Thursday, August 9, 2012

다시… 사랑합니다 / Love Again (Chapter 2)


Pukul enam pagi. Adis berjalan menuruni tangga sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia masih mengantuk karena baru bisa tidur pukul dua malam. Kemudian ia mengambil gelas dari lemari di dapur dan membuka kulkas untuk mengambil air putih. Ia memang sudah cukup hapal seluk beluk rumah ini karena sepertinya Tante Lidya tidak mengubah posisi perabotannya sejak tiga tahun lalu.
Adis menuangkan air dingin dalam botol ke dalam gelasnya sampai setengah, lalu meneguknya. Walaupun masih pagi, namun karena ini adalah musim panas maka udara pun sudah terasa agak panas. Ia menaruh kembali botol air dingin tersebut ke dalam kulkas dan menutup kulkas tersebut. Ia kemudian kembali meneguk air di dalam gelas yang dipegangnya sambil berdiri di meja dapur, dan menaruh gelas itu di atasnya.
Saat Adis sedang menggaruk-garuk tengkuknya, Sang Joon terlihat berjalan ke arah dapur dan ia berhenti ketika melihat Adis ada di situ. Adis pun melakukan hal yang sama. Ia segera menurunkan tangannya.
Sang Joon menatap Adis selama beberapa detik, kemudian ia berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya setelah sebelumnya meletakkan skipping rope atau alat yang digunakan untuk olah raga lompat tali di meja dekat gelas Adis diletakkan. Tanpa disadari, Adis memperhatikan Sang Joon. Laki-laki itu menggunakan celana pendek di bawah lutut berwarna abu-abu dan kaus putih tanpa lengan dan juga sneakers. Badannya terlihat berkeringat.
Dia sudah lompat tali sepagi ini? batin Adis. Ia memperhatikan skipping rope yang diletakkan Sang Joon di dekat gelasnya. Sang Joon sendiri saat ini sedang meneguk segelas air yang diambilnya dari dispenser. Ia tidak meminum air dingin seperti Adis.
“Mwo[1]?” tanya Sang Joon menangkap tatapan Adis.
Adis menggeleng, “Nggak. Cuma… Kamu udah olah raga jam segini?”
Sang Joon melirik Adis selagi meneguk kembali air dalam gelasnya, “Kelihatannya?” ujarnya kemudian.
Adis mengangguk, “Iya…”
Sang Joon hanya terdiam menatap Adis. Adis sendiri jadi gelagapan dan menunduk. Tatapan Sang Joon masih setajam dulu. Matanya memang tidak sebesar milik Adis, namun tatapannya terasa mematikan karena dipadukan dengan alisnya yang tebal.
“Sang Joon-ah…” Adis memberanikan diri dan kembali menegakkan kepalanya, “Kamu… masih marah?”
Sang Joon menoleh dan mengernyitkan keningnya, lalu tertawa.
“Sang Joon-ah…”
“Wae?” tawa Sang Joon tiba-tiba lenyap, “Kau ingin tahu? Kenapa baru sekarang kau tanyakan padaku?”
“Sang Joon-ah…” kata Adis kemudian, “Kita… teman… kan?”
Kening Sang Joon kembali berkerut. Setelah terdiam selama beberapa lama, ia berjalan menghampiri Adis sambil masih memegang gelas di tangan kanannya, “Teman?”
Adis mengangguk dan memberanikan diri menatap Sang Joon yang kini berdiri di hadapannya.
Sang Joon mendekatkan wajahnya pada wajah Adis, “Urineun… chinguga doel su eobtda.[2]” Kemudian ia kembali berdiri tegak dan berjalan meninggalkan Adis dan menaiki tangga menuju kamarnya.

₪ ₪ ₪

Pukul tujuh pagi, Adis telah duduk di ruang makan bersama Om Yong Joon, Tante Lidya dan juga Sang Joon. Menu sarapan pagi itu adalah nasi goreng seafood. Tante Lidya memang sudah biasa menyajikan sarapan ala Indonesia pada keluarganya, seperti nasi goreng. Namun, terkadang Tante Lidya juga membuat roti panggang ataupun pancake sebagai menu sarapan.
Om Yong Joon duduk di kursi utama di tengah-tengah meja makan, sementara Tante Lidya duduk di sebelah kanannya. Adis duduk di sebelah kiri Om Yong Joon, sementara Sang Joon sendiri memilih duduk di sebelah ibunya. Adis mengira bahwa Sang Joon sengaja duduk di sebelah ibunya agar Adis tidak duduk di sebelahnya. Sepertinya begitu.
Adis memperhatikan Sang Joon yang makan dengan tenang menggunakan sendok dan garpu. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun walaupun Tante Lidya dan Om Yong Joon suka sekali mengobrol saat makan. Sesekali mereka juga bertanya pada Adis.
Joon-ah, kamu kenapa? batin Adis. Tiga tahun lalu kamu tidak seperti ini. Bahkan tadi pagi kamu bilang kalau kita tidak bisa menjadi teman. Sepertinya kamu masih marah.
“Ah, Dis, hari ini kamu rencananya mau ke mana?” ucap Tante Lidya tiba-tiba, mengejutkan Adis yang sedang melamun. Om Yong Joon terlihat mengangguk-angguk dan Sang Joon melirik sekilas ke arah ibunya lalu pada Adis.
“Emm… belum tahu, tante.” jawab Adis tersenyum.
“Nanti kalau kamu mau pergi jalan-jalan, bilang ya, Dis.” ujar Tante Lidya lagi, “Biar nanti Sang Joon yang antar.”
Sang Joon yang sedang meneguk segelas air langsung terbatuk-baruk. Tante Lidya segera menepuk-nepuk punggung putranya dengan lembut. “Wae? Kenapa kamu sampai batuk-batuk begini?”
Sang Joon masih terbatuk-batuk, namun ia mengibas-kibaskan tangannya sebagai tanda ia tidak apa-apa. “Anniyo, gwaenchanayo,[3]” ucapnya kemudian.
“Jom[4], bagaimana kalau hari ini kamu ikut tante belanja, sayang?” Tante Lidya kembali pada Adis setelah yakin putranya tidak apa-apa. “Kebetulan tante harus belanja persediaan di rumah.”
Adis yang masih kaget dengan kejadian tadi cukup kaget dengan pertanyaan Tante Lidya tadi, “Eh? Ah, iya, tante. Tentu saja.”
Tante Lidya tersenyum, sementara Om Yong Joon mengangguk-angguk, “Keurae[5], om tidak bisa ikut menemani kalian. Sedang ada proyek yang harus segera diselesaikan.” Om Yong Joon memang seorang arsitek. Salah satu yang paling terkenal di Korea Selatan.
“Ne[6],” Tante Lidya membenarkan, “Jadi Sang Joon yang akan menemani kita berdua.” ujarnya sambil menaruh gelas setelah meminum air putih di dalamnya.
Adis melirik Sang Joon yang sedang menoleh ke arah ibunya dan memasang tampang protes. Tante Lidya sendiri mengatupkan mulutnya, dan matanya membulat seraya mengangkat kedua bahunya, seakan-akan bertanya, “Memangnya kenapa?”

₪ ₪ ₪

Adis baru saja menuruni tangga setelah mengambil tas selempang berwarna kremnya saat menemukan Sang Joon yang terlihat seperti sedang mendebat ibunya di ruang tamu rumahnya. Adis berhenti di anak tangga ketiga dari bawah dan berlindung di balik dinding rumah. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan mereka, namun ia jadi merasa tidak enak sebab karena dirinyalah Sang Joon jadi berdebat dengan ibunya. Sesekali ia mengintip dari balik dinding. Ia bisa melihat punggung Sang Joon dari situ.
“Eomma[7],” ucap Sang Joon, “Kenapa aku harus ikut mengantar kalian berbelanja?”
“Wae?” tanya Tante Lidya sambil mengerutkan kening.
“Eomma sengaja melakukan ini?”
“Sengaja? Apa maksudmu? Bukankah kalian memang dekat tiga tahun lalu saat dia datang ke sini?”
“Ne,” jawab Sang Joon, “Hajiman[8], itu tiga tahun lalu. Sekarang…”
“Sekarang apa?” potong Tante Lidya. “Bahkan dari kecil kalian sudah dekat, kan?”
Sang Joon tampak tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya. Mulutnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari sana. Tidak terdengar suara beratnya.
“Mwo?”
“Eomma… Chebalyo[9]…”
“Joon-ah…” ucap Tante Lidya kemudian dengan suara lembut.
Sang Joon terdiam, menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh ibunya. Berharap ibunya mengalah dan membiarkannya untuk tidak ikut menemani beliau dan Adis berbelanja.
“Cepat siapkan mobilnya. Kita berangkat sekarang.” ujar Tante Lidya kemudian, menghancurkan harapan Sang Joon.
Sang Joon menarik napas, lalu memejamkan mata dan kemudian menghembuskan napas. “Keuraeyo[10]…” ia pun menyerah. Ia tahu bahwa ia tidak akan menang melawan ibunya untuk yang satu ini. Hal yang sama juga terjadi kemarin, saat ibunya menyeretnya ikut ke Bandara Internasional Incheon.
Sang Joon berbalik dan mengambil kunci mobil yang tergeletak di dekat televisi 64 inch mereka. Kemudian ia berjalan keluar menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir, dan berhenti ketika ia mendapati Adis sedang berdiri di tangga balik dinding. Ia menatap Adis yang menunduk selama beberapa saat, kemudian kembali berjalan untuk menyalakan mobilnya.
Adis menelan ludah, merasa tidak enak dengan kejadian ini. Namun, di satu sisi ia bertanya-tanya mengapa sikap Sang Joon berubah sekali padanya. Mungkin Sang Joon masih marah, pikirnya. Wajar saja jika dia begitu. Tapi tiga tahun bukanlah waktu yang pendek.

₪ ₪ ₪

Tempat belanja yang dituju oleh Tante Lidya adalah L Mart, di Wonnae-dong, distrik Yuseong. Tante Lidya berkata bahwa sebaiknya berbelanja seminggu sekali, agar barang yang dibeli juga tidak terlalu lama disimpan, terutama seperti daging ataupun seafood.
Adis berjalan sambil mendorong trolley di sebelah Tante Lidya yang sedang memperhatikan barang-barang di bagian makanan beku, sedangkan Sang Joon berjalan di belakang mereka sambil kedua tangannya dimasukkan ke saku delana jeansnya. Walaupun Tante Lidya tidak begitu suka makanan beku, namun di freezernya beliau selalu menyediakan makanan beku sebagai persediaan atau jaga-jaga.
Selagi mendorong trolley, Adis memutar pandangannya ke sudut-sudut tempat belanja tersebut. Tidak jauh beda dengan yang di Indonesia, batinnya.
“Sang Joon-ah…” panggil Tante Lidya mengagetkan Adis. Ia pun segera menoleh.
“Waeyo?” tanya Sang Joon.
“Kenapa kamu berjalan di belakang?” tanya Tante Lidya, “Seharusnya kamu yang mendorong trolley nya.”
“Eh, tidak apa-apa, tante. Adis aja.” kata Adis buru-buru.
“Anni[11], biar Sang Joon saja yang mendorongnya.”
“Naega waeyo[12]?”
“Ya, i namja[13]…” kata Tante Lidya, “Anni, i aegi[14]… nappeun aegi[15].” Tante Lidya menghapiri Sang Joon kemudian menjewer telinganya.
“Eomma, ige mwoya[16]? Malu dilihat orang.” Sang Joon berusaha melepaskan jeweran Tante Lidya. “Naega aegi anniyo[17].” ujar Sang Joon akhirnya berhasil melepaskan diri.
“Kurae, kalau kau memang bukan bayi, maka kau yang harus mendorong trolley nya.” ucap Tante Lidya kesal, “Kau kan laki-laki, kenapa perempuan yang melakukannya?”
Sang Joon mengusap-usap telinga kanannya yang dijewer oleh Tante Lidya ketika ia melihat Adis tertawa melihat tingkah ia dan ibunya. Adis sendiri langsung mengatupkan mulutnya ketika mengkap tatapan Sang Joon dan langsung membalikkan badannya dan kembali memegang trolley, bermaksud mendorongnya.
Sang Joon segera berjalan menghampiri Adis dan memegang trolley itu. “Biar aku saja.” ucapnya sambil mengambil alih trolley itu, dan mendorongnya. Adis tertinggal di belakangnya. Tante Lidya menghampiri Adis dan bertanya tentang pasta jenis apa yang disukai olehnya. Kebetulan mereka sedang menuju ke rak berisi pasta.
Sang Joon-ah… batin Adis. Ia melirik Sang Joon dan melanjutkan memilih pasta dengan Tante Lidya.
Sang Joon berhenti dan memperhatikan mamanya dan Adis. Kedua tangannya memegang trolley, dan kemudian ia teringat sesuatu. Dulu ia dan Adis sering bermain trolley ketika menemani mamanya berbelanja. Biasanya mereka akan memegang sebuah trolley berdua, dan mengayuhnya bersamaan. Seperti main kereta luncur, kata Adis saat itu. Dan gadis itu tertawa gembira. Seperti apa yang baru ia saksikan. Gadis itu tertawa dan entah kenapa Sang Joon merasa mata gadis itu sangat indah ketika ia tertawa, seakan-akan matanya juga ikut tertawa.
I love your eyes[18], batin Sang Joon. Tapi kemudian Sang Joon segera menggeleng-gelengkan kepala dan memukul-mukulnya. Adis dan Tante Lidya menoleh kebingungan atas apa yang dilakukan oleh Sang Joon. Sang Joon yang menyadari tatapan bingung dua wanita yang ada di dekatnya langsung berhenti dan berdeham.
Adis kembali tertawa melihat kelakuan Sang Joon. Mungkin laki-laki itu belum sepenuhnya berubah. Ekor mata Sang Joon menangkap Adis yang tengah tertawa. Tanpa disadarinya ujung bibirnya ikut terangkat, walau hanya sedikit.

₪ ₪ ₪

Selesai berbelanja, Tante Lidya mengajak Adis dan Sang Joon untuk makan siang di salah satu restoran yang menyajikan makanan organik, yang ada di dekat swalayan tersebut. Setelah itu, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah. Tante Lidya memaksa untuk duduk di jok belakang sedang milik Sang Joon dengan alasan ingin memeriksa belanjaannya hari itu. Dengan begitu, maka Adis harus duduk di jok depan, di sebelah Sang Joon. Sang Joon sendiri tampak tidak senang dengan keputusan ibunya tersebut. Namun, ia diam saja dan mengendarai mobil dengan tenang.
Eomma tidak biasanya begini, batinnya. Namun belakangan ini ia menjadi aneh, terutama sejak kedatangan gadis ini.
“Sang Joon-ah…” panggil Tante Lidya dari jok belakang. Sang Joon pun menoleh. “Nyalakan radionya.”
Sang Joon menyalakan radio mobilnya dan mencari-cari frekuensi yang bagus. Ia berhenti di satu frekuensi dan tiba-tiba saja tiga detik kemudian penyiar radio tersebut memutar Love Song milik Big Bang.
“Love song anniya.[19] Seulpeun norae.[20]” ujar Tante Lidya mengomentari lagu itu. Walaupun sudah berusia lebih dari empat puluh tahun, tapi Tante Lidya tahu jenis-jenis lagu seperti ini. Mungkin membantu beliau dalam menjalankan profesinya, yaitu seorang editor di salah satu majalah terkenal di Korea.
Adis menoleh ke arah belakang. Sebenarnya ia tidak merasa nyaman untuk duduk di sebelah Sang Joon. Ia merasa laki-laki itu sekarang tidak menyukainya, kedatangannya. Tapi ia juga tidak bisa menolak keinginan Tante Lidya. Ditambah, lagu yang mengalun dari radio mobil Sang Joon terasa menusuk.
“Dis, kamu tahu?” ujar Tante Lidya lagi saat Adis sudah berbalik dan menatap lurus jalanan di depannya. “Dulu Sang Joon sering sekali memutar lagu-lagu sejenis ini.”
Adis menoleh lagi pada Tante Lidya.
“Sejak kamu pulang tiga tahun lalu, dia sering sekali memutar lagu-lagu seperti ini. Sedih.” tambah Tante Lidya.
“Eomma,” ujar Sang Joon sambil melirik ibunya dari kaca spion.
“Wae? Memang benar kan? Neorago, Without You, Haru Haru, Café, Love Song, My All is in You[21]. Kau sering sekali memutar lagu-lagu seperti itu, kan?”
Sang Joon akhirnya memilih untuk diam, sementara ibunya tersenyum senang. Percuma, pikirnya. Jika terus diladeni ibunya itu akan semakin menjadi dan membuka semuanya di depan gadis satu ini. Ia terus menyetir dengan tatapan lurus ke depan, tanpa menoleh ataupun melirik sama sekali.
Adis sendiri hanya tersenyum simpul pada Tante Lidya dan kemudian menunduk. Merasa tidak nyaman, dan tidak enak pada Sang Joon. Apa benar Sang Joon sampai seperti itu? Apakah kesalahannya pada laki-laki itu sebegitu besarnya?



[1]Apa?
[2]Kita… tidak bisa menjadi teman.
[3]Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.
[4]Jadi.
[5]Benar.
[6]Iya/Benar.
[7]Panggilan untuk ibu.
[8]Tetapi.
[9]Tolong/Aku mohon.
[10]Baiklah.
[11]Tidak.
[12]Kenapa aku?
[13]Hei, laki-laki ini.
[14]Tidak, bayi/anak ini.
[15]Bayi/anak nakal.
[16]Ibu, apa-apaan ini?
[17]Aku bukan bayi/anak-anak.
[18]Aku suka matamu.
[19]Ini bukan Love Song.
[20]Ini lagu yang sedih.
[21]Neorago (It’s you) adalah lagu dari Super Junior, Without You dari 2PM dan Haru Haru, Café dan Love Song adalah lagu dari Big Bang.

다시… 사랑합니다 / Love Again (Chapter 1)

Oke, ini sebenernya adalah cerpen gue buat lomba, tapi gak menang hahahaha -- boleh diskusi dan minta koreksi sama nae omma, andita pritasari ato biasa dipanngil anprit hehehe (thanks berat omma! XD)

terus gue inget temen gue ada yang minta gue buat nulis lagi, jadi gue posting di sini aja deh biar dia bisa baca hehehe...
setting cerita nya di Daejeon. kenapa Daejeon? Kenapa gak Seoul kayak yang biasanya?
Nah, justru itu. udah biasa kalo pake setting di Seoul hahaha
selain itu, waktu bikin ini gue lagi hopeless karena belum dapet sponsor buat conference ke Daejeon. jadi gue pikir, kalopun gue gak ke sana, paling gak gue punya cerita yang setting nya di sana hahaha
tapi alhamdulillah, berhasil juga ke Daejeon hehehe

so, please kindly check this out XD

Chapter 1


Adis membuka matanya dan melepaskan headphone berwarna putih dari kedua telinganya. Ia menoleh ke arah jendela dan menghembuskan napas. Lalu ia mematikan iPod yang ia nyalakan dari tadi, lalu memasukkannya ke dalam ranselnya bersama dengan headphone yang telah dulu dilepaskannya. Ia menoleh pada laki-laki muda yang selama tujuh jam ini duduk di sampingnya, dan menemukan orang itu sedang memandanginya sambil tersenyum.
Is this your first time?” tanyanya.
Adis tersenyum sambil mengangguk, “Nope,” jawabnya. Lalu ia segera menoleh ke arah jendela lagi sebelum laki-laki itu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Bukannya tidak ramah, tapi ia malas dengan orang yang sedari awal perjalanan ini sering sekali memandanginya sambil tersenyum. Lagipula ia sudah sering menjawab pertanyaan-pertanyaan orang itu sejak awal. Pertanyaan yang selalu menggunakan hahasa Inggris, padahal jelas-jelas ia adalah orang Indonesia. Namanya pun Aditya. Bukan apa-apa, tapi kalau orang Indonesia lebih suka berbicara dengan bahasa lain pada orang Indonesia lainnya, menurut Adis hal itu kurang nasionalis. Kecuali ia berbicara dengan orang asing.
Kemudian Adis mengalihkan perhatiannya pada seorang pramugari berseragam biru yang sedang berbicara di dekat pintu ruang pilot sambil menggunakan pengeras suara. Pramugari itu mengatakan bahwa sebentar lagi pesawat yang mereka tumpangi akan mendarat.
We’ll be arrived soon,” kata Aditya lagi sambil tersenyum.
Adis hanya mengangguk dan kembali menatap lurus ke depan.
“Jadi kamu mau ke mana?” tanya Aditya lagi.
Adis kembali menoleh. cukup kaget juga akhirnya laki-laki ini berbicara menggunakan bahasa Indonesia juga. “Maksudnya?”
“Maksudku…” Aditya tersenyum dan mengubah posisi duduknya menghadap Adis, walaupun tidak bisa benar-benar menghadap ke arah Adis karena ia menggunakan sabuk pengaman. “Tujuan kamu ke mana? Seoul? Aku mau ke Seoul. Kita bisa bareng-bareng. I’ll become your guide.” ujarnya antusias.
Aku? batin Adis, kapan gue jadi deket sama dia sampe dia pake kata “aku”? Dan gue udah bilang kan, ini bukan yang pertama kalinya gue ke sini? “Terima kasih, tapi saya ke Daejeon.” jawab Adis.
“Ah, unfortunately… sayang sekali…” Aditnya menggeleng kecewa. “Mungkin lain kali kita bisa janjian untuk…”
Adis kemudian membungkuk untuk mengambil buku yang sengaja ia jatuhkan dari dalm tasnya. Hal itu juga yang membuat Aditnya berhenti berbicara. Gue juga tau kali, kalo unfortunately artinya sayang sekali, batin Adis. Lalu ia terjembab ke depan dan kepalanya membentur kursi di depannya. “Ah,” ucap Adis sambil menegakkan duduknya dan mengusap-usap kepalanya.
“Kamu nggak apa-apa? Aku panggilin…” ujar Aditya.
“Gak, nggak apa-apa kok. Gak perlu panggil siapa-siapa.” ujar Adis sambil masih mengusap-usap kepalanya.
Are you sure?” tanya Adit lagi.
“Iya, iya. Gak apa-apa. Makasih.” ucap Adis.

₪ ₪ ₪

Adis telah berada di Bandara Internasional Incheon. Setelah turun dari pesawat, ia berusaha sebaik mungkin untuk jauh-jauh dari laki-laki menyebalkan bernama Aditya yang selama tujuh jam perjalanannya dari Bandara Soekartno-Hatta duduk di sampingnya dan bertingkah menyebalkan. Setelah lolos dari karantina di mana suhu tubuhnya diperiksa, ia menaiki tangga shuttle yang membawanya menuju bangunan utama bandara itu. Kemudian ia menuju ke bagian imigrasi dan  pengambilan bagasi dan pabean. Lalu ia berjalan menuju lobi kedatangan.
Ia masih merasa tidak nyaman dengan semua ini. Mamanya yang memaksanya untuk berlibur di Korea - tepatnya di Daejeon - di tempat sahabatnya yang menikah dengan seorang warga negara Korea, perjalanan tujuh jam di sebelah Aditya, dan terantuk kursi. Tapi ia harus datang. Harus.
Sambil berjalan, Adis memperhatikan lobi kedatangan yang ada di depannya. Lobi tersebut masih tampak sangat cantik, tinggi dengan disangga oleh tiang-tiang emas yang menyangga atapnya. Belakangan ini Adis sering mendengar cerita teman-temannya yang berlibur ke Korea Selatan tentang kemegahan bandara ini, dan sekarang ia membuktikannya lagi bahwa pesona bandara ini tidak berkurang sama sekali. Masih seperti dulu, dan bahkan pelayanannya makin baik. Terdapat baja-baja kokoh yang menjadi rangka atapnya, garis atap tersebut berbentuk seperti kuil dan terdapat museum kebudayaan di lantai empat yang di dalamnya terdapat benda-benda bersejarah peninggalan kerajaan-kerajaan kuno Korea. Adis sendiri menatap dengan takjub sambil menggeret kopernya ke lobi kedatangan, sampai ia menemukan sebuah kertas seukuran A3 berwarna putih yang di atasnya terdapat tulisan “ADISTYA FROM JAKARTA” di sana.
Adis segera berjalan menghampiri orang yang memegang kertas bertuliskan namanya, yang pastinya adalah Tante Lidya, sahabat mamanya yang akan menjemputnya. Tapi ia salah. Begitu ia mendongak, ia mendapatkan bahwa si pemegang kertas itu bukanlah Tante Lidya, melainkan seorang lelaki muda dan bertubuh menjulang yang menggunakan celana jeans dan polo shirt warna biru dongker dengan garis horizontal berwarna putih. Rambutnya hitam dipotong pendek dengan gaya dandy wolf cut. Adis terpana memandang laki-laki yang juga tengah memandanginya dengan wajah datar. Alisnya tebal dan matanya tajam.
“Adiiiisss?” tiba-tiba suara seorang wanita membuyarkan pandangan mereka. Keduanya menoleh ke sumber suara. “Ya ampuuuun, kamu makin cantik ya sekarang.”
Adis tersenyum ke arah wanita paruh baya tersebut, yang pastinya adalah tante Lidya. “Terima kasih, tante.” Adis segera mengambil tangan kanan Tante Lidya dan menciumnya. “Tante apa kabar? Makasih banyak udah mau nerima Adis lagi buat liburan di sini.”
“Baik, sayang.” jawab Tante Lidya ramah. “Ah, nggak masalah kok. Lagian tante juga seneng ada kamu datang buat liburan ke sini.”
Adis tersenyum. Tapi dalam hatinya ia membatin, kata mama Tante Lidya aja yang mau jemput. Kenapa dia juga datang? Aku kan…
“Kamu masih ingat kan dengan Sang Joon?” ujar Tante Lidya sambil menepuk bahu laki-laki yang tadi membawa kertas bertuliskan namanya.
Adis tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Apa kabar?” ujarnya.
Sang Joon tidak segera menyambut uluran tangan Adis, melainkan menatapnya lurus selama beberapa saat. Adis sendiri terlihat kikuk, sementara Tante Lidya memperhatikan Sang Joon.
“Kami biasa membungkuk sebelum mengulurkan tangan.” suara berat laki-laki itu akhirnya keluar, masih dengan tatapan lurus dan tajamnya. Sang Joon tidak membalas uluran tangan Adis dan tidak juga tersenyum.
“Ah, ayo kita jalan. Sang Joon membawa mobil ke sini,” ujar Tante Lidya berusaha mencairkan suasana. Adis tersenyum, sementara Sang Joon segera balik badan menuju pintu keluar dan berjalan ke arah lapangan parkir. Adis dan Tante Lidya mengikuti dari belakang.
Selama berjalan, Adis menatap punggung Sang Joon. Selama tujuh jam ini ia memang sangat terganggu dengan Aditya yang mengganggunya dengan rentetan pertanyaan dan tatapan serta senyum menyebalkan dan baru berhenti ketika Adis memejamkan matanya. Ia ingin ketenangan, namun tidak seperti sikap Sang Joon juga. Laki-laki itu benar-benar kaku dan dingin. Bahkan ia tidak menawarkan untuk membawa koper Adis. Sama sekali tidak gentle. Padahal mereka baru bertemu kembali setelah tiga tahun.

₪ ₪ ₪

Adis duduk di jok belakang sedan berwarna hitam mengilap yang dikemudikan oleh Sang Joon, sementara Tante Lidya duduk di jok kanan di sebelah putranya. Mobil-mobil di Korea memang menggunakan setir kiri, tidak seperti Indonesia yang menggunakan setir kanan. Adis memutar-mutar jam tangan berwarna hitamnya untuk menyamakan waktu. Korea memiliki waktu dua jam lebih cepat dari Jakarta. Kemudian ia memasangnya lagi di tangan kanannya. Sang Joon melirik apa yang dilakukan oleh Adis dari spion depannya.
Adis menoleh ke arah jendela dan walaupun ini bukan yang pertama kalinya, sekali lagi ia takjub akan pemadangan yang dilihatnya. Gedung-gedung pencakar langit yang tinggi dan teratur, dan juga lingkungan yang bersih. Pukul tujuh, dan langit di sini belum gelap seperti di Jakarta. Mungkin karena pengaruh musim panas di bulan Juli ini. Mobil yang dikendarai Sang Joon meluncur melalui jalan tol yang megah, dan sepertinya tidak pernah ada kemacetan di sana. Tidak seperti di Indonesia, di jalan tol pun bisa terjadi kemacetan. Adis melihat sebuah billboard iklan sebuah kamera ternama di kejauan dengan model Big Bang, sebuah boyband kenaamaan Korea. Adis tersenyum melihatnya, dan ia menoleh ke belakang ketika sedan yang dikendarai Sang Joon telah melewati billboard itu.
“Pemandangannya bagus, kan?” ucap Tante Lidya tiba-tiba, membuat Adis memutar badannya ke sisi semula.
Adis tersenyum dan mengangguk. “Iya, tante.”
“Aaaahh, Tante ada ide.” Tante Lidya tiba-tiba menjentikkan jarinya setelah terdian beberapa lama dan disambut oleh kerutan kening putranya sambil menoleh. Adis sendiri kaget dengan apa yang dilakukan oleh Tante Lidya “Bagaimana kalau kita jalan-jalan dulu? Mumpung masih di Seoul nih.”
“Sirhyeoyo (tidak mau).” jawab Sang Joon cepat.
“WAEEEEEE (kenapa)?” tanya Tante Lidya dengan suara yang cukup keras.
“Pigonhanyo (aku lelah),” jawab Sang Joon singkat. “Aku juga yakin tamu kita lelah setelah tujuh jam terbang.” Sang Joon menatap lurus ke depan sambil terus menyetir.
Adis sendiri segera menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata, berpura-pura tertidur sebelum Tante Lidya menoleh padanya. Ia malas jika Tante Lidya dan Sang Joon sampai bertengkar karena masalah jalan-jalan yang melibatkan dirinya. Jika ia tertidur, maka mobil yang dikendarai Sang Joon akan terus melaju menuju Distrik Daedok di Daejeon, kota terbesar kelima di Korea Selatan.
“Keutjyo (betul)…” ujar Tante Lidya saat menoleh ke arah Adis dan menemukan gadis itu telah tertidur.
Sang Joon melirik Adis yang tertidur dari kaca spion, lalu kembali menatap lurus ke depan.

₪ ₪ ₪

Adis terbangun tepat ketika mobil yang dikendarai Sang Joon masuk ke dalam halaman rumahnya di Daekdo. Sang Joon memarkir mobilnya di depan garasi karena di dalam garasi telah terparkir dengan manis mobil milik ayahnya, Park Yong Joon. Atau Adis biasa memanggilnya dengan om Yong Joon.
Adis menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengembalikan kesadarannya. Tidak disangka, ternyata ia benar-benar tertidur padahal awalnya ia hanya berpura-pura untuk tertidur. Dan tidak tanggung-tanggung, hampir selama empat jam! Tante Lidya membereskan tasnya dan menyuruh Adis segera keluar. Adis sendiri mencari-cari ranselnya yang tidak terlihat di jok. Mungkin terjatuh. Setelah menemukannya, ia segera membereskan rambutnya yang berantakan dan keluar dari mobil mengikuti Tante Lidya.
Sang Joon segera keluar dari mobil setelah mematikan mesin, lalu memencet remot mobilnya dan bagasi mobil itupun terbuka. Ia mengambil koper milik Adis dan menaruhnya di tanah, lalu kembali memencet tombol remot untuk mengunci mobilnya. Ia segera masuk ke dalam rumahnya dan melewati Tante Lidya, dan Om Yong Joon yang sudah berdiri di dekat mobil sedan itu.
“Sang Joon-ah… eoddie ga (Sang Joon... kau mau ke mana)?” tanya Om Yong Joon sambil menoleh mengikuti gerakan Sang Joon, “Kenapa koper Adis tidak kau bawa?”
“Sirhyeoyo.” jawab Sang Joon masih sambil berjalan. “She has two arms and two legs, indeed. Biarkan dia membawanya sendiri.”
“Ya! Sang Joon-ah!” panggil Om Yong Joon lagi.
Setelah berkata bahwa dirinya tidak apa-apa membawa sendiri kopernya, Adis segera mengambil dan menggeret kopernya dan menghampiri Om Yong Joon dan mencium tangannya, “Apa kabar, om?”
“Ah, baik-baik. Kamu baik juga kan?” jawab Om Yong Joon. Sama seperti Tante Lidya, suami dan putra satu-satunya juga bisa berbahasa Indonesia. Mereka juga sudah biasa dengan budaya Indonesia, seperti mencium tangan orang yang lebih tua.
Adis tersenyum dan mengangguk, “Baik, Om. Salam dari mama.”
Om Sang Joon tersenyum. Lalu beliau dan Tante Lidya mengajak Adis untuk masuk ke dalam rumah mereka yang besar dan bertingkat dua itu.

₪ ₪ ₪

Setelah makan malam, yang sebenarnya sudah terlambat, yaitu pada pukul sebelas malam, Adis menaiki tangga rumah dan masuk ke dalam kamar yang akan digunakannya selama dua minggu di sini. Ia menggenggam kenop pintu kamarnya dan menoleh ke kanan, melihat pintu kamar sebelah dengan gantungan pintu bertuliskan Hangeul. 박상 (Park Sang Joon). Adis menelan ludah dan segera masuk ke dalam kamarnya.
Ia duduk di pinggir tempat tidur dan menatap koper besar berwarna hitamnya di dekat lemari. Kemudian ia bangkit menuju jendela kaca besar, membukanya dan berjalan ke arah balkon. Ia menatap lurus ke arah rumput halaman yang hijau selama beberapa lama dan menghela napas.
Dia tidak ikut makan, batin Adis. Padahal menu makan malam tadi adalah jeongol (Sejenis sup yang direbus dalam panci besar dan berisi daging dan seafood), dan itu adalah salah satu makanan kesukaannya. Ia juga belum makan, kan? Apa dia begitu membenciku?
Adis menghela napas kembali, lalu berbalik menuju kamar dan membuka kopernya, lalu memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. Setelah itu, ia masuk ke dalam kamar mandi, menggosok gigi dan mencuci tangan dan kakinya lalu segera berbaring di atas tempat tidur. Ia memejamkan matanya, namun pikirannya tidak bisa tertidur.

₪ ₪ ₪

Sang Joon sendiri langsung masuk ke kamarnya setelah memarkir mobil tadi dan tidak ikut makan malam bersama kedua orang tuanya dan juga Adis. Ia lantas mencuci kakinya di kamar mandi dan membarinfkan tubuhnya di atas kasurnya yang bersprai cokelat susu dengan motif sulur-sulur pohon. Ia memejamkan matanya sejenak dan pikirannya berputar.
“Wae?” gumamnya, “Kenapa kau harus kembali?”
Kemudian ia membalikkan badannya, dan membenamkan wajahnya ke bantal selama beberapa saat, lalu mengambil ponselnya dan kembali terlentang. Di bibirnya tersungging senyum kecil. Namun kemudian ia menghela napas dan membanting ponselnya ke kasurnya, lalu menutup kedua matanya dengan lengannya. Ia pun tertidur selama beberapa saat.
Sang Joon mengerjapkan matanya dan kemudian duduk di tepi ranjangnya. Ia mengambil jam beker yang ada di meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Masih tengah malam, batinnya. Lantas ia bangkit dan membuka jendela kaca besar yang ada di kamarnya, lalu bersandar di sisi sebelah kanannya.
Sang Joon melipat kedua tangannya di atas dada sambil menatap lagit malam yang cerah, walaupun tidak terlalu banyak bintang di sana. Ia menoleh ke kiri dan mendapati Adis sedang berdiri sambil bersandar di pagar balkon kamar sebelah. Gadis itu diam menatap lurus rumput-rumput taman. Sang Joon memperhatikan gadis itu selama beberapa saat.
Dia masih sama, batin Sang Joon. Rambutnya masih dibiarkan pendek sebahu dan masih senang menggunakan jeans dan kaus oblong. Anni, yeppeojyeotda (tidak, dia terlihat lebih cantik). Mungkin dia sedikit bertambah tinggi dibandingkan tiga tahun lalu. Dan apa mungkin dia…
Tiba-tiba Adis bangkit dan berbalik masuk ke kamar, dan hal itu mengejutkan Sang Joon. Ia langsung melepaskan kedua tangannya yang terlipat. Ekor matanya mengikuti gerakan Adis. Setelah gadis itu masuk ke dalam kamarnya, ia kembali bersandar pada sisi jendela sebelah kanan dan menatap langit.
Kemudian ia masuk ke dalam kamar, dan membuka laci meja kecil yang ada di samping tempat tidurnya. Ia mengambil sebuah bingkai foto dan memandanginya selama beberapa saat.
“Oraenmaniya (sudah lama kita tidak bertemu),” ujarnya sambil menatap bingkai foto di tangan kanannya, “mot bon sai geudaen eolkuri chowa boyeo (sepertinya kau baik-baik saja sejak terakhir kita bertemu).”
 Setelah mengatakan hal tersebut, Sang Joon kembali memasukkannya lagi ke dalam laci dan menutup laci itu dengan cukup kencang. Lantas ia membaringkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan mata.

Seung-chan's diary' Effect


Belakangan ini anggota termudanya Big Bang, Seungri, ato biasa dipanggil VI juga, punya acara di stasiun tv jepang
Yap, di saat abang-abangnya lagi main drama, jadi model, bikin lagu dan siap-siap buat come back di Korea, dia malah di Jepang terus
Dia juga bikin semacem diary yang bisa diakses sama orang-orang (yang kayaknya ini masuk ke dalem kontrak), secara berkala
Dan gue lagi kecanduan sama diary nya dia itu

Namanya itu Seung-chan's diary
Hahahaha lucu banget
Kenapa dia masih pake 'chan' dan bukan 'kun'? he is old enough to be a 'kun' hahahaha
yah, cuma setaun lebih tua dari gue sih.

Nah diary nya itu judulnya lucu-lucu dah. Seung-chan Guangzhou, Seung-chan di Beijing, Seung-chan di Cina, Seung-chan the Dark Knight, Panasnya membunuh Seung-chan, Seungtiano Ronaldo, dll. Dan yang paling baru itu Seung-chan who smells nice. Isinya bikin ngakak bhahahahahaha.

Ada satu yang paling gue suka, yang Seung-chan Guangzhou. Simpel sih, jadi dia cerita tentang konsernya si Guangzou bareng Big Bang
Awalnya pas dateng dia amazing gitu sama bangunan-bangunan di Guangzhou sampe penasaran itu dibuatnya dari apa hahaha
terus ada cerita tentang dia main game bola sama TOP
Dia menang 2:0 dan tiba-tiba aja TOP matiin tv nya! tv nya loh, bukan game nya
trus TOP bilang, "I'm not in a good condition today..So let's play it next week." tapi mukanya bilang kalo "gue gak rela kalah."
terus Seungri ngatain kalo TOP emang bener-bener golongan darah B, bad boy hahahahaha
ngakak gue
eh, tapi kan gue juga golongan darahnya B. hem...

nah di Seung-chan Guangzhou ini juga dia posting fotonya berdua Daesung yang sama-sama nyengir lebar sambil melotot
trus dia bilang, "Daesung hyung wajahnya aneh. tolong dimaklumi."
hyahahahah ngakak gue sumpah. ini maksudnya mau bilang kalo dia yang ganteng kan? hahahah dasar.

gue juga jadi inget, dia pernah bilang, "Big Bang has 2 visuals. TOP and Seungri."
terus dia bilang, walaupun secara implisit, 2 visualnya Big Bang ini bisa bikin cewek-cewek 'faint'. caranya dia nunjukkin? pura-pura ninju
pertama, ditujukan buat dia, dan dia bilang kalo cewek-cewek bakal faint dengan tiga pukulan, "jab jab jab" sambil pura-pura ninju
nah, kalo TOP, cuma satu pukulan. "HOOK! YOU'RE K.O!" (dan pas Seungri nya meragain ini, TOP kayaknya malu gitu sama kelakuannya ni bocah)
wahahahaha ngakak gue . koplak abis

nah, nah balik lagi ke intinya: Seung-chan's diary
gue jadi kepikiran deh, buat nulis kayak gini. tapi nanti aib gue keumbar semua lagi. hemh....
pengen sering nulis blog kayak dulu, tapi kalo gak ada ide jadi males, dan malesnya berkepanjangan hiaaa...

tapi di balik itu semua, gue bener-bener kecanduan sama diary nya Seungri ini. gokil abis
banyak kok 'anak bungsu' yang bikin ketawa, tapi gak segila Seungri
kangmas gue, misalnya, si Changmin. dia bikin ketawa tapi bukan karena gokil, melainkan karena evil hehehehe
dan walaupun Seungri gak bisa bikin gue guling-guling galau kayak abangnya, TOP, atau Changmin, tapi dia sukses bikin gue guling-guling ngakak. hahahaha.

thank you, Seung-chan!  you made my day! XD

Saturday, June 2, 2012

My 1096th Saturday Night...

x = temen gue
y = pacarnya temen gue


gue: *baca sms dari x*
x: gue lagi malem mingguan sama y nih, di blablabla
gue: *bales sms x* gue juga lagi malem mingguan sama kompi, di ruang tamu


sent.


no reply.


*salah sendiri ganggu orang pacaran
*eh gue kaga ganggu dong, kan x duluan yang sms kan?
*gak penting

Friday, June 1, 2012

MY SUPER GUARD

hiaaaa ini bukan iklan yang super guard super guard itu ya, yang revalina itu
bukan ya

jadi ini cerita tentang... enaknya disebut apa ya?
biasanya sih gue nyebutnya "abang gue"
bukan abang gue beneran, dia mah payah hehehehe *dijitak

gue pertama liat dia kan yaaa? gak inget, tapi di kampus sih
dia satu angkatan di atas gue
gue mulai kenal sama dia taun kemaren, pas sama-sama di satu organisasi
bedanya, dia anggota organisasi itu. gue "kacung" nya hiaaa
kaga lah, bercanda. gue koordinator di situ hehe

awalnya gue gak deket sama dia, selalu berkerut kening sama dia
gak ngerti aja. kayaknya susah buat "dijangkau" padahal bidang gue waktu itu berhubungan sama bidangnya dia
gue juga suka kayak, "ah, ni orang ngilang mulu pas dibutuhin" ato "gue gak ngerti deh maunya apa' dan sebagainya
tapi gak lama sih, orangnya easy going ternyata jadi gampang deketnya

dan ternyata dia ngambil kekhususan yang sama kayak gue, eka dan ure
dan dia pinter meeeennn!!!
hiaaaa jadilah dia gue tanya-tanyain mulu masalah mata kuliah yang harus diambil, masalah dosen, masalah nilai sampe soal yang keluar pas ujian apa aja hehehehe *dan apa yang dia bilang emang biasanya keluar hehehe ajaib

and he became my guidance

tiap mau ujian pasti gue sms dia, nyanya ujiannya gimana
soalnya susah gak, apa aja yang keluar
minta kirimin tugas nya dia dulu
nyusahin deh pokoknya
tapi dia cuma nyengir dan ngasih tau segala macem yang gue tanya
baik banget

dia udah jarang di kampus sih sekarang
lagi sibuk probation di salah satu lawfirm oke, dan lagi skripsian juga
tapi pas gue bilang masih boleh nanya-nanya lagi apa gak, dia ngangguk sambil nyengir
azekk

ehm, sebenernya gue juga sempet ngarep dia jadi sama sahabat gue
mereka udah deket tuh, tapi gagal ternyata :(
padahal kalo mereka jadi nih, beuh, mantap lah hehehe
(tapi nasi udah jadi kerak hiaaa)

kemarin gue sempet ketemu dia waktu mau ke perpus
gue dengan songongnya pamer kalo UAS gue udah kelar
dia cuma nyengir kayak biasa
tapi kasian, berantakan gitu sekarang. capek pasti kerja di lawfirm

tapi intinya sih, gue bersyukur punya abang kayak dia
baik, pinter, mau direpotin juga hehehe
maklum, gue kan juga gak punya "pegangan" *eaaaa
jadi seneng lah ada yang bisa dijadiin guidance dalam menjalani hidup sebagai mahasiswa *cailah

makasih banyak bang! :D

he's my super guard!