terus gue inget temen gue ada yang minta gue buat nulis lagi, jadi gue posting di sini aja deh biar dia bisa baca hehehe...
setting cerita nya di Daejeon. kenapa Daejeon? Kenapa gak Seoul kayak yang biasanya?
Nah, justru itu. udah biasa kalo pake setting di Seoul hahaha
selain itu, waktu bikin ini gue lagi hopeless karena belum dapet sponsor buat conference ke Daejeon. jadi gue pikir, kalopun gue gak ke sana, paling gak gue punya cerita yang setting nya di sana hahaha
tapi alhamdulillah, berhasil juga ke Daejeon hehehe
so, please kindly check this out XD
Chapter 1
Adis membuka matanya
dan melepaskan headphone berwarna putih dari kedua telinganya. Ia menoleh ke
arah jendela dan menghembuskan napas. Lalu ia mematikan iPod yang ia nyalakan
dari tadi, lalu memasukkannya ke dalam ranselnya bersama dengan headphone yang
telah dulu dilepaskannya. Ia menoleh pada laki-laki muda yang selama tujuh jam
ini duduk di sampingnya, dan menemukan orang itu sedang memandanginya sambil
tersenyum.
“Is this your first time?” tanyanya.
Adis tersenyum sambil
mengangguk, “Nope,”
jawabnya. Lalu ia segera menoleh ke arah jendela lagi sebelum laki-laki itu
melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Bukannya tidak ramah, tapi ia
malas dengan orang yang sedari awal perjalanan ini sering sekali memandanginya
sambil tersenyum. Lagipula ia sudah sering menjawab pertanyaan-pertanyaan orang
itu sejak awal. Pertanyaan yang selalu menggunakan hahasa Inggris, padahal
jelas-jelas ia adalah orang Indonesia. Namanya pun Aditya. Bukan apa-apa, tapi
kalau orang Indonesia lebih suka berbicara dengan bahasa lain pada orang
Indonesia lainnya, menurut Adis hal itu kurang nasionalis. Kecuali ia berbicara
dengan orang asing.
Kemudian Adis mengalihkan
perhatiannya pada seorang pramugari berseragam biru yang sedang berbicara di
dekat pintu ruang pilot sambil menggunakan pengeras suara. Pramugari itu
mengatakan bahwa sebentar lagi pesawat yang mereka tumpangi akan mendarat.
“We’ll be arrived soon,”
kata Aditya lagi sambil tersenyum.
Adis hanya mengangguk
dan kembali menatap lurus ke depan.
“Jadi kamu mau ke
mana?” tanya Aditya lagi.
Adis kembali menoleh.
cukup kaget juga akhirnya laki-laki ini berbicara menggunakan bahasa Indonesia
juga. “Maksudnya?”
“Maksudku…” Aditya
tersenyum dan mengubah posisi duduknya menghadap Adis, walaupun tidak bisa
benar-benar menghadap ke arah Adis karena ia menggunakan sabuk pengaman.
“Tujuan kamu ke mana? Seoul? Aku mau ke Seoul. Kita bisa bareng-bareng. I’ll become your guide.”
ujarnya antusias.
Aku? batin Adis, kapan
gue jadi deket sama dia sampe dia pake kata “aku”? Dan gue udah bilang kan, ini
bukan yang pertama kalinya gue ke sini? “Terima kasih, tapi saya ke Daejeon.”
jawab Adis.
“Ah, unfortunately…
sayang sekali…” Aditnya menggeleng kecewa. “Mungkin lain kali kita bisa janjian
untuk…”
Adis kemudian
membungkuk untuk mengambil buku yang sengaja ia jatuhkan dari dalm tasnya. Hal
itu juga yang membuat Aditnya berhenti berbicara. Gue juga tau kali, kalo
unfortunately artinya sayang sekali, batin Adis. Lalu ia terjembab ke depan dan
kepalanya membentur kursi di depannya. “Ah,” ucap Adis sambil menegakkan
duduknya dan mengusap-usap kepalanya.
“Kamu nggak apa-apa?
Aku panggilin…” ujar Aditya.
“Gak, nggak apa-apa
kok. Gak perlu panggil siapa-siapa.” ujar Adis sambil masih mengusap-usap
kepalanya.
“Are you sure?”
tanya Adit lagi.
“Iya, iya. Gak apa-apa.
Makasih.” ucap Adis.
₪ ₪ ₪
Adis telah berada di
Bandara Internasional Incheon. Setelah turun dari pesawat, ia berusaha sebaik
mungkin untuk jauh-jauh dari laki-laki menyebalkan bernama Aditya yang selama
tujuh jam perjalanannya dari Bandara Soekartno-Hatta duduk di sampingnya dan
bertingkah menyebalkan. Setelah lolos dari karantina di mana suhu tubuhnya
diperiksa, ia menaiki tangga shuttle yang membawanya menuju bangunan utama
bandara itu. Kemudian ia menuju ke bagian imigrasi dan pengambilan bagasi dan pabean. Lalu ia
berjalan menuju lobi kedatangan.
Ia masih merasa tidak
nyaman dengan semua ini. Mamanya yang memaksanya untuk berlibur di Korea -
tepatnya di Daejeon - di tempat sahabatnya yang menikah dengan seorang warga
negara Korea, perjalanan tujuh jam di sebelah Aditya, dan terantuk kursi. Tapi
ia harus datang. Harus.
Sambil berjalan, Adis
memperhatikan lobi kedatangan yang ada di depannya. Lobi tersebut masih tampak
sangat cantik, tinggi dengan disangga oleh tiang-tiang emas yang menyangga
atapnya. Belakangan ini Adis sering mendengar cerita teman-temannya yang
berlibur ke Korea Selatan tentang kemegahan bandara ini, dan sekarang ia
membuktikannya lagi bahwa pesona bandara ini tidak berkurang sama sekali. Masih
seperti dulu, dan bahkan pelayanannya makin baik. Terdapat baja-baja kokoh yang
menjadi rangka atapnya, garis atap tersebut berbentuk seperti kuil dan terdapat
museum kebudayaan di lantai empat yang di dalamnya terdapat benda-benda
bersejarah peninggalan kerajaan-kerajaan kuno Korea. Adis sendiri menatap
dengan takjub sambil menggeret kopernya ke lobi kedatangan, sampai ia menemukan
sebuah kertas seukuran A3 berwarna putih yang di atasnya terdapat tulisan
“ADISTYA FROM JAKARTA” di sana.
Adis segera berjalan
menghampiri orang yang memegang kertas bertuliskan namanya, yang pastinya
adalah Tante Lidya, sahabat mamanya yang akan menjemputnya. Tapi ia salah.
Begitu ia mendongak, ia mendapatkan bahwa si pemegang kertas itu bukanlah Tante
Lidya, melainkan seorang lelaki muda dan bertubuh menjulang yang menggunakan
celana jeans dan polo shirt warna biru dongker dengan garis horizontal berwarna
putih. Rambutnya hitam dipotong pendek dengan gaya dandy wolf cut. Adis terpana
memandang laki-laki yang juga tengah memandanginya dengan wajah datar. Alisnya
tebal dan matanya tajam.
“Adiiiisss?” tiba-tiba
suara seorang wanita membuyarkan pandangan mereka. Keduanya menoleh ke sumber suara.
“Ya ampuuuun, kamu makin cantik ya sekarang.”
Adis tersenyum ke arah
wanita paruh baya tersebut, yang pastinya adalah tante Lidya. “Terima kasih,
tante.” Adis segera mengambil tangan kanan Tante Lidya dan menciumnya. “Tante
apa kabar? Makasih banyak udah mau nerima Adis lagi buat liburan di sini.”
“Baik, sayang.” jawab
Tante Lidya ramah. “Ah, nggak masalah kok. Lagian tante juga seneng ada kamu
datang buat liburan ke sini.”
Adis tersenyum. Tapi
dalam hatinya ia membatin, kata mama Tante Lidya aja yang mau jemput. Kenapa
dia juga datang? Aku kan…
“Kamu masih ingat kan
dengan Sang Joon?” ujar Tante Lidya sambil menepuk bahu laki-laki yang tadi
membawa kertas bertuliskan namanya.
Adis tersenyum dan
mengulurkan tangannya, “Apa kabar?” ujarnya.
Sang Joon tidak segera
menyambut uluran tangan Adis, melainkan menatapnya lurus selama beberapa saat.
Adis sendiri terlihat kikuk, sementara Tante Lidya memperhatikan Sang Joon.
“Kami biasa membungkuk
sebelum mengulurkan tangan.” suara berat laki-laki itu akhirnya keluar, masih
dengan tatapan lurus dan tajamnya. Sang Joon tidak membalas uluran tangan Adis
dan tidak juga tersenyum.
“Ah, ayo kita jalan.
Sang Joon membawa mobil ke sini,” ujar Tante Lidya berusaha mencairkan suasana.
Adis tersenyum, sementara Sang Joon segera balik badan menuju pintu keluar dan
berjalan ke arah lapangan parkir. Adis dan Tante Lidya mengikuti dari belakang.
Selama berjalan, Adis
menatap punggung Sang Joon. Selama tujuh jam ini ia memang sangat terganggu
dengan Aditya yang mengganggunya dengan rentetan pertanyaan dan tatapan serta
senyum menyebalkan dan baru berhenti ketika Adis memejamkan matanya. Ia ingin
ketenangan, namun tidak seperti sikap Sang Joon juga. Laki-laki itu benar-benar
kaku dan dingin. Bahkan ia tidak menawarkan untuk membawa koper Adis. Sama
sekali tidak gentle. Padahal mereka baru bertemu kembali setelah tiga tahun.
₪ ₪ ₪
Adis duduk di jok
belakang sedan berwarna hitam mengilap yang dikemudikan oleh Sang Joon,
sementara Tante Lidya duduk di jok kanan di sebelah putranya. Mobil-mobil di
Korea memang menggunakan setir kiri, tidak seperti Indonesia yang menggunakan
setir kanan. Adis memutar-mutar jam tangan berwarna hitamnya untuk menyamakan
waktu. Korea memiliki waktu dua jam lebih cepat dari Jakarta. Kemudian ia
memasangnya lagi di tangan kanannya. Sang Joon melirik apa yang dilakukan oleh
Adis dari spion depannya.
Adis menoleh ke arah
jendela dan walaupun ini bukan yang pertama kalinya, sekali lagi ia takjub akan
pemadangan yang dilihatnya. Gedung-gedung pencakar langit yang tinggi dan
teratur, dan juga lingkungan yang bersih. Pukul tujuh, dan langit di sini belum
gelap seperti di Jakarta. Mungkin karena pengaruh musim panas di bulan Juli
ini. Mobil yang dikendarai Sang Joon meluncur melalui jalan tol yang megah, dan
sepertinya tidak pernah ada kemacetan di sana. Tidak seperti di Indonesia, di
jalan tol pun bisa terjadi kemacetan. Adis melihat sebuah billboard iklan
sebuah kamera ternama di kejauan dengan model Big Bang, sebuah boyband
kenaamaan Korea. Adis tersenyum melihatnya, dan ia menoleh ke belakang ketika
sedan yang dikendarai Sang Joon telah melewati billboard itu.
“Pemandangannya bagus,
kan?” ucap Tante Lidya tiba-tiba, membuat Adis memutar badannya ke sisi semula.
Adis tersenyum dan
mengangguk. “Iya, tante.”
“Aaaahh, Tante ada
ide.” Tante Lidya tiba-tiba menjentikkan jarinya setelah terdian beberapa lama
dan disambut oleh kerutan kening putranya sambil menoleh. Adis sendiri kaget
dengan apa yang dilakukan oleh Tante Lidya “Bagaimana kalau kita jalan-jalan
dulu? Mumpung masih di Seoul nih.”
“Sirhyeoyo (tidak mau).”
jawab Sang Joon cepat.
“WAEEEEEE (kenapa)?”
tanya Tante Lidya dengan suara yang cukup keras.
“Pigonhanyo (aku lelah),”
jawab Sang Joon singkat. “Aku juga yakin tamu kita lelah setelah tujuh jam
terbang.” Sang Joon menatap lurus ke depan sambil terus menyetir.
Adis sendiri segera
menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata, berpura-pura tertidur sebelum Tante
Lidya menoleh padanya. Ia malas jika Tante Lidya dan Sang Joon sampai
bertengkar karena masalah jalan-jalan yang melibatkan dirinya. Jika ia
tertidur, maka mobil yang dikendarai Sang Joon akan terus melaju menuju Distrik
Daedok di Daejeon, kota terbesar kelima di Korea Selatan.
“Keutjyo (betul)…”
ujar Tante Lidya saat menoleh ke arah Adis dan menemukan gadis itu telah
tertidur.
Sang Joon melirik Adis
yang tertidur dari kaca spion, lalu kembali menatap lurus ke depan.
₪ ₪ ₪
Adis terbangun tepat
ketika mobil yang dikendarai Sang Joon masuk ke dalam halaman rumahnya di
Daekdo. Sang Joon memarkir mobilnya di depan garasi karena di dalam garasi
telah terparkir dengan manis mobil milik ayahnya, Park Yong Joon. Atau Adis biasa
memanggilnya dengan om Yong Joon.
Adis
menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengembalikan kesadarannya. Tidak
disangka, ternyata ia benar-benar tertidur padahal awalnya ia hanya
berpura-pura untuk tertidur. Dan tidak tanggung-tanggung, hampir selama empat
jam! Tante Lidya membereskan tasnya dan menyuruh Adis segera keluar. Adis
sendiri mencari-cari ranselnya yang tidak terlihat di jok. Mungkin terjatuh.
Setelah menemukannya, ia segera membereskan rambutnya yang berantakan dan
keluar dari mobil mengikuti Tante Lidya.
Sang Joon segera keluar
dari mobil setelah mematikan mesin, lalu memencet remot mobilnya dan bagasi
mobil itupun terbuka. Ia mengambil koper milik Adis dan menaruhnya di tanah,
lalu kembali memencet tombol remot untuk mengunci mobilnya. Ia segera masuk ke
dalam rumahnya dan melewati Tante Lidya, dan Om Yong Joon yang sudah berdiri di
dekat mobil sedan itu.
“Sang Joon-ah… eoddie
ga (Sang Joon... kau mau ke mana)?”
tanya Om Yong Joon sambil menoleh mengikuti gerakan Sang Joon, “Kenapa koper
Adis tidak kau bawa?”
“Sirhyeoyo.” jawab Sang
Joon masih sambil berjalan. “She has two
arms and two legs, indeed. Biarkan dia membawanya sendiri.”
“Ya! Sang Joon-ah!”
panggil Om Yong Joon lagi.
Setelah berkata bahwa
dirinya tidak apa-apa membawa sendiri kopernya, Adis segera mengambil dan
menggeret kopernya dan menghampiri Om Yong Joon dan mencium tangannya, “Apa
kabar, om?”
“Ah, baik-baik. Kamu
baik juga kan?” jawab Om Yong Joon. Sama seperti Tante Lidya, suami dan putra
satu-satunya juga bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga sudah biasa dengan
budaya Indonesia, seperti mencium tangan orang yang lebih tua.
Adis tersenyum dan
mengangguk, “Baik, Om. Salam dari mama.”
Om Sang Joon tersenyum.
Lalu beliau dan Tante Lidya mengajak Adis untuk masuk ke dalam rumah mereka
yang besar dan bertingkat dua itu.
₪ ₪ ₪
Setelah makan malam,
yang sebenarnya sudah terlambat, yaitu pada pukul sebelas malam, Adis menaiki
tangga rumah dan masuk ke dalam kamar yang akan digunakannya selama dua minggu
di sini. Ia menggenggam kenop pintu kamarnya dan menoleh ke kanan, melihat
pintu kamar sebelah dengan gantungan pintu bertuliskan Hangeul. 박상준 (Park Sang Joon). Adis menelan ludah dan segera masuk ke dalam kamarnya.
Ia duduk di pinggir
tempat tidur dan menatap koper besar berwarna hitamnya di dekat lemari.
Kemudian ia bangkit menuju jendela kaca besar, membukanya dan berjalan ke arah
balkon. Ia menatap lurus ke arah rumput halaman yang hijau selama beberapa lama
dan menghela napas.
Dia tidak ikut makan,
batin Adis. Padahal menu makan malam tadi adalah jeongol (Sejenis
sup yang direbus dalam panci besar dan berisi daging dan seafood),
dan itu adalah salah satu makanan kesukaannya. Ia juga belum makan, kan? Apa
dia begitu membenciku?
Adis menghela napas
kembali, lalu berbalik menuju kamar dan membuka kopernya, lalu memasukkan
pakaiannya ke dalam lemari. Setelah itu, ia masuk ke dalam kamar mandi,
menggosok gigi dan mencuci tangan dan kakinya lalu segera berbaring di atas
tempat tidur. Ia memejamkan matanya, namun pikirannya tidak bisa tertidur.
₪ ₪ ₪
Sang Joon sendiri
langsung masuk ke kamarnya setelah memarkir mobil tadi dan tidak ikut makan
malam bersama kedua orang tuanya dan juga Adis. Ia lantas mencuci kakinya di
kamar mandi dan membarinfkan tubuhnya di atas kasurnya yang bersprai cokelat susu
dengan motif sulur-sulur pohon. Ia memejamkan matanya sejenak dan pikirannya
berputar.
“Wae?” gumamnya,
“Kenapa kau harus kembali?”
Kemudian ia membalikkan
badannya, dan membenamkan wajahnya ke bantal selama beberapa saat, lalu
mengambil ponselnya dan kembali terlentang. Di bibirnya tersungging senyum
kecil. Namun kemudian ia menghela napas dan membanting ponselnya ke kasurnya,
lalu menutup kedua matanya dengan lengannya. Ia pun tertidur selama beberapa
saat.
Sang Joon mengerjapkan
matanya dan kemudian duduk di tepi ranjangnya. Ia mengambil jam beker yang ada
di meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Masih tengah malam, batinnya. Lantas
ia bangkit dan membuka jendela kaca besar yang ada di kamarnya, lalu bersandar
di sisi sebelah kanannya.
Sang Joon melipat kedua
tangannya di atas dada sambil menatap lagit malam yang cerah, walaupun tidak
terlalu banyak bintang di sana. Ia menoleh ke kiri dan mendapati Adis sedang
berdiri sambil bersandar di pagar balkon kamar sebelah. Gadis itu diam menatap
lurus rumput-rumput taman. Sang Joon memperhatikan gadis itu selama beberapa
saat.
Dia masih sama, batin
Sang Joon. Rambutnya masih dibiarkan pendek sebahu dan masih senang menggunakan
jeans dan kaus oblong. Anni, yeppeojyeotda (tidak, dia terlihat lebih cantik). Mungkin dia sedikit bertambah tinggi dibandingkan tiga tahun lalu. Dan apa
mungkin dia…
Tiba-tiba Adis bangkit
dan berbalik masuk ke kamar, dan hal itu mengejutkan Sang Joon. Ia langsung
melepaskan kedua tangannya yang terlipat. Ekor matanya mengikuti gerakan Adis.
Setelah gadis itu masuk ke dalam kamarnya, ia kembali bersandar pada sisi
jendela sebelah kanan dan menatap langit.
Kemudian ia masuk ke
dalam kamar, dan membuka laci meja kecil yang ada di samping tempat tidurnya.
Ia mengambil sebuah bingkai foto dan memandanginya selama beberapa saat.
“Oraenmaniya (sudah lama kita tidak bertemu),”
ujarnya sambil menatap bingkai foto di tangan kanannya, “mot bon sai geudaen
eolkuri chowa boyeo (sepertinya kau baik-baik saja sejak terakhir kita bertemu).”
Setelah mengatakan hal tersebut, Sang Joon
kembali memasukkannya lagi ke dalam laci dan menutup laci itu dengan cukup
kencang. Lantas ia membaringkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan mata.
No comments:
Post a Comment