sia-sia.
Gue tidak ada artinya dibandingkan si Brengsek itu.
Gue menunduk selama beberapa detik dan
menggoyangkan kaki kiri gue ke depan dan kebelakang, sebelum akhirnya gue
kembali memandang ke arah jendela kamar. Jika dia tidak mau mengakhirinya, maka
gue yang akan mengakhirinya. Selama ini gue berusaha setia dengan perasaan gue
ke dia. Gue melakukan apa saja, dan berulang kali terjatuh ke dalam lubang yang
sama. Keledai dibilang bodoh karena terjatuh ke dalam lubang yang sama berulang
kali. Jadi setia dan bodoh itu bisa dibilang berbeda tipis, jika tidak mau
dibilang sama. Dan gue akan mengakhiri kesetiaan, atau mungkin kebodohan gue,
entahlah, ke dia. Sudah cukup.
Gue kemudian berbalik dan meraih Melvin,
gitar gue yang berwarna cokelat susu, yang tergeletak di atas kasur. Gue duduk
di sisi tempat tidur yang menghadap ke jendela dan mulai memetik-metik senar
Melvin.
“Walking on the street, I bumped into your
man (Yeah I saw him)
I
didn’t want to believe it, but my hunch turned out right (I told you)
He’s
not wearing that ring you gave him, there’s another girl by his side
But
I’ve said enough (I don’t wanna hurt you)
Now
you’re getting angry with me (Why?)
You
say “He’s definitely not that kind of person” (Sure you’re right)
Seeing
your eyes, I reply that I probably got it wrong
See,
I lied for you (I’m sorry)
I
hate that you don’t understand me
I
hate all this waiting
Let
go of his hand (break it off with him)
When
you’re sad, I feel like I’m dying
That
bast*rd, what does he have that I don’t
Why
can’t I have you
That
bast*rd doesn’t love you
How
much longer are you going to cry yourself silly?
When
you speak of him, you look so happy (you look happy)
It’s
good that you can be this happy (I’m happy)
You
say you really love him, want to be with him forever
You
trust him completely (I don’t know what to say no more)
Your
friends all know that guy (yup they know)
It’s
so obvious, why can’t you see (it’s you)
They
say love is blind, Oh baby, you’re so blind
Please,
I beg you, break it off
Oh
I hate that you don’t understand me
I
hate all this waiting
Let
go of his hand (break it off with him)
When
you’re sad, I feel like I’m dying
That
bast*rd, what does he have that I don’t
Why
can’t I have you
That
bast*rd doesn’t love you
How
much longer are you going to cry yourself silly?
Expensive
cars, beautiful clothes, high-class restaurants, they all suit you well
But
that bast*rd beside you, he doesn’t suit you, he really doesn’t
He
smiles like a hypocrite with you, brushing your face and hair
But
he’s thinking of another woman for sure, how dare he
The
amount of tears you’ve cried, I want to make you happy by the same amount, baby
Rather
than going through the pain alone, share some with me, baby
Please
look at me, why can’t you realize that I am your love
Why
are you the only one who doesn’t know
That
bast*rd, what does he have that I don’t
Why
can’t I have you
That
bast*rd doesn’t love you
How
much longer are you going to cry yourself silly?
That
bast*rd, what does he have that I don’t
Why
can’t I have you
That
bast*rd doesn’t love you
How
much longer are you going to cry yourself silly?””
Gue menghela napas dan menengadahkan
kepala gue menatap langit-langit kamar. Tidak mudah memang melepaskan perasaan
yang sudah mengakar dan membuat hati gue biru selama bertahun-tahun. Tapi gue
sudah bosan. Bosan dan lelah dengan semua ini. Bodoh dan setia sudah tidak ada
bedanya, baik bagi gue ataupun dia. Dan ketika kaset yang berisikan rekaman gue
tadi sampai di tangannya, gue pasti sudah terbang jauh. I have to wake up. I have to get up. Gue pasti bisa melupakan dia.
Tidak. Bukan melupakan dia. Tapi melupakan perasaan yang pernah gue punya buat
dia.
Gue pun bangkit menuju meja tempat frame foto itu berada, memandangnya selama beberapa saat and then i flip it vertically. Wajahnya tidak lagi terlihat.
Goodbye
love, you gotta be happy. Me too. I deserve to be happy…
No comments:
Post a Comment