Tepat satu minggu Adis
di Daejeon, ia pergi mengunjungi Gunung Manin di Hasodong, Dong-gu. Seperti
biasa, Sang Joon yang menemaninya. Pil Seong juga ikut, begitu juga dengan Min
Ah yang memaksa ikut.
Walaupun ini pertama
kalinya Adis mengunjungi Gunung Manin, suasana hatinya hari ini sedang tidak
baik, karena Min Ah makin menjadi-jadi. Kemarin, saat mereka pergi ke Aqua
World di Daesa-dong, Jung-gu, ia terus-terusan menempel pada Sang Joon dan
bahkan memeluk laki-laki itu dari belakang dan tidak mau melepaskannya. Jujur,
Adis tidak suka melihatnya. Ditambah, gadis itu kembali mengucapkan kalimat
yang tiga tahun lalu diucapkannya pada Adis.
Dan pagi ini, saat mereka
sampai di Gunung Manin, Min Ah kembali mendekati Adis yang sedang menghirup
udara segar dan membentangkan kedua tangannya.
“Kau ingat kata-kataku
kemarin, kan?” ujar Min Ah yang membuat Adis menoleh, “Sang Joon oppa milikku.
Jangan kau coba untuk mencari celah di antara kami.”
Adis tertawa seperti kemarin.
Namun, kali ini ia sedikit mengejek Min Ah, “Oh ya? Tapi aku tidak lihat ada
tulisan di keningnya yang mengatakan dia milikmu.”
Min Ah tersenyum
menyebalkan, “Tapi kau bisa lihat kalau kami berpelukan sejak kemarin, bukan?”
lalu Min Ah pergi begitu saja sebelum Adis kembali membuka mulutnya.
Adis benar-benar kesal.
Jelas-jelas gadis itu yang terus-terusan memeluk Sang Joon dari belakang. Ia
lantas mengusap-usap dadanya dan menarik napas panjang.
“Wae keurae?” Pil Seong
menghampiri Adis, “Apa yang ia bilang padamu?”
Adis hanya menggeleng
dan terdiam selama beberapa saat. “Pil Seong-ah, ayo kita naik sepeda. Kudengar
di sini kita bisa berkeliling dengan bersepeda?” Adis langsung menarik tangan
Pil Seong menuju tempat penyewaan sepeda, mendahului Sang Joon yang telah
berjalan lebih dahulu.
Mata Sang Joon melebar
melihat hal itu. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Adis dan Pil Seong
menjadi dekat seperti itu. Dan mata Sang Joon bertambah besar ketika melihat
Pil Seong dan Adis menyewa satu sepeda saja. Itu artinya Pil Seong yang akan
memboncengi Adis. Mulut Sang Joon terbuka.
Kim Pil Seong, apa yang
kau… batin Sang Joon.
Tapi terlambat, Pil
Seong dan Adis sudah bersepeda dengan kedua tangan Adis memegang erat pinggang
Pil Seong. Dan tiba-tiba saja Min Ah menarik tangan Sang Joon sambil berteriak
minta naik sepeda seperti Pil Seong.
Gunung Manin memang
sangat indah dan Pemerintah Daejeon menyulapnya menjadi salah satu tujuan
rekreasi keluarga, lengkap dengan sarana pembelajaran berupa Green Learning
Center, piknik maupun kamping. Terdapat lembah Bongsuremigol, dan dari sinilah
aliran Dejeoncheon, salahs atu sungai besar di Daejeon, berasal.
Pil Seong dan Adis
melewati sebuah area hijau dengan patung-patung batu, dan berhenti di depannya.
Terdapat enam patung batu kecil yang tersambung mengelilingi sebuah batu yang
cukup lebar di tengahnya. Di depan batu-batu tersebut terdapat patung batu
berbentuk seperti kura-kura dan di atasnya terdapat patung batu besar dan
tinggi.
“Ini… kuburan?” tanya
Adis.
Pil Seong mengangkat
bahunya, “Molla…”
Adis tertawa dan
mendorong bahu Pil Seong dari belakang, “Kau kan orang Daejeon.”
“Apa karena aku orang
Daejeon, aku pasti tau? Aku juga belum pernah ke sini.” jawab Pil Seong sambil
tertawa.
Sang Joon lalu melewati
mereka sambil berdeham. Min Ah yang duduk di boncengan sepeda Sang Joon
melambai-lambai pada Pil Seong dan Adis dengan tampang menyebalkan, yang
menurutnya pasti imut.
Pil Seong kemudian
mengayuh kembali sepedanya dan melewati sebuah danau dengan air mancur di
tengahnya. Adis terkesima melihat danau dan air mancur itu. Gadis itu kemudian
menunjuk pembatas batu dan bangunan seperti cottage di dekat danau itu.
“Neomu areumdaun.”
ujar Pil Seong. “Tidak perlu ke mana-mana, cukup di Daejeon!” ujarnya senang.
Ucapan Pil Seong
tersebut kemudian membuat Adis teringat sesuatu, “Ah iya, kau gagal pergi ke
London bersama Sang Joon, bukan?”
“London?” Pil Seong
sedikit menoleh pada Adis sambil mengayuh sepedanya.
Adis mengangguk, “Iya,
London. Bukankah kau dan teman-temanmu yang lain, termasuk Sang Joon berencana
untuk liburan ke London? Namun sayangnya gagal.”
Pil Seong tertawa,
“Anni. Sama sekali tidak ada rencana untuk liburan ke London.”
Kening Adis berkerut.
Ia masih ingat Sang Joon marah-marah padanya di Eunhaeng-dong waktu itu dan
berkata bahwa Adis telah membuat rencana liburan ke Londonnya gagal. Apa
berarti… Sang Joon telah berbohong?
“Ah, jembatan tali!”
seru Pil Seong membuyarkan pikiran Adis. Ia kemudian mengayuh kayu menuju jembatan tali yang di bawahnya dipasang
jarring pengaman tersebut, memarkirnya dan mengajak Adis untuk menyebrang
melalui jembatan tersebut.
Selama menyeberangi
jembatan, pikiran Adis tidak luput dari perkataan Pil Seong tadi. Jadi Sang
Joon berbohong padanya? Tapi kenapa? Walaupun ia tidak suka menemani Adis,
kenapa tidak bilang langsung dan harus berbohong? Karena lamunannya tersebut,
Adis tergelincir dan hampir terjatuh. Untung saja Pil Seong menangkapnya, dan
memegang bahunya. Laki-laki itu tersenyum manis.
“Sebaiknya kita kembali
lagi,” ucapnya setelah menanyakan apa Adis baik-baik saja, “Kalau kita sampai
seberang, bagaimana dengan sepeda yang kita sewa?”
Adis mengangguk, dan
mereka kembali lagi ke ujung tempat Pil Seong memarkir sepeda. Laki-laki itu
menggandeng tangan Adis agar gadis itu tidak lagi tergelincir.
“Wasseo,”
ucap Pil Seong dan ketika ia menegakkan kepalanya, ia mendapati Sang Joon
berdiri di hadapannya dengan wajah kakunya. Matanya melebar yang menunjukkan
bahwa ia sedang marah. “Oh ow…” ucap Pil Seong.
“Seong-ah, apa yang kau
lakukan?” tanya Sang Joon dengan suara bergetar.
Pil Seong
menggaruk-garuk kepalanya, “Joon-ah…”
Sang Joon menatap Pil
Seong lurus, “Kita perlu bicara.”
Adis menatap Sang Joon
dan Pil Seong bergantian, lalu ia maju dan menarik tangan Sang Joon menjauh,
“Kita yang perlu bicara.”
Sang Joon kaget atas
sikap Adis, “Mwoya?”
tanyanya bingung, “Kenapa kamu…”
“Aku yang harusnya
bertanya ke kamu.” Adis menyentakkan tangan Sang Joon, “Kenapa kamu bohong?”
“Bohong apa?”
“London. Nggak ada
acara liburan ke London, kan? Kenapa kamu bohong? Kalau kamu memang nggak mau
menemani aku, kamu tinggal bilang! Nggak perlu bohong!”
Sang Joon membuka
mulutnya, “Aku…”
“Apa?” tanya Adis. “Aku
tahu, kamu nggak suka sama aku. Aku juga nggak ngerti kamu kenapa. Kenapa kamu
jadi beda sekarang. Aku…”
“Bukan begitu.” potong
Sang Joon.
“Kamu juga sengaja,
mesra-mesraan dengan Min Ah?”
“Mwo?” Sang Joon tampak
bingung, “Siapa yang…?”
“Kamu!”
“Aku? Bukannya kamu?
Kamu sengaja kan pegang-pegangan tangan dengan Pil Seong? Kamu mau buat aku
marah?”
“Siapa yang…?”
“Kamu!” balas Sang
Joon. “Kalau kamu mau buat aku marah, selamat kalau begitu. Aku marah.”
“Kamu yang bikin aku
marah!” kata Adis sengit.
“Kamu juga bikin aku
marah!” balas Sang Joon tidak kalah sengit.
“Ya sudah! Mulai
sekarang kita jalan sendiri-sendiri!”
“Baik!”
Adis menggembungkan
pipinya. Tangannya terkepal, dan ia segera membalikkan badannya dan berjalan
menjauh. “Jangan ikutin atau cari aku!” Adis membalikkan badannya.
“Tidak akan!” Sang Joon
ikut berbalik dan berjalan menuju sepedanya diparkir dekat Pil Seong dan Min
Ah.
“Ya, neo.”
ujar Pil Seong saat Sang Joon mendekat, “Kenapa dia berjalan ke sana?”
“Biarkan saja.”
Pil Seong tampak
bingung, namun kemudian ia memutuskan untuk menyusul Adis. Tapi Sang Joon
menahannya. “Neo micheosseo?
Dia bisa tersesat!” ujar Pil Seong.
Sang Joon menatap Pil
Seong datar dan tajam, “Biarkan dia.”
“Joon-ah…”
“Biarkan dia!” Sang Joon
terlihat marah. Pil Seong terkesima. Sang Joon sendiri kemudian langsung naik
ke sepedanya dan mengayuhnya pergi, tidak memedulikan Min Ah yang merengek
ingin ikut. Ia semakin menjauh dengan sepedanya.
Pil Seong bingung
dengan apa yang terjadi dengan Sang Joon dan Adis. Tapi mereka memang terlihat
bertengkar tadi. Tapi lamunan Pil Seong tidaklah lama karena saat ini Min Ah
sedang menatapnya dengan wajah ingin menangis, yang Pil Seong yakin
dibuat-buat.
“Mwo? Kau pulang saja
sendiri.” Pil Seong segera naik ke sepeda dan mengayuhnya.
“Ya! Kim Pil Seong!”
jerit Min Ah sambil menghentakkan kakinya ke tanah. “Neo micheosseo? Kenapa kau
meninggalkan gadis secantik aku sendirian?”
₪ ₪ ₪
Adis berjalan tak tentu
arah menyusuri hijau pepohonan. Ia masih sangat marah dengan Sang Joon, dengan apa yang
dikatakan dan dilakukan olehnya. “Mwo? Aku sengaja bermesraan dengan Pil
Seong?” ucapnya, “Bukannya dia yang sengaja dan diam saja ketika gadis itu
dekat-dekat dengannya, menggandengnya, merangkulnya? Lalu dia menyalahkan aku?
Lalu untuk apa dia bohong tentang London? Kenapa dia tidak langsung bilang
kalau tidak suka aku datang, tidak suka mengantarku. Kenapa bohong?
“Dan dia bilang dia
marah. Karena aku sengaja berpegangan tangan dengan Pil Seong? Apa dia tidak
lihat kalau Pil Seong hanya membantuku agar tidak jatuh? Dia bahkan sudah marah
sejak awal. Tidak, bahkan sejak tiga tahun lalu. Dan itu hanya karena kami
tidak jadi pergi ke N Seoul Tower karena aku bertemu dengan Arya di sini, dan
akhirnya pergi ke Dunsan Grand Park. Tapi dia juga ikut, kan? Dan aku juga
sudah minta maaf, kan? Dan sampai tiga tahun di masih…. Aaaaarrrrhhh!”
Adis menyentakkan
kakinya dan tergelincir jatuh. Kesakitan, ia mengusap-usap kedua kakinya. Ia
terdiam sebentar dan teringat tentang Arya. Ia pernah bertengkar juga dengan
Sang Joon karena Arya. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ia mengedarkan
pandangannya dan sadar bahwa ia tersesat dan tidak tahu ada di mana. Langit
juga terlihat gelap. Sepertinya akan hujan. Gadis itu kemudian segera bangun
dan mencari jalan keluar. Paling tidak ia bisa keluar dari pepohonan dan sampai
di tempat ia sampai tadi.
₪ ₪ ₪
Pil Seong mengejar Sang
Joon yang sedang berjalan ke lapangan parkir. Laki-laki itu menggapai lengan
Sang Joon dan membalikkan badan sahabatnya itu.
“Joon-ah,” panggilnya,
“Neo micheosseo?”
Sang Joon mengerutkan keningnya
lalu menyentakkan tangan Pil Seong dan menatap sahabatnya itu tajam, “Kubilang
biarkan saja dia sendiri. Lagipula dia bilang ingin berjalan masing-masing
bukan?”
“Tapi bagaimana jika
dia tersesat? Dia belum pernah ke sini sebelumnya dan…”
“Seong-ah,” potong Sang
Joon, “Apa kau begitu peduli padanya?”
Kening Pil Seong
berkerut, “Mwo?” Pil Seong bingung dengan apa yang dikatakan Sang Joon. Tapi
kemudian ia tertawa mengejek dan bertolak pinggang, “Ne, aku peduli padanya. Aku
kasihan padanya karena kau seperti ini. Kau tau, aku bahkan sengaja
mendekatinya agar kau bereaksi. Agar kau tidak lagi memaksakan diri bersikap
dingin lagi padanya. Tapi apa?”
Sang Joon terbelalak.
“Mwo?”
“Joon-ah, tidak bisakah
kau melihat bahwa dia marah karena diam saja ketika Min Ah bergelayutan padamu?
Apa kau buta? Dan sekarang kau membiarkannya pergi sendiri? Neo micheosseo?
Bagaimana kalau dia…”
Pil Seong belum
menyelesaikan kalimatnya ketika Sang Joon segera berlari menuju mobilnya dan
membuka pintu untuk mengambil senter. Kemudian ia berbalik dan berlari menuju
Gunung Manin.
Pil Seong tercengang
selama beberapa saat, tapi kemudian ia tersenyum dan mengepalkan tangan dan
mengangkatnya, “Hwaiting!”
₪ ₪ ₪
Adis memutar
pandangannya, dan membalik badannya, mencoba untuk mencari jalan keluar. Ini di
mana? batinnya. Apa dari tadi aku hanya berputar-putar? Bagaimana ini? Kenapa
aku tidak bisa menemukan jalan?
Adis mengeluarkan
ponsel dari dalam saku celana jeans nya. Tidak ada sinyal dan baterainya
sekarat. Adis sudah ingin menangis rasanya. Tapi ia berusaha menenangkan
dirinya dan mengingat-ingat jalan yang ia lewati. Ia berputar dan menjulurkan
telunjuknya, serta melongok ke celah pepohonan. Namun sayangnya ia tidak
mengingatnya sama sekali.
Kenapa? Bukankah
seharusnya tidak sulit untuk menemukan jalan? batinnya. Kenapa aku tidak bisa
menemukannya?
Langit yang mendung
kini sudah meneteskan rintik-rintik airnya yang makin lama makin besar, yang
diselingi dengan suara petir. Adis menengadah dan semakin ingin menangis. Ia
kembali melihat ponselnya untuk mencari sinyal, namun ponselnya justru mati.
Kemudian ia melihat gantungan Taeyang di sana. Akhirnya dua sungai kecil pun
mengalir dari kedua matanya.
Joon-ah…, batinnya. Aku
takut…
₪ ₪ ₪
Sang Joon berlari
menyusuri jalanan dan pepohonan di Gunung Manin sambil mengutuki dirinya. Hujan
makin lama makin deras, sementara sampai saat ini ia belum juga menemukan
tanda-tanda keberadaan Adis. Sang Joon menyorotkan senternya pada pepohonan yang
ada di sekitarnya, mencoba mencari Adis. Ia sangat khawatir dan merasa sangat
bodoh karena membiarkan Adis pergi sendirian seperti itu. Bagaimana jika ia
kenapa-napa? batinnya.
Sudah satu jam Sang
Joon mencari Adis dan belum juga menemukan gadis itu. Ia berkali-kali berteriak
memanggil nama gadis itu, namun tidak ada jawaban. Akhirnya iya merasa lelah
dan menopangkan kedua tangan ke lututnya dan terengah-engah.
Bagaimana ini? Kenapa
aku belum menemukannya? batin Sang Joon. Bagaimana jika aku tidak bisa
melihatnya lagi? Ya Tuhan… apa yang telah kulakukan?
Sang Joon kembali
menegakkan tubuhnya dan kembali mencari Adis. Tak berapa lama ia melihat kaus
yang digunakan Adis. Ia berlari menghampiri kaus tersebut. Matanya terbelalak
melihat Adis bersandar dan menggigil pada sebuah pohon.
“Adis,” panggil Sang
Joon sambil merengkuh Adis, “Kamu tidak apa-apa?” Namun Adis terlihat sangat
lemah. “Dis,” ulang Sang Joon sambil menggoyangkan tubuh Adis, namun tidak ada
jawaban.
₪ ₪ ₪
Adis berjalan di sebuah
halaman hijau dengan taman bunga di sisi kanan dan sebuah pohohon rindang. Di
bawah pohon itu terdapat seorang anak perempuan yang sedang menggendong sebuah
boneka beruang, dan seorang anak laki-laki sedang menggambar dengan krayonnya.
Entah mengapa, mereka tampak familiar bagi Adis.
“Kamu lagi gambar apa?”
tanya si anak perempuan.
“Ini gambar rumah kita
nanti,” jawab si anak laki-laki, “Aku gambar taman bunga yang bagus untuk
kamu.”
Ucapan si anak
laki-laki membuat anak perempuan yang duduk di sampingnya tersenyum senang.
Adis pun tersenyum mendengarnya. Ia melongok ke gambar si anak laki-laki dan
terpana. Anak laki-laki itu menggambar sebuah rumah dengan dua orang di
depannya, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Tapi yang membuat Adis
terkejut adalah, di bawah gambar itu terdapat tulisan “Rumah Sang Joon dan
Adis”. Adis kembali melihat kedua anak yang tengah tertawa itu. Berarti mereka
itu… batin Adis.
Lalu tiba-tiba halaman
hijau tersebut berubah menjadi sebuah ruangan dengan banyak orang di sana.
Sepertinya ini bandara. Dan di hadapan Adis berdiri dua keluarga, dan seorang
anak perempuan yang berusia sekitar sepuluh tahun tengah menangis.
“Jangan pergi…” isak
anak itu.
“Kita pasti bertemu
lagi. Nanti kita buat rumah seperti di gambar, ya.” ujar anak laki-laki sebaya
yang ada di hadapan anak perempuan itu.
Adis membelalakkan
matanya. Ia ingat kejadian ini. Ini adalah saat Sang Joon harus pindah ke Korea
saat mereka masih berusia sepuluh tahun. Dan Adis ingat delapan tahun kemudian
ia datang pertama kalinya ke Korea untuk menemui Sang Joon.
Adis berbalik dan
tiba-tiba saja di depannya berkelebat perjalanan pertamanya ke Korea. Saat ia
sampai di Bandara Internasional Incheon dan disambut dengan senyuman oleh Sang
Joon, saat mereka pergi berjalan-jalan ke Eunhaeng-dong, Expo Park di
Yuseong-gu, , Min Ah yang berkata bahwa Sang Joon adalah miliknya, pertemuan
tiba-tiba dengan Arya yang berakhir di Dunsan Grand Park dan ketika Sang Joon
mengantarnya pulang di Bandara Internasional Incheon tanpa senyum sama sekali.
Adis kembali teringat
bahwa Sang Joon marah karena menurutnya Adis lebih memilih Arya dibandingkan
dengan dirinya. Adis ingat saat itu ia lebih memilih pergi bersama Arya, yang
walaupun juga bersama Sang Joon, namun melupakan janji mereka untuk ke N Seoul
Tower. Adis juga melihat bahwa Arya sempat membisikkan sesuatu yang membuat air
muka Sang Joon berubah, yang tidak ia lihat sebelumnya.
Dan tiba-tiba saja
ingatannya beralih pada perjalanan keduanya demi untuk bisa bertemu lagi dengan
Sang Joon, namun sayangnya laki-laki itu tampak masih marah. Lalu pertemuannya
dengan Min Ah yang berkeras bahwa Sang Joon adalah miliknya, dan fakta bahwa
Sang Joon tampaknya tidak keberatan dengan adanya Min Ah di sisinya. Dan
terakhir, saat mereka bertengkar di Gunung Manin juga karena Sang Joon telah
berbohong padanya.
Lalu tiba-tiba
kepalanya terasa sakit, dan ketika ia membuka matanya Adis menyadari ia
berbaring di ruangan yang serba putih. Ia merasakan genggaman pada tangan
kanannya. Ia melirik dan mendapati seorang laki-laki berambut hitam sedang
membenamkan wajahnya dan kedua tangannya menggengam tangan kanan Adis dengan
kedua tangannya.
“Sang… Joon…?” ucap
Adis lemah.
Laki-laki itu langsung
menengadahkan kepalanya. Ternyata memang benar Sang Joon. Walaupun Adis baru
sadar, tapi ia bisa melihat bahwa dari kedua mata laki-laki itu mengalir dua
sungai kecil.
“Adis?” ujarnya seraya
bangkit, namun masih menggenggam tangan Adis, “Kamu sudah sadar? Kamu tidak
apa-apa?”
Adis tersenyum dan melepas
tangannya dari genggaman lelaki itu, lalu mengusap air mata di pipinya, “Uljima.”
₪ ₪ ₪
Tante Lidya membelai
kepala Adis yang sedang duduk bersandar di tempat tidur dengan sayang. Kemudian
beliau pergi keluar ruangan untuk membelikan makanan untuk putranya. Adis
sendiri sudah merasa lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ia sebenarnya merasa
malu pada kenyataan bahwa ia hanya kehujanan tetapi ia harus masuk rumah sakit
seperti ini.
“Wae? Wajar kau masuk
rumah sakit.” jawab Sang Joon, “Kau hanya sarapan sedikit. Cuaca di sini juga
sangat terik, tapi kemudian hujan. Ditambah kau tersesat dan ketakutan. Dan
itu…” Sang Joon menggaruk pelipisnya, “Karena aku.”
“Joon-ah…”
“Mianhae.”
kata Sang Joon lagi.
Adis menggelengkan
kepalanya, “Kamu tahu? Tadi aku sempat melihat banyak hal.”
Sang Joon menatap Adis,
“Mwo?”
“Aku melihat masa kecil
kita. Aku melihatmu menggambar rumah masa depan kita, dengan taman bunga yang
cantik. Aku melihat saat kau harus pindah ke sini. Kita berjanji untuk saling
bertemu lagi kan?”
Sang Joon terpana. Ia
tidak menyangka Adis ingat semua itu, terutama tentang gambar rumah mereka yang
dibuat Sang Joon kecil. Apalagi setelah…
“Lalu aku ingat ketika
aku pertama kali datang ke sini. Kamu menjemput aku dengan senyum lebar. Senyum
yang nggak pernah aku lihat lagi sekarang. Kita juga sering berjalan-jaln
bersama. Lalu muncul Arya. Dan karena itu juga kita batal ke N Seoul Tower
bukan?”
Sang Joon mengangguk.
Jujur, ia benci mengingat soal Arya.
“Dan setelah itu kamu
marah ke aku.” Adis diam selama beberapa saat, “Wajar kalau kamu marah. Aku
memang salah. Tapi kau sama sekali nggak menyangka kalau marah kau bisa
bertahan selama tiga tahun.”
“Aku…” Sang Joon
menunduk.
“Tapi tadi aku lihat
kalau Arya membisikkan sesuatu ke kamu, dan air muka kamu berubah. Aku… boleh
tahu dia bilang apa?”
Sang Joon menatap Adis,
“Dia bilang kalau kamu adalah miliknya. Kalau kamu… menjalin hubungan dengan
dia dan…”
“Dan kamu percaya?”
“Aku marah. Aku tidak
mau percaya tapi… kelihatannya kamu dekat sekali dengan dia, terlebih kamu
sampai membatalkan janji kita… Aku…” Sang Joon bingung ingin melanjutkan apa.
“Aku cemburu. Sangat. Aku merasa kamu meninggalkan aku, meninggalkan
janji-janji kita.”
Adis terpana
mendengarnya, namun kemudian ia menimpali, “Dan karena itu kamu lepas cincin
kita?”
Sang Joon mengangguk
dan kemudian mengeluarkan kalung dengan liontin berbentuk cincin dari balik
bajunya, “Dan aku menaruhnya di sini.”
Adis tertawa
melihatnya. Ia senang ternyata Sang Joon tidak benar-benar melepasnya.
“Dan selepas kamu
pergi, aku berpikir apa saat itu kau terlalu muda untuk cinta? Terlalu banyak
tekanan sehingga aku justru membuat kamu menangis. Dan kemudian aku pikir… aku
bisa memulai hari-hariku seperti biasa dan melupakan kamu. Tapi ternyata tidak.
Maka dari itu aku berusaha untuk menghindari kamu, menolak kamu. Maka dari itu
aku selalu bersikap dingin dan terlihat tidak suka dengan kedatanganmu. Dan
aku… karena hal itu juga aku berbohong soal liburan ke London.”
Adis terpana mendengar
pengakuan Sang Joon.
“Tapi aku tidak bisa menahan
emosiku ketika ada orang lain yang mendekatimu, terlebih sahabatku sendiri, dan
hal itu justru membuat kamu menangis lagi dan bahkan menjadi seperti ini…”
lanjut Sang Joon, “Aku telah menajdi pecundang dengan menimpakan ini semua pada
kamu. Tapi aku sama sekali tidak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu. Aku…”
Adis menitikkan air
matanya, “Meomcheongi.
Kamu pikir untuk apa aku datang lagi ke sini? Untuk apa aku kembali lagi ke
sini padahal Min Ah sudah berulang kali memaksaku untuk menjauhi kamu?”
Sang Joon terpana. “Min
Ah… bilang seperti itu?”
Adis mengangguk, “Dia
bilang kalau kau adalah miliknya, dan aku tidak pantas untukmu.”
Mata Sang Joon
membesar.
“Aku buang semua rasa
takut aku, rasa takut kalau kamu benar-benar benci aku, dan datang ke sini.
Cuma… untuk bertemu denganmu.” suara Adis bergetar.
“Uljima…” kali ini Sang
Joon yang membasuh air mata Adis.
“Mwo? Bagaimana aku
tidak menangis? Aku menderita selama tiga tahun dan…”
Ucapan Adis terputus karena
tiba-tiba saja Sang Joon memeluknya erat. “Mianhae… Jeongmal mianhae…”
bisik Sang Joon sambil memejamkan mata.
Adis balas memeluk Sang
Joon dengan erat sambil memejamkan mata dan tersenyum. “Na do mianhae.”